BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam suatu pembelajaran, pendekatan memang bukan segala-galanya.
Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.
Faktor-faktor tersebut antara lain kurikulum yang menjadi acuan dasarnya,
program pengajaran, kompetensi guru, materi pembelajaran, strategi
pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi. Ini berarti pendekatan hanyalah
salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang perlu mendapatkan perhatian
dalam keseluruhan pengelolaan pembelajaran.[1] Sesuai
dengan fungsi pendidikan nasional tersebut terletak juga tanggung jawab guru
untuk mampu mewujudkan pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu dan
berkualitas. Salah satu strategi yang dapat dipergunakan guru untuk memperbaiki
mutu dan kualitas proses pembelajaran adalah dengan menerapkan strategi
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
Pembelajaran kontekstual bukan merupakan suatu konsep baru.
Penerapan pembelajaran kontekstual di kelas-kelas Amerika pertama-tama diusulkan
oleh Jhon Dewey. Pada tahun 1916, Dewey mengusulkan suatu kurikulum dan
metodologi pengajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman siswa.[2] Pembelajaran
kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan
antara materi pembelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari.[3]
Tujuan pembelajaran kontekstual adalah untuk membekali peserta didik berupa
pengetahuan dan kemampuan yang lebih realistis karena inti pembelajaran ini
adalah untuk mendekatkan hal-hal yang teoritis ke praktis. Sehingga dalam
pelaksanaan metode ini diusahakan pelajaran yang dipelajari teraplikasi dalam
situasi riil.[4]
Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu
menghubungkan antara yang mereka pelajari dengan bagaimana memanfaatkannya
dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman akademik yang mereka peroleh hanyalah
merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis dalam
kehidupan baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Pembelajaran yang
mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian banyak materi
pembelajaran, tetapi tidak diikuti dengan pemahaman dan pengertian yang
mendalam, yang biasa mereka terapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi
baru dalam kehidupannya.
Dalam makalah ini, menjelaskan pengertian pembelajaran kontekstual,
dan hal-hal yang perlu dipahami sebelum menerapkan pembelajaran kontekstual
serta karakteristik dari pembelajaran kontekstual itu sendiri. Di samping itu,
kajian ini juga mengurai tujuan dari pembelajaran kontekstual, strategi
pembelajaran kontekstual, dan langkah-langkah dalam menerapkan pembelajaran kontekstual
serta kajian ini menganalisis bagaimana mengaplikasikannya dalam sebuah
pembelajaran khususnya dalam pendidikan agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Pembelajaran Kontekstual
2.
Strategi Pembelajaran Kontekstual
3.
Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
4.
Tujuan Pembelajaran Kontekstual
5. Langkah-langkah
Pembelajaran Kontekstual
6.
Penerapan Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Agama Islam
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Pembelajaran Kontekstual
2.
Untuk Mengetahui Strategi Pembelajaran Kontekstual
3.
Untuk Mengetahui Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
4.
Untuk Mengetahui Tujuan Pembelajaran Kontekstual
5. Untuk
Mengetahui Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual
6. Untuk Mengetahui Penerapan
Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL)
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.[5]
Strategi pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang menekankan
pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata,
sehingga mendorong peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.[6]
Menurut Elaine B. Johnson pembelajaran kontekstual adalah sebuah
proses pendidikan yang membantu para siswa melihat makna di dalam materi yang
mereka pelajari dengan menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks
dalam kehidupan sehari-hari.[7] Menurut
Muhammad Muchlis Solichin pembelajaran kontekstual merupakan konsepsi
pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi
dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan
pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.[8]
Menurut hemat penulis, pembelajaran kontekstual adalah sebuah
pembelajaran dimana seorang guru mengaitkan materi pembelajaran dengan realitas
kehidupan peserta didik dan memotivasi siswa untuk mendapatkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dengan caranya sendiri sehingga pengetahuan yang ia dapatkan
lebih bermakna dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,
bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil.[9]
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi siswanya. Pengetahuan itu datang dari
menemukan sendiri bukan didapatkan dari guru. Begitulah tugas guru di dalam
kelas kontekstual.[10]
Berdasarkan konsep dasar pembelajaran di atas, maka ada tiga hal yang harus dipahami.
