REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN
PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam
yang dibina oleh
Bapak Dr. Siswanto, M.Pd.I
Oleh :
SAFINATUN NAJAH
NIM:
18201521028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
NOPEMBER 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah berkat rahmat serta hidayahnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Pemikiran Pendidikan
Islam. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW.
Teriring
ucapan terima kasih kepad Bapak Dr. Siswanto, M.Pd.I yang telah memberikan
bimbingan serta masukan sehingga makalah ini selesai sesuai yang diharapkan.
Ibarat
gading yang tak retak, tulisan ini jauh dari sempurna karena pada hakekatnya
kesempurnaan hanya milik Allah untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari
Bapak Dosen dan pembaca guna prbaikan penulisan
makalah yang selanjutnya. Ahirnya penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi penulis hususnya. Aamiin ya Rabbal’alaminn.
Pamekasan,
25 Oktober 2015
Penulis
SAFINATUN
NAJAH
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
...................................................................................
i
KATA PENGANTAR
....................................................................................
ii
DAFTAR ISI
...................................................................................................
iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
................................................................ 1
B. Rumusan Masalah
......................................................................... 3
C. Tujuan Pembahasan
...................................................................... 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Biografi Syeikh Muhammad Abduh
........................................... 4
B. Karya-karya Syeikh Muhammad Abduh
..................................... 7
C. Ide Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh
Tentang Pendidikan ..9
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................
19
B. Saran ............................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................
20
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan program pokok yang
sangat strategis dalam melaksanakan gerakan pembaruan dalam Islam. Fungsi
pendidikan dalam hal ini kiranya bukan hanya untuk menghilangkan buta huruf
atau membentuk watak suatu masyarakat. Lebih dari itu, melalui pendidikan
diharapkan terjadi perubahan-perubahan dalam segala bidang. Oleh karena itu tak
jarang sebuah gerakan pembaruan selalu menjadikan bidang pendidikan sebagai
target utamanya. Keberhasilan dalam bidang pendidikan ini akan menentukan
keberhasilan modernisasi dalam bidang-bidang lainnya.[1]
Ada beberapa peristilahan yang sering
dikaitkan dengan pembaruan yakni tajdid dan modernisasi. Peristilahan ini
merujuk kepada pemikiran, sikap dan perilaku yang harus ditinggalkan karena
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman guna menggapai pemikiran, sikap,
perilaku yang sesuai dengan kemajuan zaman. Dengan demikian hakikat dari
pembaruan itu adalah perubahan dari pola berpikir lama ke pola berpikir baru
yang lebih adaptif terhadap kemajuan zaman.[2]
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh
yang monumental dan paling bersemangat melakukan pembaruan bagi dunia Islam.
Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaruan dalam Islam patut dikenang dan
diteladani karena ia telah banyak berjuang untuk mengubah kebiasaan masyarakat
yang sebelumnya bersikap statis menjadi dinamis. Muhammad Abduh sebagai seorang
pembaruan dalam bidang pendidikan ada beberapa masalah yang ia temukan di
lapangan yang menurutnya menyimpang dan menjadi penyebab kemunduran umat Islam
diantaranya masalah-masalah tersebut adalah masalah kurikulum, metode mengajar
dan pendidikan.[3]
Adanya realitas di atas menjadi
agenda tersendiri bagi Muhammad Abduh untuk melakukan pembaharuan hususnya
dalam bidang pendidikan dan apa yang telah diusahakannya telah selaras dengan
ajaran agama Islam .
Hal ini senada dengan firmannya
yaitu:[4]
3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur
Sesungguhnya Allah
tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Dia ( Q.s Ar-ra’du
11)
Dengan
demikian adanya pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan benar- benar sesuai dengan apa yang telah
diajarkan dalam agama. Sehingga adanya gagasan yang telah dicanangkannya
benar-benar menjadikan pendidikan yang ada sesuai dengan konteks perkembangan
zaman.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Biografi Syeikh Muhammad Abduh ?
2.
Apa
Saja Karya-karya Syeikh Muhammad Abduh ?
3.
Bagaiamana
Corak Pemikiran Syeikh Muhammad abduh?
4.
Bagaimana
Ide Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh Tentang Pendidikan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Ingin
Mengetahui Biografi Syeikh Muhammad Abduh
2.
Untuk
Mengetahui Karya-karya Syeikh Muhammad Abduh
3.
Ingin
Mengetahui Corak Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh
4.