Pertama, pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan
peserta didik untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan
pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam pembelajaran
kontekstual tidak menginginkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi siswa
diharapkan mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.[11]
Kedua, pembelajaran kontekstual mendorong siswa agar dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata, maka materi itu tidak hanya bermakna secara fungsional,
tetapi juga tertanam dalam memori peserta didik sehingga pengetahuan yang ia
dapatkan tidak mudah dilupakan.[12]
Ketiga, pembelajaran kontekstual mendorong peserta didik untuk dapat
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, artinya siswa bukan hanya memahami
materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi tersebut dapat mewarnai
perilakunya dan menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan nyata.[13]
B. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih yang dapat
memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Strategi berupa serangkaian kegiatan yang dipilih untuk
menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu. Strategi
pembelajaran juga mencakup pengaturan materi yang akan disampaikan kepada
peserta didik.[14]
Dalam strategi pembelajaran kontekstual haruslah dirancang untuk
merangsang lima bentuk dasar dari pembelajaran, yaitu:
1. Pembelajaran berbasis
masalah (problem-based learning), merupakan pendekatan yang melibatkan
siswa dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan
keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Pendekatan ini meliputi, mengumpulkan
dan menyatukan informasi setelah itu mempresentasikan penemuannya.
2. Pembelajaran kooperatif (Coopertive
learning), pendekatan yang mengorganisasikan pembelajaran dengan
menggunakan kelompok belajar kecil di mana siswa bekerjasama untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
3. Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning),
pendekatan yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dan tugas penuh makna
lainnya, untuk mendorong siswa agar bekerja mandiri membangun pembelajaran, dan
pada akhirnya menghasilkan karya ilmiah.
4. Pembelajaran pelayanan (service learning), pendekatan
yang menyediakan suatu aplikasi praktis hasil dari pengembangan pengetahuan dan
keterampilan baru untuk kebutuhan masyarakat.
5. Pembelajaran berbasis
kerja (work-based learning), pendekatan di mana tempat kerja, atau
seperti tempat kerja, kegiatan terintegrasi dengan materi di kelas untuk
kepentingan para siswa.[15]
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu
diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh guru, akan tetapi dari
proses menemukan dan mengkontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari
mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru harus memandang siswa
sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa merupakan manusia yang
memiliki potensi untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru
memberikan pelajaran kepada siswa, guru harus memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menggali pelajaran itu agar lebih bermakna untuk kehidupannya.[16]
C.
Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan
sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran
yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik belajar.[17] Menurut
Hamruni, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran
kontekstual, yaitu:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah
ada (activating knowledge) artinya sesuatu yang akan dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan
yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki
keterkaitan satu sama yang lain.
2. Pembelajaran yang dapat
menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu
diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan cara
mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan secara detail.
3. Memahami pengetahuan (understanding knowledge). Artinya
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan
diyakini kemudian dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari agar dapat
dipraktikkan dan menjadi kebiasaan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge). Artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat
diimplementasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku
siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap
strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini sebagai umpan balik (feedback)
untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.[18]
Selain karakteristik tersebut, Trianto Ibnu Badar al-Tabany
menambahkan bahwa pembelajaran kontekstual juga memiliki karakteristik yang
membedakan dengan model pembelajaran lainnya, antara lain: (1) kerja sama; (2)
saling menunjang; (3) menyenangkan, tidak membosankan; (4) belajar dengan
bergairah; (5) pembelajaran terintegrasi; (6) memakai berbagai sumber; dan (7)
siswa aktif.[19]
D. Tujuan
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
yang digagas oleh Jhon Dewey pada awal abad 20 merupakan metode yang muncul
sebagai reaksi terhadap teori behavioristik (menekankan hasil daripada
proses) yang telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun.[20]
Pendekatan kontekstual menganggap bahwa belajar merupakan proses yang kompleks
dan multi tahap dan terjadi tanpa prinsip stimulus- respon. Pendekatan
kontekstual juga menganggap bahwa manusia belajar secara alamiah dengan
berpikir mencari makna dalam suatu konteks yang berkaitan dengan lingkungannya.
Jadi, pendekatan kontekstual memfokuskan pada aspek lingkungan belajar,
misalnya: lingkungan sekolah, laboratorium, bengkel, masyarakat, dan
sebagainya.[21]
Strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses
pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna
materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan
konteks kehidupan.[22]
Sedangkan menurut Milan Rianto tujuan pembelajaran kontekstual adalah untuk
meningkatkan minat dan prestasi belajar, di samping membekali peserta didik
dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransfer antar
permasalahan dan antar konteks.[23]
Dari definisi dan tujuan di atas penulis dapat memberikan
kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual bertujuan, diantaranya:
1. Untuk memotivasi siswa agar dapat memahami makna materi
pelajaran yang dipelajarinya dengan menghubungkan materi tersebut dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atau
keterampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan
kepermasalahan lainya.