Untuk
Mengetahui Ide Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh Tentang Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Abduh
Nama panjangnya adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah.Ia lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr,
kabupaten al-Buhairah.[5]
Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah. Sedangkan ibunya bernama Junainah berasal
dari suku Arab asli yang menurut riwayat, silsilah keturunannya sampai kepada Sayyidina
Umar bin Khattab.[6]
Kondisi keluarganya berasal dari kaum
petani yang tergolong sebagai keluarga sederhana. Ayah Abduh menikah dengan
ibunya pada saat merantau dari desa ke desa dan pada ketika itu berdomisili di
Mahallat Nasr. Keberadaan mereka berdua lama tinggal di pedesaan di samping itu
perlu diketahui bahwa pengaruh terhadap lingkungan dan keluarganya dia
sangatlah mewarnai dalam pemikiran dan kehidupan mereka. Meskipun di tengah
kehidupan keluarga yang sangat sederhana ternyata mereka selalu taat beragama
dan cinta terhadap ilmu agama. Idealisme pemikiran ayahnya yang tidak pernah
putus asa menjadi cambuk untuk meningkatkan prosesi harapan terhadap sang
putranya menjaadi orang besar atau bahkan dalam karyanya risalah tauhid dengan sebutan al-ustadz
al-Imam Hujjatul al-Islam.[7]
Ayahnya adalah penduduk di Mahallat Nasr, daerah Subrakhit dari
Provinsi Buhairah Mesir selatan, seorang petani yang sedang memiliki feddan sawah. Karena tindakan-tindakan
penguasa yang dipandang sering sewenang-wenang maka ayahnya pindah ke provinsi
Gharbiyyah dan menetap selama 15 tahun dan ahirnya kembali lagi ke daerah
asalnya. Setelah pulang ke kampung halamannya, ayahnya kemudian menikah lagi
dan dari istri ke dua ini lahir beberapa anak. Maka dari itu Syaikh Muhammad
Abduh hidup dalam satu rumah tangga yang terdiri dari istri-istri dan
anak-anak.[8]
Abduh mengawali pendidikannya sejak
umur 10 tahun dengan berguru kepada ayahnya sendiri di rumah. Pelajaran pertama
yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an. Hanya dalam
jangka waktu dua tahun seluruh al-Qur’an telah dihafalnya. Kemudian pada tahun
1862 saat itu usianya 14 tahun dia di kirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di
mesjid al-Ahmadi (al-Jami’ al-Ahmadi) yang termasuk salah satu lembaga
pendidikan terbesar di Mesir guna memperlancar bacaan al-Qur’an sampai ahirnya
ia lulus bahkan mendapat gelar al-Qori’ dan al-Hafidz ia belajar kepada Syaikh
Ahmad. Di sini disamping melancarkan hafalan al-Qur’annya dia juga belajar
bahasa Arab dan Fiqih. Setelah belajar dua tahun, Abduh merasa bosan karena
sistem pengajarannya memakai metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali
ke Mahallat Nasr.[9]
Pada tahun 1282 H/ 1866 Muhammad
Abduh memasuki hidup berumah tangga sekitar 40 hari setelah menikah Abduh
dipaksa ayahnya kembali ke Tanta untuk melanjutkan pelajarannya Abduh mengubah
haluan menuju desa Kanisah untuk bertemu dengan pamannya Syaikh Darwis Khadr.[10]
Semula ia sangat enggan belajar,
tetapi karena dorongan paman ayahnya Syaikh Darwis Khadar, Abduh ahirnnya dapat
menyelesaikan pelajarannya di Tanta. Kemudian ia melanjutkan pelajaran di
Universitas al-Azhar dan menamatkannya pada tahun 1877. Ketika di al-Azhar ia
memperoleh pengalaman yang paling berkesan dari gurunya Syekh Hasan al-Thawil
dan Syekh Muhammad al-Basyuni, masing-masing sebagai guru mantiq dan balaghah.
Selain itu ia sempat berkenalan dan menjadi murid Jamaluddin al-Afghani. Dari
al-Afghani ia mempelajari filsafat. Dengan kemampuan intelektualnya,
memungkinkan ia menulis di harian al-Ahryin
sejak awal didirikan.[11]
Dari perjalanan yang pengalaman
yang diperoleh, mendorong Abduh memilih bidang pendidikan sebagai media
pengabdian ilmunya dan sekaligus menjadi kan pendidikan sebagai tempatnya
melontarkan ide-ide pembaharuannya. Dalam melihat dinamika dan wacana yang
digagasnya terlihat demikian jelas pengaruh Jamaluddin al-Afghani terhadap
pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh.[12]
Karena berbagai gagasan dan
pemikirannya terkadang bertentangan dengan kebijkan penguasa, maka ia terkadang
berhadapan dengan resiko yang harus ditanggung. Ia pernah diasingkan ke luar
negeri karena dianggap ikut terlibat dalam revolusi Urabi Pasya pada tahun
1882. Selanjutnya pada tahun 1884 ia diminta al-Afghani untuk datang ke paris
dan bersama-sama menerbitkan majalah al-Urwah
al-Wusqa.[13]
Dengan perantara majalah itulah
ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam supaya mereka bangkit dari
tidurnya, melepaskan cara berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun
kebudayaan Islam di dunia. Dan setelah ke pulangannya ke Mesir Abduh diberi
jabatan penting oleh oleh pemerintah mesir yakni sebagai mufti pada tahun 1899.