2. Untuk memberikan pemahaman
dan pengembangan minat pengalaman kepada peserta didik agar dalam belajar itu
tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu adanya pemahaman yang komprehensif.
3. Untuk melatih peserta didik agar dapat berpikir kritis dan
terampil dalam memproses, menemukan, dan menciptakan pengetahuan secara alamiah
sehingga pembelajaran lebih bermakna dan dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri
dan orang lain dalam menjalankan realitas kehidupan sebagai anggota keluarga
dan masyarakat.
E.
Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja,
bidang studi apa saja, dan kelas bagaimanapun keadaannya.[24]
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan kontekstual, tentu saja
terlebih dahulu mempersiapkan desain pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan
sekaligus alat kontrol dalam pelaksanaanya.[25]
Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam kontekstual
adalah sebagai berikut:
1. Kembangkan Pemikiran bahwa
anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan
sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.[26]
2. Laksanakan sejauh mungkin
kegiatan inkuiri untuk semua topik yang diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin
tahu siswa melalui sebuah pertanyaan-pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat
belajar, seperti melalui kegiatan kelompok diskusi dan Tanya jawab.[27]
5. Menghadirkan model sebagai
contoh pembelajaran.
6. Melakukan refleksi di
akhir pertemuan dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Melakukan penilaian yang
sebenarnya dengan berbagai cara.[28]
Ada tujuh komponen pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan
oleh guru, yaitu:
1.
Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.[29]
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan dan memberi makna
melalui pengalaman nyata. Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan
bahwa konsep bukan tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman
belajar yang harus dimiliki siswa, tetapi bagaimana dari pengetahuan yang
dimilikinya dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa agar dapat diaktualisasikan
dalam kondisi nyata.[30]
Dalam konstruktivistik, strategi lebih diutamakan dibanding seberapa banyak
peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan.[31]
2. Menemukan (inquiry)
Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri.[32]
Inquiry diperoleh melalui tahap observasi (mengamati), bertanya (menemukan dan
merumuskan masalah), mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data,
menganalisis, dan membuat kesimpulan.[33]
3. Bertanya (questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu;
sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir.[34]
Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran
kontekstual. Penerapan unsur bertanya dalam pembelajaran kontekstual harus
difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru
dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas
dan produktivitas pembelajaran.[35]
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan
sangat berguna untuk:
a.
Menggali informasi tentang kemampuan peserta didik.
b.
Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
c. Mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa.[36]
d.
Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui oleh siswa.
e.
Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.
f.
Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.[37]
4.
Masyarakat belajar (learning community)
Manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.
Hal ini berimplikasi pada ada saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, tetapi di sisi lain tidak bisa melepaskan diri dari
ketergantungan kepada orang lain.[38]
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain.[39]
Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar
teman, antar kelompok, dan antara yang tahu dengan yang tidak tahu, baik di
dalam maupun di luar kelas. Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam
berdiskusi kelompok yang anggotanya heterogen, dengan jumlah yang bervariasi,
sangat mendukung learning community ini.[40]
5.
Pemodelan (modelling)
Asas modelling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta
didik.[41]
Guru dapat menjadi model, misalnya memberi contoh bagaimana cara mengerjakan
sesuatu. Tetapi guru bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa, misalnya siswa ditunjuk untuk memberi contoh pada
temannya, atau mendatangkan seseorang dari luar untuk dijadikan model dalam
sebuah pembelajaran, misalnya mendatangkan salah seorang pengurus ta’mir masjid
ke kelas.[42]
6. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau
baru saja dipelajari. Dengan kata lain, refleksi adalah berpikir kebelakang
tentang apa-apa yang telah dilakukan di masa lalu, yang merupakan pengayaan
atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi
kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati, dan melakukan
diskusi dengan dirinya sendiri.[43]
7.
Penilaian sebenarnya (authentic assessment)
Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan
penilaian.[44]
Penilaian sebenarnya adalah adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.[45]
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran.
Penilaian ini dilakukan secara kontinu selama proses pembelajaran berlangsung,
oleh karena itu, penilaian difokuskan pada proses, bukan pada hasil belajar.[46]
Kelebihan Pembelajaran kontekstual
1. Pembelajaran kontekstual dapat mendorong siswa menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata.
2. Pembelajaran kontekstual mampu mendorong siswa untuk menerapkan
hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari.[47]
3. Pembelajaran kontekstual dapat menjadikan siswa belajar bukan
dengan menghafal, melainkan proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
4. Kelas dalam kontekstual
bukan merupakan tempat untuk memperoleh informasi, melainkan tempat untuk
menguji data hasil temuannya di lapangan.[48]
Kelemahan pembelajaran kontekstual
1. Pembelajaran kontekstual membutuhkan waktu yang lama bagi
peserta didik untuk bisa memahami semua materi.
2. Guru harus lebih intensif dalam membimbing, karena dalam metode
pembelajaran kontekstual guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.
3. Upaya menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas
kehidupan siswa rentan mengalami kesalahan sehingga sulit menemukan hubungan
yang tepat, sering siswa harus mengalami kegagalan berulang kali.[49]
F. Penerapan
Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib
diikuti oleh peserta didik. Tantangan yang dihadapi dalam pendidikan Agama
Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan
pendidikan Agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang Agama,
tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa,
dan akhlak mulia.[50]
Dengan demikian, dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam, penguasaan guru
terhadap materi dan pemahaman mereka dalam memilih metode yang tepat untuk
materi tersebut akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang saat ini dianggap tepat dalam
pembelajaran pendidikan Agama Islam adalah melalui pendekatan kontekstual.[51]
Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan kontekstual
adalah pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di
dalam kelas. Namun, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman
guru-guru PAI mengenai strategi ini. Untuk lebih memahami cara mengaplikasikan
pembelajaran kontekstual dalam proses pembelajaran, di bawah ini akan disajikan
contoh penerapan dalam pendidikan Agama Islam.
Misalnya, pada suatu hari guru akan membelajarkan anak tentang
fungsi zakat. Kompetensi yang harus dicapai adalah kemampuan anak untuk
memahami fungsi dan macam-macam zakat.
Untuk mencapai kompetensi tersebut dirumuskan beberapa indikator hasil
belajar sebagai berikut:
·
Siswa dapat menjelaskan pengertian
zakat.
·
Siswa dapat menjelaskan macam-macam
zakat.
·
Siswa dapat menjelaskan tata cara
pelaksanaan zakat fitrah dan zakat mal.
·
Siswa dapat menyimpulkan tentang fungsi
zakat.
·
Siswa bisa membuat karangan yang ada
kaitannya dengan zakat.
Untuk mencapai
tujuan kompetensi di atas, dengan menggunakan pembelajaran kontekstual guru
dapat melakukan langkah-langkah seperti di bawah ini.
1. Pendahuluan
a. Guru
menjelaskan kompetensi yang harus dicapai, manfaat dari proses pembelajaran,
dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan.
b. Guru
menjelaskan prosedur pembelajaran kontekstual:
1) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa.
2) Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan tugas
tertentu: misalkan siswa kelompok 1 dan 2 melakukan wawancara dengan pengurus
ta’mir masjid yang memang berpengalaman mengelola zakat, kelompok 3 dan 4
melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat atau kepada seorang kyai yang faham
tentang masalah zakat.
3) Siswa ditugaskan mencatat dari semua hasil
wawancara tentang pengertian, macam-macam, tata cara pelaksanaannya, dan fungsi
zakat.
c. Guru
melakukan Tanya jawab seputar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa.
2. Inti
Di lapangan,
siswa-siswa melakukan hal-hal berikut:
a. Melakukan
wawancara sesuai dengan pembagian tugas kelompok.
b. Mencatat
semua hal-hal yang mereka temukan sesuai dengan alat observasi yang telah
mereka tentukan sebelumnya.
Di dalam kelas,
siswa-siswa melakukan hal-hal berikut:
a.
Mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
b. Melaporkan
hasil diskusi.
c. Setiap
kelompok menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain.
3. Penutup
a. Dengan
bantuan guru, siswa menyimpulkan hasil wawancara tentang masalah zakat sesuai
dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
b. Guru
menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalaman belajar mereka
dengan tema “zakat”.[52]
BAB III
KESIMPULAN
1. Pembelajaran kontekstual atau contextual
teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Strategi pembelajaran
kontekstual terdiri dari lima bentuk dasar, yaitu: Pembelajaran berbasis
masalah (problem-based learning), pembelajaran kooperatif (Coopertive
learning), pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran
pelayanan (service learning), pembelajaran berbasis kerja (work-based
learning).
3. Pembelajaran kontekstual
memiliki karakteristik, diantaranya: (1) kerja sama; (2) saling menunjang; (3)
menyenangkan, tidak membosankan; (4) belajar dengan bergairah; (5) pembelajaran
terintegrasi; (6) memakai berbagai sumber; dan (7) siswa aktif.
4. Strategi pembelajaran
kontekstual merupakan suatu proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya
dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan dan untuk
meningkatkan minat dan prestasi belajar peserta didik.