Yakni suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda
dengan mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya sebagai alat
penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas
jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Di samping itu ia diangkat sebagai
anggota majlis perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya
karena ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh
juga pernah diserahi jabatan sebagai hakim mahkamah dan dalam tugas ini ia
dikenal sebagai seorang hakim yang adil. Demikian jabatan tersebut dijabatnya
sampai beliau meninggal dunia akibat menderita kangker hati. Abduh meninggal
dunia di Iskandaria tanggal 11 Juli 1905 dan janazahnya di makamkan dikawasan
Qurafat al-mujawirin ia hanya meninggalkan empat orang putri saja.[14]
Dari sekilas biografi yang telah
dipaparkan di atas Muhammad Abduh
merupakan tokoh Muslim yang berasal dari golongan petani yang penuh
kesederhanaan. Akan tetapi karena kecintaan orang tuanya terhadap ilmu
pengetahuan hal tersebut menjadi sugesti dan motivasi tersendiri bagi Muhammad
Abduh untuk tetap semangat dalam mencari ilmu. Singkat kata bahwa peran orang
tua juga berpengaruh terhadap kesuksesan anaknya.
B.
Karya-karya
Muhammad Abduh
Sebenarnya
Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiran pemikirannya dalam buku.
Abduh lebih memilih metode pidato dalam menyampaikan ide dan pandangannya.
Menurutnya pemikiran yang disampaikan lewat ucapan lebih menyentuh hati
sanubari pendengar dari pada menerangkan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut
dimaklumi karena waktu yang ia miliki habis terpakai untuk mengajar dari pada
untuk menulis. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah yang pernah ia
tulis diantaranya:[15]
1. Al-Waridah,
sebuah karya dalam ilmu kalam dengan metode dan
pendekatan tasawuf inilah karya pertama Muhammad Abduh.
2. Risalah fi Wahdati al-wujud, karya ini
memnag tidak terbit namun karya ini merupakan karya Muhammad Abduh yanh ke dua.
3. Tarikh
ismail Basya, karya ini diberitahukan salah satu
murid Muhammad Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya.
4. Falsafatul
al-ijtima’iyyah wa at-tarikh, buku ini adalah karya
Muhammad Abduh yang dikarang ketika mengajar muqaddimah Ibn Khaldun di madrasah Darul Ulum.
5. Hasyiyah ‘aqaidi al-falali ad-dawwani li
al-adudiyah, buku ini adalah karya terbaik Muhammad Abduh dalam ilmu kalam.
6. Syarh
nahjul balaghah, buku ini sangat terkenal dan telah
diterbitkan di Beirut dua kali, di Tharabulis satu kali, dan di Mesir satu
kali.
7. Syarh maqamat badi’ al-zaman al-hamdani, buku
ini terbit di Beirut buku ini berisikan tentang maqamat.
8. Syarh
al-bashari al-hamdani al-nashiriyyah fi al-mantiq, ini
adalah buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.
9. Nizhamu al-Tarbiyah wa al-ta’lim bi mishr, buku
ini berisikan tentang pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di
Mesir. Ini adalah buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.
10. Risalah
al-tauhid, yang berisikan tentang teologi buku ini
diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid Ridha.
11. Taqriru
al-mahakim al-syariyyah, buku ini sangat husus tema-temanya berguna bukan
saja bagi para hakim tetapi bagi semua pencinta ilmu dan budaya, apalagi para
pelajar fiqih.
12. Al-islam
wa al-nashraniyah ma’a al-‘ilmi wa al-madaniyyah, berisikan
tentang semangat kaum muslimin buku ini merupakan kumpulan makalah-makalah dari
majalah al-manar yang diedit dan
diterbitkan oleh Rasyid Ridha.
13. Tafsir
surat al’ashr, buku ini dipublikasikan di majalah al-manar atas permintaan muridnya dan
lain-lainnya di kota-kota.
14. Tafsir
juz amma
15. Tafsir
al-manar
Dari
karya-karya yang telah di tuangkan oleh Muhammad Abduh tersebut dapat ditarik
benang merah bahwa sekalipun Muhammad
Abduh tidak tertarik menuangkan karyanya lewat tulisan karena situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan, akan tetapi karya-karyanya dapat memberikan
kontribusi dalam dunia intelektual ke Islaman sehingga ide-idenya menyebar
melalui karya-karyanya.
- Corak Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh
1.
Modernisme
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh berusaha
mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuain inilah
yang kemudian disebut dengan modernisasi. Gagasan modernisasi ini bersumber
dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh al-Qur’an
memerintahkan kepada umatnya untuk menggunakan akal sehat serta melarangnya
mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengetahui secara pasti
hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan
oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya.[16]
Muhamamad
Abduh sebagai pelaku modernis telah menyikapi peradaban barat modern dengan
selektif dan kritis. Dalam hal ini Muhammad Abduh menggunakan prinsip ijtihad
sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslim. Nilai-nilai
dan gagasan tertentu lahir dari peradaban barat, seperti demokrasi, prinsip
kebersamaan, kemerdekaan, serta konsep-konsep negara yang diterima Muhammad
Abduh dengan bingkai secara kritis.[17]
Pendapat tentang pembukaan ijtihad dan
pemberantasan taqlid ini, didasarkan atas kepercayaannya pada kekuatan akal.
Menurutnya al-Qur’an menegaskan bukan semata kepada hati manusia tetapi juga
kepada akalnya hal ini dikarenakan Islam memandang akal memiliki kedudukan tinggi.
Agama Islam baginya agama yang rasional menggunakan akal adalah salah satu dari
dasar-dasar Islam. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu
bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi serta dapat memikirkan dan memperoleh
jalan-jalan yang membawa pada kemajuan dari pemikiran akallah akan menimbulkan
ilmu pengetahuan. Selain itu kepercayaan kepada kekuatan akal tersebut akan
membawa kepada paham bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.[18]
Sebagai
seorang modernis, Muhammad Abduh menghadapi tantangan dari yang datang dari
barat dan tuntutan dunia modern dengan menggunakan pendekatan identifikatif
selain juga menggunakan pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik adalah
seorang pemikir Muslim mengemukakan berbagi kelebihan Islam untuk menjawab
tantangan tintelektual barat yang senantiasa mempersoalkan ajaran Islam. Pendekatan
identifikatif bermaksud mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna
memberikan respon sekaligus sebagai identitas Islam di masa modern. Ke dua
pendekatan inilah yang membuat Abduh senantisa mengacu kepada barat dalam hal
intelektualitas-modernitas dan berkiblat pada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal
moralitas. Pendekatan identifikatif Muhammad Abduh lebih identik dengan
pendekatan bagi gerakan pembaruan Islam yang orientasi ideologisnya
modernis-sekuler. Dengan pendekatan ini, kebangkitan Islam hanya dapat
dilakukan dengan cara mengidentifikasi hal-hal yang datang dari barat. Dengan
sikap adoptif rasionalnya, Abduh berusaha mengaplikasikan ajaran Islam dalam
kehidupan realitas yang penuh dengan dinamika perubahan dan
permasalahan-permasalahan yang terus bermunculan. Kaum muslim kiranya
berkewajiban mencarikan pemecahan bagi masalah-masalah baru melalui ijtihad
berdasarkan sumber al-Qur’an dan al-Hadits.[19]
Dengan
demikian Muhammad Abduh benar-benar menginginkan umat Islam mengembangkan
potensi akalnya tanpa harus mengikuti pendapat-pendapat tanpa mengetahui secara
pasti hujjahnya. Oleh karena itu Muhammad Abduh memberikan solusi dengan
membuka kembali pintu ijtihad hal ini memberikan sebuah indikasi bahwa Muhammad
Abduh ingin memberi peluang kepada umat Islam untuk menggunakan potensi akalnya
dengan sebaik-baiknya dengan berlandaskan kepada al-Quran maupun al-hadits.
2.
Rekonstruksionisme
Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan
perspektif pembangunan kembali (rekonstruksi). Agar tradisi suatu masyarkat
dapat tetap survive
dan terus diterima, oleh
karena itu ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern yang
bersyarat rasional. Masih terdapat satu lagi pendekatan yang digunakan Abduh
yakni pendekatan identifikatif-modernis. Penggunaan pendekatan ini bisa diamati
dari esensi pemikirannya pada perumusannya terhadap pemikiran dan revitalisasi
masyarakat Muslim melalui identifikasi gagasan dan institusi-institusi modern.
Adapun pendekatan apologetiknya terlihat dari upaya gigihnya untuk mengukuhkan
dan mempertahankan eksistensi doktrin Islam sebagai landasan utamanya.[20]
Dengan
demikian adanya corak pemikiran yang telah dicanangkan Muhammad Abduh ada
agenda tersendiri bagi Muhammad Abduh untuk melakukan pembaharuan. Gibb
menyebutkan dalam salah satu karyanya yang terkenal Modern Trends in Islam menyebutkan empat agenda yang telah dicanangkan
Muhammad Abduh yaitu:
a.
Purifikasi, Purifikasi adalah pemurnian ajaran
Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya
bid’ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum Muslim. Dalam hal
ini Muhammad Abduh berpendapat kaum Muslim tidak perlu mempercayai adanya
karamah yang dimiliki para wali dalam pandangannya seorang Muslim diwajibkan
menghindarkan diri dari perbuatan syirik. Dari sini kiranya terlihat jelas
bahwasannya Muhammad Abduh secara keras menolak bid’ah dan khurafat umat Muslim
kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
b.
Reformasi Usaha awal Muhammad Abduh dalam
melaksanakan reformasi ini adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar
diajarkan di al-azhar. Dengan belajar filsafat semangat intelektualisme Islam
yang telah padam diharapkan dapat dihidupkan kembali. Usaha Muhammad Abduh ini
terkait dengan tekadnya untuk memerangi taqlid. Sehinnga hal ini dapat membuat
seseorang menjadi tidak berfikir kritis serta dapat dilenyapkan dengan
mempelajari filsafat.
c.