5. Langkah-langkah dalam
pembelajaran kontekstual sebagai berikut: Konstruktivistik merupakan proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman, menemukan (inquiry), bertanya (questioning),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling),
refleksi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assessment).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. 2014. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta: Prenada Media
Group.
Amri, Sofan. 2010. Kontruksi Pengembangan Pembelajaran. Jakarta:
PT Prestasi Pustakaraya.
Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan
Madani.
Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning, Terj.
Ibnu Setiawan. Bandung: Kaifa.
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan
Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama.
Majid, Abdul. 2014. Pembelajaran Tematik Terpadu. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono. 2012. Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas
Pembelajaran di Abad Global. Malang: UIN-Maliki Press.
Muslih, Masnur. 2014. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Rianto, Milan. 2006. Pendekatan, Strategi, dan Metode
Pembelajaran. Malang: Departemen Pendidikan Nasional.
Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran Mengembangkan
Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Inovasi Pembelajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam
Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Solichin, Muhammad Muchlis. 2012. Psikologi Belajar Aplikasi
Teori-teori Belajar dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: SUKA-Press.
Suprijono, Agus. 2014. Cooperative Learning Teori & Aplikasi
Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Taniredja, Tukiran. 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif. Bandung:
Alfabeta.
Trianto. 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Yamin, Martinis. 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta:
Gaung Persada.
[1]Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran
Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 40.
[2]Trianto, Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), 105.
[3]Sofan Amri, dkk, Kontruksi
Pengembangan Pembelajaran (Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya, 2010), 194.
[4]Tukiran
Taniredja, dkk, Model-model Pembelajaran Inovatif (Bandung: Alfabeta,
2011), 50.
[5]Masnur, KTSP Pembelajaran
Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, 41.
[6]Suyadi, Strategi Pembelajaran
Pendidikan Karakter (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 81.
[7]Elaine B. Johnson, Contextual
Teaching and Learning, Terj. Ibnu Setiawan (Bandung: Kaifa, 2010), 67.
[8]Muhammad Muchlis Solichin, Psikologi
Belajar Aplikasi Teori-teori Belajar dalam Proses Pembelajaran (Yogyakarta:
SUKA-Press, 2012), 96.
[9]Abdul Majid, Strategi
Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 228.
[10]Aris Shoimin, 68 Model
Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), 41-42.
[11]Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana,
2011), 255.
[12]Hamruni, Strategi
Pembelajaran (Yogyakarta: Insan Madani, 2012), 137.
[13]Abdul Majid, Belajar dan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
171.
[14]Agus Suprijono, Cooperative
Learning Teori & Aplikasi Paikem (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),
83.
[15]Kokom Komalasari, Pembelajaran
Kontekstual Konsep dan Aplikasi (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), 23.
[16]Wina, Strategi,
264.
[17]Mulyono, Strategi Pembelajaran
Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global (Malang: UIN-Maliki Press,
2012), 42.
[18]Hamruni, Strategi,
137-138.
[19]Trianto Ibnu Badar al-Tabany, Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), 144.
[20]Muhammad, Psikologi, 96.
[21]Ridwan Abdullah
Sani, Inovasi Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 92.
[22]Mulyono, Strategi,
40.
[23]Milan Rianto, Pendekatan, Strategi,
dan Metode Pembelajaran (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2006), 15.
[24]Abdul Majid, Pembelajaran
Tematik Terpadu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 181.
[25]Rusman, Model-model Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 192.
[26]Trianto, Model-model Pembelajaran
Inovatif Berorientasi Kontruktivistik (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011),
106.
[27]Abdul, Strategi,
229.
[28]Mulyono, Strategi,
42.
[29]Hamruni, Strategi,
142.
[30]Rusman, Model-model Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi kedua (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012), 193.
[31]Martinis Yamin,
Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Gaung Persada, 2011), 204.
[32]Trianto, Mendesain,
114.
[33]Abdul, Belajar,
175.
[34]Wina, Strategi,
266.
[35]Rusman, Model,
195.
[36]Hamruni, Strategi,
144.
[37]Martinis, Paradigma,
206.
[38]Rusman, Model,
196.
[39]Trianto, Mendesain,
148.
[40]Masnur, KTSP,
46.
[41]Suyadi, Strategi,
86.
[42]Kokom, Pembelajaran,
12.
[43]Rusman, Model,
197.
[44]Ibid, 197.
[45]Hamruni, Strategi,
147.
[46]Suyadi, Strategi,
87.
[47]Suyadi, Strategi,
95.
[48]Aris, 68
Model, 44.
[49]Suyadi, Strategi,
95-96.
[50]Abdul, Belajar, 169-170.
[51]Ibid, 170.
[52]Lihat Hamruni, Strategi
Pembelajaran, 149-150.