Reformulasi, Penolakan Muhammad Abduh terhadap
pandangan kaum tradisionalis telah mengantarkannya kepada agenda pembaharuan
yang disebuat reformulasi yaitu perlunya perumusan kembali ajaran Islam sesuai
dengan pemikiran modern. Agenda reformulasi yang dilaksanakan Muhammad Abduh
dengan cara membuka pintu ijtihad. Menurutnya kemunduran kaum Muslim disebabkan
oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah situasi
yang diciptakan kaum Muslim sendiri seperti larangan berijtihad. Sementara
faktor eksternal adalah hegemoni barat.
d.
Pembelaan Islam, pembelaan agama Islam ini
berkaiatan dengan faktor eksternal yaitu hegemoni barat. Hegemoni barat sebagai
salah satu faktor kemundurn Islam kiranya tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Satu hal yang dapat dilakukan kaum Muslim dalam menghadapi hegemoni barat
adalah dengan tindakan defensif
yaitu membela Islam atas
serangan-serangan yang dilakukan barat-kristen.[21]
Dengan demikian dalam kaitannya dengan hegemoni barat atas Islam ini,
pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh adalah menyuguhkan Islam secara
rasional bukan dengan penegasan kembali Islam tradisional.
- Ide-ide
Pokok Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh
Munculnya
ide pembaharuan pendidikan yang
dituangkan Muhammad Abduh tidak pernah lepas dari situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan itu sendiri.
Situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh
umat Islam di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Krisis yang menimpa umat Islam saat itu bukan
hanya dalam bidang akidah dan syari’ah tetapi juga akhlak dan moral.
Pemikiran
Muhammad Abduh sesuai dengan sistem pendidikan yang ada saat itu, sehingga pada
abad ke-19 Muhammad Ali memulai pembaharuan pendidikan di Mesir. Pembaruan yang
timpang yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek mewariskan dua tipe
pendidikan pada abad ke-20. Tipe pertama sekolah-sekolah agama dengan Al-azhar
sebagai lembaga tertinggi. Sedangkan tipe ke dua adalah sekolah-sekolah modern
baik yang dibangun oleh pemerintah mesir maupun yang di dirikan oleh pemerintah
asing. Ke dua tipe tersebut tidak punya hubungan antara satu dengan yang
lainnya masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan pendidikannya. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional
baik dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapakan.[22]
Selain
adanya kasus-kasus dia atas adanya dualisme pendidikan yang memunculkan dua
kelas sosial yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama menghasilkan ulama dan
tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi.
Tipe sekolah yang ke dua menghasilakan kelas elite dengan ilmu-ilmu barat yang
mereka peroleh sehingga dalam hal ini Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif
dari dua model pendidikan tersebut. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama
tidak dapat dipertahankan lagi karena hal itu akan menyebabkan umat Islam
tertinggal jauh dan terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern.
Sedangkan pemikiran yang ke dua dapat menimbulkan bahaya yang mengancam
sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang
mereka serap. Sehingga situasi yang demikian melahirkan pemikirn Muhammad Abduh
dalam bidang pendidikan yang terdiri dari dua unsur yang pertama pendidikan
formal dan yang ke dua pendidikan non formal.[23]
Dari
sinilah Muhammad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap ke dua
institusi tersebut sehingga dua pola pendidikan tersebut saling menopang dan
mencapai suatu kemajuan serta upaya mempersempit jurang pemisah antara ke
duanya. Langkah yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan tersebut menyeimbangkan antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum langkah-langkah tersebut dalam rangka untuk memberdayakan
sistem pendidikan Islam itu sendiri antara lain:
1.
Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Dalam merumuskan tujuan pendidikan
Islam, Muhammad Abduh ingin membentuk kepribadian muslim yang seimbang oleh
karena itu pendidikan seyogyanya memperhatikan segi material dan spritual
manusia sekaligus. Dalam hal ini Muhammad Abduh menghubungkan antara tujuan
yang satu dengan yang lainnya, baik tujuan ahir pendidikan maupun tujuan
institusional.[24] Pokok
pikirannya tentang tujuan institusional pendidikan didasarkan kepada tujuan pendirian sekolah. Ia
membagi jenjang pendidikan kepada tiga tingkatan yaitu tingkat dasar, tingkat
menengah, dan tingkat tinggi. Pembagian ini disesuaikan dengan tiga kelompok
masyarakat di lapangan pekerjaan yang akan mereka geluti nantinya. Yang pertama
kelompok para tukang, pedagang, dan petani. Yang ke dua para pejabat dan yang
ke tiga adalah golongan para ulama, pemimpin masyarakat dan ahli pendidikan.[25]
Pada pendidikan tingkat dasar, tujuan
institusionalnya adalah pemberantasan buta huruf, sehingga mampu membaca apa
yang tersurat dan dapat berkomunikasi melalui tulisan. Di samping membaca dan
menulis diharapakan bisa berhitung yang menunjang kegiatan mereka sebagai
petani, pedagang dan pengusaha, pegawai maupun sebagai guru dan pemimpin.
Setelah tujuan tersebut tercapai anak didik diharapkan setelah menyelesaikan
studinya di sekolah tingkat dasar telah memiliki dasar-dasar ilmu pengetahuan
agama yang kuat dan dapat pula mengamalkan pokok-pokok ajaran agama sesuai
dengan kemapuan intelektualnya.
Pendidikan tingkat menengah bertujuan
untuk mendidik anak agar dapat bekerja sebagai pegawai pemerintah baik sipil
maupun militer. Mereka diharapkan oleh negara untuk menjadi orang-orang yang
dipercaya dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Lulusan tingkat menengah ini diharapakan dapat mendahulukan kepentingan dan
kemaslahatan umum di samping kepentingan mereka sendiri serta berusaha
mewujudkan masyarakat sejahtera. Adapun tujuan pendidikan tingkat tinggi untuk
mencetak tenaga guru dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkualitas. Lulusan
ini diharapkan dapat membina kesejahteraan masyarakat.[26]
Dilihat dari tujuan pendidikan yang
dirumuskan Muhammad Abduh bahwa ia sudah merancang suatu tujuan yang baru yang belum
ada pada waktu itu. Tujuan pendidikan agama yang berorientasi pada pencapaiaan
kebahagiaan akhirat melalui pendidikan
jiwa dirubah oleh Muhammad Abduh dengan manambah orientasinya kepada pencapaian
kebahagiaan di dunia melalui pendidikan akal. sehingga pendidikan baginya bertujuan
mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang
memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ahkirat. Oleh
karena itu Muhammad Abduh sangat mengutamakan pendidikan akal bagi umat Islam
hususnya anak didik. Tanpa adanya akal yang terjadi tidak akan bisa mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa
peningkatan daya kal merupakan salah satu pembinaan budi pekerti mulia yang
menjadi dasar dan sumber kehidupan serta kebahagiaan bangsa.[27]
Sehingga dari tujuan pendidikan tersebut
Muhammad Abduh berkeinginan agar proses
pendidikan dapat membentuk kepribadian Muslim yang seimbang. Pendidikan baginya
bukan hanya bertujuan mengembangkan aspek kognitif semata, melainkan pula perlu
menyelaraskan dengan aspek afektif, dan psikomotorik. Disinilah urgensi
pemikiran reformasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam yaitu Prinsip keseimbangan dalam pendidikan ia berusaha
menyeimbangkan antara aspek intelek dan aspek moral dalam sebuah sistem
pendidikan Islam. Dengan adanya prinsip tersebut keseimbangan dalam sistem
pendidikan Islam kaum Muslim diharapakan dapat berpacu dengan barat untuk
menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dengan kebudayaan. Kritik
dan pemikirannya tentang pendidikan didasarkan pada asumsinya bahwa ilmu
pengetahuan barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual ke duanya tidak bertentangan
bahkan saling mendukung.[28]
2.
Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Kurikulum
yang telah dirumuskan oleh Muhammad Abduh, tidak terlepas dari sekolah-sekolah
pemerintah yang tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuuan barat
sepenuhnya, tanpa memasukkan ilmu agama, oleh karena itu Muhammad Abduh
merumuskannya mulai dari tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat atas.
. Kurikulum tingkat sekolah dasar
diberikan mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, pelajaran agama dan
sejarah. Pelajaran agama meliputi akidah menurut versi ahl al-sunnah serta
fikih dan akhlak yang berkaitan dengan halal dan haram, perbuatan-perbuatan
bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup
perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat yang baik dan buruk. Sedangkan pelajaran
sejarah mencakup sejarah Nabi SAW. Dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia
serta jasa mereka terhadap agama.
Kurikulum tingkat sekolah menengah
diberikan mata pelajaran mantiq atau logika, akidah, fikih dan akhlak, dan
sejarah Islam. Pelajaran akidah dikemukakan dengan pembuktian akal dan
dalil-dalil yang pasti. pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum
menjangkau perbedaan pendapat. Di samping itu dijelaskan fungsi akidah dalam
kehidupan. Sedangkan kurikulum tingkat atas diperuntukkan bagi mereka yang akan
menjadi pendidik. Pelajaran yang diberikan kepada mereka mencakup tafsir,
hadis, bahasa arab, akhlak, ushul fiqh, sejarah, retorika, dan ilmu kalam.[29]
3.
Metode Pendidikan
Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan
Islam adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena
itu metode yang dimaksud dalam hal ini mencakup juga metode pengajaran.
Sesungguhnya membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan
materi pelajaran karena dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan
metode pengajaran.
Menurut muhammad Abduh bahwa
metode pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu dilengkapi
dengan metode yang rasional dan pemahaman (insight).
Dengan demikian disamping para siswa menghafal suatu bahan pelajaran juga
dapat memahaminya dengan kritis, objektif dan komprehensif.[30]
Dilihat dari segi
keterampilan membaca dan hafalan metode membaca ini sangat menguntungkan karena
siswa akan bisa menyerap semua materi yang diberikan. Tetapi metode ini juga
memiliki kelemahan seperti menghambat bakat dan inisiatif anak didik dan
menimbulkan verbalistis pada anak didik.[31]
Oleh karena itu Muhammad Abduh ingin
menerapkan metode baru yaitu metode pemahaman konsep yaitu mengajar dengan cara
menjelaskan maksud teks yang dibaca. Sehingga anak didik memahami maksud apa
yang dipelajarinya dan tidak merasa bosan untuk belajar dan metode tanya jawab
antara murid dengan guru tentang suatu pelajaran yang belum dimengerti oleh
anak didik. Kedua metode inilah yang dapat mendukung tercapainya tujuan
pendidikan yang diinginkannya yaitu pengembangan intelektual anak didik, karena
dengan metode tersebut akan memupuk keberanian anak didik untuk mengemukakan
pendapat dan membantah pendapat orang lain jika tidak sesuai dengan
pendapatnya.[32]
Selain memakai metode tersebut ia juga
mengembangkan metode latihan dan pengalaman, metode keteladanan dan cerita.
Karena menurutnya anak didik perlu dilatih untuk beribadah bahkan guru perlu
harus memperagakannya di depan kelas sebagai contoh pelaksanaan ibadah sholat. Di
samping menggalakkan metode keteladanan dalam upaya penanaman nilai-nilai moral
pada guru agar perbuuatan mereka dapat dijadikan panutan bagi anak didik.
Untuk mendukung metode tersebut
dipadukannya dengan metode cerita yaitu dengan memberikan materi sejarah
tentang kisah-kisah perjalanan dan perjuangan Nabi, Sahabat, tabi’in dan
ulama-ulama terdahulu metode ini bertujuan membangkitkan semangat untuk
memberikan dorongan psikologis kepada anak didik.[33]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
Muhammad Abduh bukan saja ingin mengembangkan intelektual anak didik saja akan
tetapi ia menginginkan peserta didik menjadi insan yang berilmu serta berahklak
mulia. Dalam metode yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh tampaknya guru masih
menempati posisi yang penting dalam proses belajar mengajar.
Karena itu Muhammad Abduh memandang
sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
terdiri dari individu-individu yang bekerja sama dan saling menbutuhkan. Organisasi
terdiri dari pemimpin (kepala sekolah) yang beranggotakan para guru dan tenaga
administrasi. Oleh karena itu selain diadakan perbaikan dan pembaharuan
dibidang tujuan, kurikulum dan metode mengajar, maka organisasi pendidikan juga
perlu mendapatkan perbaikan serta perubahan yang mengacu kepada pembaharuan.
Dalam hal ini ada dua hal yang menjadi pusat perhatian Muhammad Abduh yaitu
pimpinan sekolah dan guru.[34]
Menurut Muhammad Abduh seorang pimpinan
sekolah harus memiliki kapasitas pemikiran yang sesuai dengan tujuan kurikulum,
memahami agama dan melaksanakan ajaran agama tersebut secara konsisten ahli
dalam bidang ilmu pengetahuan modern, disenangi masyarakat, dan harus mampu
mengadakan pengawasan dan perbaikan. Dari syarat yang telah diajukan tersebut
ia sangat mengharapkan agar menjadi pimpinan yang menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, yang berfikiran luas dan dapat menerima ilmu pengetahuan modern sebagai
salah satu bagian dari ilmu pengetahuan Islam. Sehingga sekolah benar-benar
dipimpin oleh orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu mengadakan
konsolidasi sehingga akan terjalin kerjasama yang baik antara anggota
organisasi dan pihak lainnya demi kelancaran operasional pendidikan.[35]
Selain kepala sekolah guru adalah
komponen penting dalam sistem pendidikan. Muhammad Abduh juga menetapkan
kriteria guru secara ketat. Baginya seorang guru harus orang yang melaksanakan
ajaran agama dengan baik, berakhlak dan memiliki kemampuan mendidik, layak
menangani tugas pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah direncanakan
tercapai. Muhammad Abduh tidak hanya menuntut tanggung jawab dari guru tetapi
ia juga memikirkan kebutuhan guru dalam menghidupi rumah tangganya. Untuk itu
ia meningkatkan gaji guru dari biasanya. Dengan demikian diharapkan guru
memiliki semangat mengajar yang tinggi dan tidak lagi memikirkan pemasukan uang
tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta mencurahkan perhatian
sepenuhnya terhadap tugasnya sebagai seorang pendidik. Selain itu Muhammad
Abduh juga tidak melupakan unsur lain yang terkait dan turut bertanggung jawab terhadap
pendidikan seperti wali murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa ada kerjasama
yang baik di antara ke tiganya tujuan pendidikan tidak akan terwujud.[36]
Menurut hemat penulis sosok Muhammad
Abduh merupakan tokoh yang memiliki pemikiran yang begitu cemerlang tehadap
pendidikan. Kencemerlangan pemikirannya dapat di lihat dari tiap-tiap ide
pemikirannya yang dituangkan untuk menjadikan pendidikan yang benar-benar
berkualitas. Sehingga pemikirannya tidak hanya difokuskan pada aktifitas yang
dilaksanakan dalam proses pendidikan, selain itu yang menjadi fokus
perhatiannya adalah staf-staf pendidikan seperti guru dan kepala sekolah.
Bahkan untuk mewujudkan pendidikannya ia mengiginkan adanya kerjasama pihak-pihak
yang terkait seperti wali murid hal ini memberikan sebuah indikasi bahwa
keberhasilan pendidikan menurutnya harus ada jalinan kerja sama dalam rangka
untuk merealisasikan tujuan pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muhammad Abduh
merupakan ulama yang intelek atau ulama
yang modern yang berupaya ingin memajukan dan mengembalikan kejayaan umat Islam
agar siap menghadapi tantangan zaman dengan cara meninjau kembali pemahaman
ajaran Islam. Hal ini bisa ditinjau dari corak pemikiran yang dimilki oleh
Syeikh Muhammad Abduh. Corak pemikiran yang pertama adalah modernisme dan corak
pemikiran yang ke dua adalah rekonstruksionisme. hal yang dilakukan Muhammad
Abduh dalam mengupayakannya adalah melalui pendidikan. Gagasan dan pemikiran
Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan yang pertama mengintegrasikan antara
ilmu agama dan ilmu umum, yang ke dua pembaruan dan pengembangan lembaga
pendidikan, yang ke tiga pengembangan kurikulum, yang ke empat pengembangan
metode pengajaran.
B.
Sarana
Makalah ini hanya sebagai wawasan awal
yang mengenalkan kosep pendidikan menurut Muhammad Abduh. Oleh karena itu
penulis menyarankan kepada para pembaca khususnya yang memiliki kemampuan yang
baik untuk lebih memperdalam kajian tentang rekonstruksi pendidikan Islam
perspektif Muhammad Abduh sehingga nantinya dimungkinkan adanya temuan baru dari
hasil kajiannya yang lebih detail dan komperehensif tentang rekonstruksi
pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Nasir,
Sahilun. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi
Islam) Jakarta: Rajawali Pers.
Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: PT Raja Grafindo
persada.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Tarjemahannya Bandung: al-Jumanatul ‘Ali.
Erwin, dan Syamsul Kurniawan.2001. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran
Pendidikan Islam Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nata, Abuddin. 2013. Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta:
Rajawali Perss.
Nurgaya,Haidar putra. 2013. Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah Kajian dari Zaman Pertumbuhan
Sampai Kebangkitan. Jakarta: Kencana.
Samsul Nizar, dan Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: Kalam
Mulia.
.................. . 2007. Sejarah Pendidikan Islam “Menelusur Jejek Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia”. Jakarta: Prenada Media.
Suharto,Toto. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Siswanto, 2009. Pendidikan
Islam dalam Perspektif Filosofis . Pamekasan: Stain Pamekasan Press.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2009. Pendidikan Islam
dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer Malang: UIN Malang Press.
[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014),128.
[2] Haidar putra dan
Nurgaya, Pendidikan Islam dalam Lintasan
Sejarah Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan (Jakarta: Kencana,
2013), 155.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), 239.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjemahannya (Bandung:
al-Jumanatul ‘Ali,2004).
[5] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), 129.
[6] Syamsul Kurniawan dan
Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2001), 115.
[7]Tim Dosen Fakultas
Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan
Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer (Malang: UIN Malang Press,
2009), 349.
[8] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) (Jakarta:
Rajawali Pers,2012), 301.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 302.
[11] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009), 291.
[12] Ibid.
[13] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Rajawali Pers,2013). 307.
[14] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), 132.
[15] Ibid, hlm.134.
[16]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo persada, 2013), 166-167.
[18] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
PT Bulan Bintang: 2001), 55.
[19]Assegaf, Aliran, 168.
[21]Toto, Filsafat
Pendidikan Islam, 225.
[24]Tujuan institusional
adalah tujuan yang ingin dicapai suatu sekolah secara keseluruhan, artinya
apabila seseorang telah menamatkan pelajarannya atau telah lulusdari ujian
akhir ia dapat dianggap telah mencapai tujuan-tujuan yang dibebankan kepadanya.
[25] Iqbal, Pemikiran Pendidikan.,147-148.
[26] Ibid.
[28] Ibid, hlm.233.
[29]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo persada, 2013), 165-166.
[30]Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan 312.
[31]Iqbal, Pemikiran Pendidikan, 154.
[32] Ibid, hlm.155.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid.