PROBLEMATIKA
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
(Antara
Konsep dan Aplikasi)
Solehan
Arif[1]
Abstrak:
Pendidikan
inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelaian dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama denga peserta didik pada
umumnya. Pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya
tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada model-model
lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan di antaranya
adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi).
Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal meliputi tiga
proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik dan asesmen
kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan metode khusus dalam
pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus.
Kata
kunci: problematika, penerapan, pendidikan, inklusif
Pendahuluan
Education for all Handicapped Children Act tahun 1975
mengeluarkan mandat bahwa layanan pendidikan yang layak harus diberikan bagi
seluruh anak berkelainan dan disediakan dana bagi penerapan layanan pendidikan
tersebut. Deklarasi tentang pendidikan untuk semua di Jomtien, Thailand juga
memberikan fokus pendidikan untuk semua. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa
terdapat kesenjangan pendidikan, dan adanya kelompok tertentu yang rentan akan
diskriminasi dan eksklusivitas.[2] Hal
itu sejalan dengan Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[3]
Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk nomor
empat di dunia nuansa warna budaya yang unik dan khas telah menjadikannya
sebagai negeri pelangi yang plural. Pandangan inklusi sudah tercermin dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menghimpun keragaman dalam sebuah kesatuan.
Kondisi ini merupakan landasan penting dalam menciptakan Lingkungan Pendidikan
Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP).[4]
Oleh karena itu, Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (PENSIF)
bagi peserta didik[5]
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa
perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak
asasinya serta diselenggarakan secara inklusif.[6]
Dewasa ini sebagian anak yang berkebutuhan khusus sudah ada yang
mengikuti pendidikan di sekolah umum, namun karena tidak ada pelayanan khusus
bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan
putus sekolah. Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan
dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan di
sekolah umum yang disebut dengan istilah pendidikan terpadu menuju pendidikan
inklusif.[7]
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memberikan layanan
terhadap semua tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial,
emosi, ekonomis, jenis kelamin, suku budaya, tempat tinggal, bahasa dan
sebagainya, di mana semua anak dapat belajar bersama-sama, baik di sekolah
formal maupun non formal yang berada di dekat tempat tinggalnya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.[8]
Semua anak memiliki hak yang sama dan seharusnya mendapatkan kesempatan yang
sama untuk dan di dalam pendidikan.[9]
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dalam penulisan ini difokuskan pada lima persoalan utama, yaitu pertama,
bagaimana konsep dan latar belakang munculnya pendidikan inklusif sehingga
menjadi konsep pendidikan terpadu bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kedua,
landasan hukum dari pendidikan inklusif. Ketiga, jenis-jenis
pendidikan inklusif. Keempat, bagaimana implementasi dari pendidikan
inklusif. Kelima, problematika implementasi pendidikan inklusif.
Konsep Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan konsep pendidikan yang tidak
membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun
mental. Penafsiran tentang pendidikan inklusif sesungguhnya cukup beragam
sesuai dengan sudut pandang pengkaji dalam menguraikan makna substansial dari pendidikan
inklusif.[10]
Hal ini disebabkan oleh adanya pengertian pendidikan inklusif yang bersifat
progresif, sehingga mengalami penyempurnaan secara terus menerus sejalan dengan
semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktik pelaksanaan pendidikan
inklusif itu sendiri. Pemahaman yang jelas tentang pendidikan inklusif itu
penting karena tergantung pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari
pemahaman itu, hasilnya dapat sangat berbeda. Jika pendidikan inklusif didefinisikan
secara sempit atau didasarkan pada asumsi “anak sebagai masalah” dan jika
kemudian definisi tersebut digunakan untuk mengembangkan atau memonitor
praktiknya, maka pendidikan inklusif akan gagal atau tidak berkesinambungan.[11]
Selama ini, istilah ‘inklusif’ diartikan dengan mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Dalam penulisan
ini, ‘inklusif’ mempunyai arti yang lebih luas.
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif
Kata “inklusif” berasal dari bahasa Inggris yaitu inclusion yang
artinya termasuknya atau pemasukan.[12]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia inklusi atau inklusif diartikan
sebagai: termasuk; terhitung. Lawan kata dari inklusif adalah ekslusif yang
artinya terpisah dari yang lain; khusus.[13] Menurut
Terje Magnusson inklusif berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak
yang memiliki kesulitan belajar, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam
belajar. Secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik
tanpa terkecuali.[14]
Sedangkan menurut Kristi & Zane “inclusion is a controversial concept in education whereby each
student is integreted to the fullest extent possible in a general education
classroom”.[15] Jadi inklusif
adalah salah satu model pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, di mana
setiap peserta didik terintegrasi semaksimal mungkin untuk dapat belajar
bersama-sama dalam kelas pendidikan umum.
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan
universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap
beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat.[16] Menurut
Suparno, pendidikan inklusif adalah suatu sistem layanan pendidikan untuk
anak-anak berkebutuhan khusus di kelas normal bersama-sama dengan teman
sebayanya. Jadi pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sekolah pendidikan inklusif adalah sekolah yang menyediakan layanan
pendidikan bagi semua peserta didik yang berkebutuhan khusus di kelas yang
sama. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif merupakan tempat pendidikan
untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapatkan perlakuan secara
proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan.[17] Pemerintah
kabupaten atau kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial. Sedangkan satuan pendidikan yang tidak ditunjuk oleh kabupaten/kota
dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan mempertimbangkan sumber daya
yang dimiliki sekolah tersebut.
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak
(termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk mendapatkan pendidikan yang layak
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2. Membantu
mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3. Membantu meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus
sekolah
4. Menciptakan sistem
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah
terhadap pembelajaran
5. Memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945.[18]
B. Asal Mula dan Perkembangan Pendidikan Inklusif
Dari mana asal mula konsep pendidikan inklusif? Bagaimana latar
belakang munculnya pendidikan inklusif sehingga menjadi konsep pendidikan terpadu
bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus? Bagaimana sejarah awal munculnya
konsep pendidikan inklusif, bagamana perkembangan pendidikan inklusif khususnya
pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor Apa saja yang memengaruhi sehingga
pendidikan inklusif sangat perlu untuk diaplikasikan demi menyelamatkan masa
depan bangsa yang memiliki kelainan dan keterbatasan fisik untuk bisa menikmati
pendidikan seperti halnya anak-anak normal lainnya.
Pada mulanya penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia diprakarsai
oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar
Pendidikan Luar Biasa ke Skandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan
Least restrictive environment, yang ternyata cocok diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed. Act. Pada tahun 1991 mulai
diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif yang ditandai adanya pergeseran
model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segi segregatif ke
integratif.[19]
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin
nyata, terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak-hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi “education for all”. Implikasi dari pernyataan
ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa terkecuali
(termasuk ABK) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on
inclusive education”.[20]
Di Indonesia, pendidikan inklusif sebenarnya telah dirintis sejak
tahun 1986 namun sedikit dalam bentuk berbeda. Sistem pendidikan tersebut
dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak penyandang cacat juga
ditempatkan di sekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem
sekolah umum. Sehingga mereka harus dibuat ‘siap’ untuk diintegrasikan ke dalam
sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang
bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusif adalah
sebaliknya, sekolah dibuat ‘siap’ dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak
penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka dipandang sistemnya yang
bermasalah.[21]
Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia saat ini semakin
diterima dan berkembang cukup pesat. Namun, dalam tataran implementasinya masih
dihadapkan kepada berbagai problema, isu, dan permasalahan yang harus dihadapi
secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan proses menuju
pendidikan inklusif itu sendiri serta selaras dengan filosofi dan konsep-konsep
yang mendasarinya. Untuk itu, diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras dari
berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasinya.[22]
Guna terus mengembangkan pendidikan inklusif, pemerintah mengambil
berbagai strategi, baik melalui diseminasi ideologi pendidikan inklusif,
mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber penataran/pelatihan
bagi guru-guru SLB maupun guru sekolah reguler, bahkan pemerintah membuka
program magister dalam bidang inklusif dan pendidikan kebutuhan khusus sehingga
pada tahun 2005 cukup banyak sekolah reguler yang mengajukan untuk menjadi
sekolah inklusif, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui oleh pemerintah
hanya 504 sekolah, karena konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi
dan fasilitas lain pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif
tersebut.[23]
Landasan Hukum Pendidikan Inklusif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada konsep
keberagaman yang dimiliki oleh setiap individu. Di dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif berpijak pada beberapa landasan hukum sebagai berikut:
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofi utama program pendidikan inklusif di Indonesia
adalah pancasila yang merupakan 5 pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas
fondasi yang lebih mendasar lagi yaitu, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
berdasarkan semboyan itu bangsa Indonesia membangun sistem pendidikannya.[24]
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik kebhinnekaan
vertikal maupun kebhinnekaan horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai
umat Tuhan di muka bumi.kebhinnekaan tunggal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri. Sedangkan kebhinnekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan
suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan tempat tinggal. Walaupun beragam
namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk
membangun kebersamaan dan interaksi yang dilandasi dengan saling membutuhkan.[25]
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan)
dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan
suku, ras, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam diri individu berkelainan
pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya dalam diri
individu berbakat pasti juga terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada
makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak
memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya
perbedaan suku, ras, budaya, bahasa, dan agama, tetap dalam kesatuan. Hal itu
terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga
mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi yang nampak atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.[26]
B. Landasan Yuridis
Selanjutnya selain landasan filosofis, landasan yuridis juga
diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Landasan yuridis-empiris
dimaksud diantaranya mengacu pada:
1. UUD 1945 pasal 31 ayat (1)
‘setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’, ayat (2) setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
2. UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pasal 49, Negara, Pemerintah, keluarga, dan orang
tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan.
3. UUSPN No 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) ‘setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat (2)
‘warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, pasal 11, ayat (1) ‘pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
4. Permen Nomor
70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
5. Deklarasi
Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Right)
6. Konvensi Hak
Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child)
7. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (Word
Conference on Education for All)
8. Resolusi PBB Nomor 48/96
tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard
Rules on the Eequalization of Opportunities for Person with Disabilities)
9. Pernyataan Salamanca
(1994) tentang Pendidikan Inklusif , Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan
untuk Semua, Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukit Tinggi (2005)
komitmen pendidikan inklusif yang ramah terhadap semua anak.[27]
C. Landasan Spritual
Islam mengajarkan pada umatnya dalam kehidupan kemasyarakatan untuk
saling berinteraksi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling
mengenal serta saling tolong menolong dalam kebaikan, hal ini dijelaskan dalam
Q.S. al-Hujurat ayat: 13, Allah berfirman:
Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Teliti.”[28]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kita diciptakan dengan
bermacam-macam latar belakang, dan seharusnya kita saling mengenal dan
tolong-menolong. Dengan adanya perbedaan warna kulit, keanekaragaman budaya dan
adat istiadat akan semakin berkembang serta memupuk rasa tenggang rasa di
antara sesama karena kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik
tetapi taqwanya.[29]
D. Landasan Pedagogis
1. Undang-Undang No 20/2003
pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Anak adalah seorang
makhluk manusia yang memerlukan pendidikan (homoeducandum) serta dapat
dididik (homoeducable) sebagai akibat dari kondisinya, anak berkebutuhan
khusus memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
3. Anak adalah pribadi yang
unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang
berbeda.[30]
Jenis-Jenis Pendidikan Inklusif
Pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus,
sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada
model-model lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan
di antaranya adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi).
Secara ringkas ketiga model layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Sekolah Segregasi
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak
berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan regular. Di Indonesia bentuk
sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak
tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D
(untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.
Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB,
SMPLB, dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem yang digunakan
terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah regular, baik kurikulum,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem
pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain
aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.[31]
B. Sekolah terpadu (integrasi)
Sekolah terpadu merupakan suatu sistem pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan
di sekolah umum bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Di dalam sistem
ini, anak-anak berkebutuhan khusus tidak diberikan perlakuan khusus, melainkan
harus mengikuti sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Sekolah tetap
menggunakan kurikulum, sistem pembelajaran, evaluasi maupun sarana prasarana yang
berlaku untuk semua peserta didik. Untuk itu peserta didik harus menyesuaikan
dengan sistem yang ada di sekolah tersebut, dan tidak ada perlakuan khusus bagi
peserta didik tertentu, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada
akhirnya akan putus sekolah [32]
C. Sekolah Inklusif
Sekolah inklusif salah satu model pendidikan untuk anak-anak
berkebutuhan khusus, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari sistem
pendidikan terpadu. Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan
anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum, artinya sekolah mengakomodasi
kebutuhan masing-masing anak sesuai dengan kebutuhannya secara optimal.
Kurikulum, sistem pembelajaran, evaluasi, tenaga pendidik, dan fasilitas
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Pendek kata, dalam pendidikan
inklusif sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan kebutuhan anak, dan bukan
sebaliknya anak yang harus menyesuaikan diri dengan sistem yang ada di sekolah.
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun
anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan
sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai
dengan potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara
pandang, sikap sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan
individual tanpa diskriminasi.[33]
Implementasi Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif mengharuskan penyesuaian dalam sistem kebijakan
pendidikan dan rancangan implementasinya. Penyesuaian tersebut meliputi sistem
rekruitmen peserta didik dan pendidik, area dan level materi, metode dan
pendekatan belajar mengajar, media yang digunakan, serta sistem evaluasi yang
sesuai dengan karakteristik individual peserta didik berkebutuhan khusus.
Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal
meliputi tiga proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik
dan asesmen kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan
metode khusus dalam pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus.
Tiga alur utama tersebut dilaksanakan dengan pendekatan individual dan
kolaboratif.[34]
A. Identifikasi dan Asesmen
Identifikasi sebagai prosedur atau proses awal dari pendidikan khusus merupakan
upaya menemukenali tipe kebutuhan khusus seseorang yang biasanya meliputi
kegiatan menemukan masalah, screening (penjaringan), menentukan
diagnosis tipe kebutuhan khususnya setelah terjaring sebagai individu dengan
berkebutuhan khusus, dan mendalami dengan asessmen kebutuhan belajar secara
individual.
Asesmen tindakan untuk menemukenali kondisi peserta didik, meliputi aspek:
potensi, kompetensi, dan karakteristik peserta didik dalam kerangka penentuan
program pendidikan atau intervensi untuk mengembangkan semua potensi yang
dimilikinya. Secara khusus asesmen juga dimaksudkan untuk mengetahui
keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun
nantinya benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajarnya. Dalam
konteks pembelajaran dan layanan kekhususan, hasil asesmen dapat
digunakan untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik sebelum memperoleh
layanan pendidikan.[35]
B. Kurikulum Pendidikan Inklusif
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun
demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus
sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat,
maka dalam implementasinya, kurikulum regular perlu dimodifikasi sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi kurikulum dilakukan oleh Tim pengembang kurikulum di
sekolah. Tim pengembang kurikulum terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas,
guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain
yang terkait.[36]
1. Model-Model
Pendidikan Inklusif
Penerapan kurikulum akomodatif[37]
dapat memanfaatkan model penyelarasan kurikulum yang dilakukan dalam bentuk eskalasi
(escalation), duplikasi (duplication), modifikasi (modification),
substitusi (substitution), omisi (omission).
a. Model
Eskalasi
Eskalasi (escalation) berarti kurikulum standar nasional
dinaikkan tingkat kualifikasi materinya baik secara horizontal maupun vertikal
sesuai dengan tuntutan potensi siswa cerdas istimewa dan/atau bakat istemewa.
Penaikan tuntutan kurikulum standar nasional secara vertikal berarti materi
kurikulum bagi siswa cerdas istemewa dan/atau bakat istemewa tingkat
kesukarannya dinaikkan. Sedangkan secara horizontal berarti materi kurikulumnya
diperluas.
Tujuan eskalasi kurikulum standar nasional adalah agar peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istemewa dapat berkembang
secara optimal. Implikasi dari eskalasi kurikulum standar nasional ini
memungkinkan siswa cerdas istemewa dan bakat istemewa secara kronologis waktu
belajarnya sama dengan siswa lain, tetapi perolehan hasil belajarnya lebih luas
dan lebih dalam, sehingga dimensi sosial psikologisnya tetap dapat tumbuh dan
berkembang secara natural.[38]
b. Model
Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Duplikasi kurikulum
adalah cara pngembangan kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan
menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler
pada umumnya.
c. Model
Modifikasi
Modifikasi artinya merubah untuk disesuaikan. Modifikasi kurikulum
bagi peserta didik berkebutuhan khusus dikembangkan dengan cara merubah
kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler untuk
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan
demikian, peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya.
d. Model
Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Substitusi kurikulum bagi peserta
didik berkebutuhan khusus berarti mengganti isi kurikulum standar nasional
dengan materi yang lain. Pergantian dilakukan karena isi kurikulum nasional
tidak memungkinkan diberlakukan kepada anak berkebutuhan khusus, tetapi masih
bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai sama).
e. Model Omisi
Omisi artinya menghilangkan. Model kurikulum omisi berarti
menghilangkan sebagian/keseluruhan isi kurikulum standar nasional karena tidak
mungkin diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain
omisi berarti isi sebagian/keseluruhan kurikulum standar nasional tidak
diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus karena terlalu sulit/tidak
sesuai.[39]
2. Media
Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif
Media pendidikan dan pembelajaran memiliki banyak jenis dan
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu guru
perlu memahami karakteristik media itu agar dapat memilih media yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Model media berdasarkan karakteristiknya
digolongkan menjadi dua bagian yaitu, media dua dimensi dan media tiga dimensi.
Media dua dimensi meliputi media grafis, media bentuk papan, dan media cetak.
Sedangkan media tiga dimensi dapat berwujud sebagai benda asli, baik hidup
maupun mati dan dapat pula berwujud sebagian tiruan yang mewakili aslinya.[40]
Media pembelajaran dalam pendidikan inklusif berdasarkan
karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus diantaranya:
No
|
Jenis
|
Media
|
1
|
ABK dengan gangguan penglihatan
|
Buta Total: Peta timbul, radio, audio, penggaris, braille, blokies, papan
baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzle buah-buahan, talking watch,
kompas braille, botol aroma, bentuk-bentuk geometri, tape recorder, komputer
dengan sistem jaws, media tiga dimensi, media dua dimensi, lingkungan sekitar
anak, braille kit, mesin tik braille, kamus bicara, kompas bicara, komputer
dan printer braille, color sorting box.
Low Vision: CCTV, Magnifer Lens Set, view scan.
|
2
|
ABK
dengan gangguan pendengaran
|
Foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga,
miniature benda, finger alphabet, model telinga, torso setengah badan, puzzle
buah-buahan, puzzle binatang, puzzle kontruksi, silinder, model geometri,
menara segitiga, menara gelang, menara segi empat, atlas, globe, peta
dinding, miniature rumah adat.
|
3
|
Tunagrahita/anak lamban belajar
|
Gradasi kubus, gradasi balok, silinder, manara gelang, kotak
silinder, multi indra, puzzle binatang, puzzle kontruksi, puzzle bola, boks
sortor warna, geometri tiga dimensi, papan gemetri, konsentrasi mekanik,
puzzle set, abacus, papan bilangan, kotak bilangan, sikat gigi, dressing
prame set, pias huruf, pias kalimat, alphabet fibre, box, bak pasir, papan
keseimbangan, power raider.
|
4
|
ABK
dengan gangguan motorik
|
Kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, torso seluruh badan,
geometri sharpe, menara gelang, menara segitiga, gelas rasa, botol aroma,
abacus dan whaser, papan pasak, kotak bilangan.
|
5
|
Tunalaras
|
Animal maching games, sand pits, konsentrasi mekanik, animal
puzzle, fruits puzzle, rebana, flute, torso, construtive puzzle, organ.
|
6
|
Anak berbakat
|
Buku paket, buku referensi, buku pelengkap, majalah, Koran,
internet, modul, lembar kerja, computer, VCD, museum, perpustakaan, TV, OHP,
chart, dsb.
|
7
|
Kesulitan belajar
|
Disleksi: kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat
Disgrafia: kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, balok
bilangan.
|
8
|
Autis
|
Kartu huruf, kartu kata, kartu angka, kartu kalimat, konsentrasi
mekanik, computer, menara segitiga, menara gelang, fruit puzzle, constructive
puzzle.
|
9
|
Tunaganda
|
Disesuaikan dengan karakteristik kelainannya.
|
10
|
HIV AIDS
|
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan
setting pelayanan pendidikan.
|
11
|
Korban penyalahgunaan narkoba
|
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan
setting pelayanan pendidikan.
|
12
|
Indigo
|
Digunakan media seperti anak pada umumnya.
|
C. Metode Pembelajaran Pendidikan Inklusif
Strategi atau kiat melaksanakan pembelajaran serta metode
pembelajaran termasuk faktor-faktor yang menentukan tingkat efisiensi dan
keberhasilan belajar siswa, karena dalam kelas inklusif kemampuan kognitif
peserta didik berbeda-beda. Untuk itu dalam memilih metode pengajaran dalam
kelas inklusif harus bervariasi.[41]
Pada umumnya metode yang sering digunakan guru dalam pembelajaran
reguler atau kelas inklusif adalah sebagai berikut:
1. Metode
Ceramah
Ceramah adalah penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Dalam
penggunaan metode ceramah ini khususnya bagi anak yang mengalami gangguan
pendengaran atau tunarungu, guru dapat membuat variasi lain ketika guru memberi
penjelasan atau komunikasi hendaknya menghadap ke anak (face to face)
sehingga anak dapat melihat gerak bibir.
2. Metode Tanya
Jawab
Metode Tanya jawab adalah metode pembelajaran yang
mengkomunikasikan langsung antara guru dan murid. Metode Tanya jawab dalam
pembelajaran inklusif ini dapat melatih keaktifan anak, misalkan pada anak
tunalaras, (slow leaner) supaya kebutuhannya dapat terpenuhi dalam
proses pembelajaran, karena tingkat pemahamannya lemah sehingga diharapkan melalui
metode ini mereka aktif bertanya.
3. Metode
Diskusi
Metode diskusi digunakan untuk saling menukar informasi, tukar
pendapat, dan unsur-unsur pengalaman dengan maksud untuk mendapatkan pengertian
bersama secara jelas. Melalui metode ini dapat memberikan pengalaman baru untuk
saling tukar pikiran antara anak berbakat dengan anak mengalami gangguan
belajar.
4. Metode
Eksperimen
Metode ini dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu seperti ilmu
alam, ilmu kimia, dan sejenisnya. Dalam pembelajaran inklusif diharapkan guru
dapat menggunakan metode ini, karena pada dasarnya anak berkebutuhan khusus tidak
selamanya dapat memahami pelajaran yang disampaikan guru.
5. Metode
Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran yang menggunakan
peragaan untuk memperjelas pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana sesuatu
kepada peserta didik. Dalam pembelajaran inklusif metode ini dapat diterapkan
kepada anak yang khususnya mengalami gangguan komunikasi atau tunarungu karena
mereka mengalami gangguan pendengarannya maka lebih banyak menggunakan indera
penglihatannya dalam belajar.
6. Metode Sosio
Drama
Metode sosio drama pada dasarnya mendramatisasi tingkah laku dalam
hubungannya dengan masalah sosial. Dalam pembelajaran inklusif metode dapat
diimplementasikan kepada semua peserta didik, dan khususnya kepada anak
berbakat, karena mereka mempunyai kemampuan memainkan drama, seni tari, dan
seni rupa. Serta metode ini juga dapat diimplementasikan kepada anak tunalaras
untuk menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan Norma dan aturan
yang berlaku dalam hubungan sosial.[42]
Problematika Implementasi Pendidikan Inklusif
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia, sampai
saat ini implementasi pendidikan inklusif masih dihadapkan kepada berbagai
permasalahan yang apabila tidak diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan khusus
memungkinkan dapat menghalangi perlakuan adil dan akses anak berkelaian untuk
mengikuti pendidikan di sekolah reguler terdekat sehingga menghambat
keberhasilan implementasi pendidikan inklusif. Menurut Sunardi sebagaimana yang
dikutip Sunaryo, problematika implementasi pendidikan inklusif tersebut
meliputi:
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan
menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria
penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi
standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria
sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan
siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.
3. Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya PP. No.19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 (1) tentang keharusan untuk
memiliki tenaga pendidikan khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan
melakukan penolakan masuknya anak berkelaian ke sekolah yang bersangkutan, yang
ditandai dengan munculnya gejala “eklusivisme baru”, yaitu penolakan anak
berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya
bukan sekolah inklusif.
4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum
mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan.
5. Masih dipahami pendidikan
inklusif secara dangkal, yaitu semata-mat memasukkan anak disabled children ke
sekolah reguler, tanpa upaya untuk mengakomodasikan kebutuhan khususnya.
Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak
merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan
sebagainya. Pada hal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah
mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai,
menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
6. Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh
pemerintah oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap
eklusifme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Nasional (SBI), Sekolah
Rintisan Berstandar Nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan,
kelas akselarasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu
dapat berdampak kepada sekolah inklusif sebagai sekolah kelas dua (second
class), karena menerima ABK sama dengan special school.
7. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari
aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran,
sehingga hanya terkesan program eksperimental.[43]
Penutup
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif bertujuan memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk
mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
serta menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada konsep
keberagaman yang dimiliki oleh setiap individu. Di dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif berpijak pada beberapa landasan hukum, yaitu landasan
filosofis, landasan yuridis-empiris, landasan spiritual, dan landasan
pedagogis. Dalam pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus,
sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada
model-model lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan
di antaranya adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi).
Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal
meliputi tiga proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik
dan asesmen kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan
metode khusus dalam pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus.
Tiga alur utama tersebut dilaksanakan dengan pendekatan individual dan
kolaboratif.
Implementasi pendidikan inklusif masih dihadapkan kepada berbagai
permasalahan di antaranya, dalam sistem penerimaan siswa baru, pencapaian hasil
ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, tidak tersedianya guru
pendidikan khusus, kurikulum pendidikan umum yang belum mengakomodasi
keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan, dangkalnya pemahaman
tentang pendidikan inklusif, kurangnya perhatian dan keseriusan pemerintah
dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik
dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode
pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.
Daftar Pustaka
Al-Habra. 2008. Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi.
Bandung: Fajar Utama Madani.
Devi Mastuti, “Kesiapan Taman Kanak-Kanak dalam Penyelenggaran
Kelas Inklusi Dilihat Program Kegiatan Pembelajaran”, Belia, 3 (Januari,
2014).
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Watterdal, Terje Magnussonn. 2004. Perangkat untuk Mengembangkan
Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran: Adaptasi Versi
Indonesia-Edisi Kelima, Terj. Susi Rakhmawati & Braillo Norway. Thailand:
UNESCO.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif.
Kustawan & Budi Hermawan. 2013. Model Implementasi
Pendidikan Inklusif Ramah Anak. Jakarta: Luxima.
Sukinah, “Manajemen Strategik Implementasi Pendidikan Inklusif”, Jurnal
Pendidikan Khusus, 7/2 (Nopember, 2010)
Pinnock, Helen. 2011. Sekolah Darurat: Bagi Semua Orang Panduan
Saku INEE bagi Pendidikan Inklusif, Terj. XX. Switzerland: INEE.
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep &
Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit
Sumber, Terj. Susi Septaviana R. Bandung: Upi.
Anwar, Desi. T.t. Kamus
Lengkap: Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris. Surabaya: Amelia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kristi S. Gaines & Zane
D. Curry, “The Inclusive Classroom: The Effects of Color on Learning and
Behavior,” Jurnal of Family & Consumer Sciences Education, 29/1
(Spring/Summer, 2011).
Sunaryo, “Manajemen Pendidikan Inklusif: Konsep, Kebijakan, dan
Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa,” Jurusan PLB FIP UPI
(Pebruari, 2009).
Budianto, dkk, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat
Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2012.
Indianto, R. 2013. Materi Workshop Sekolah Inklusi: Implementasi
Pendidikan Inklusif. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Sesuai
Permendiknas No 70 Tahun 2009, Direktorat PPK-LK Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2011).
Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Inklusif. 2003. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Sumiyati. 2011. PAUD Inklusi Paud Masa Depan. Yogyakarta:
Cakrawala Institute.
Alfian, “Pendidikan Inklusif di Indonesia”, Edu-Bio Vol 4,
Tahun 2013.
Basyirudin, Usman. 2002. Metodologi Agama Islam. Jakarta:
PT. Intermasa.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa (2007).
Aini Mahabbati,”Kebijakan, Implementasi dan Isu Strategis
Pendidikan Bagi Individu Berkebutuhan Khusus”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume
IIII No 1 (Juni, 2014).
Syah, Muhibin. 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu.
[1]Penulis adalah mahasiswa Program
Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan.
[2]Devi Mastuti, “Kesiapan Taman
Kanak-Kanak dalam Penyelenggaran Kelas Inklusi Dilihat Program Kegiatan
Pembelajaran”, Belia, 3 (Januari, 2014), 2.
[3]Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[4]Terje Magnussonn Watterdal, Perangkat
untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran: Adaptasi
Versi Indonesia-Edisi Kelima, Terj. Susi Rakhmawati & Braillo Norway (Thailand:
UNESCO, 2004), 1.
[5]Peserta didik di sekolah inklusi
terdiri atas (1) peserta didik pada umumnya, yaitu peserta didik yang selama
ini dikategorikan “normal/biasa”, dan (2) peserta didik berkebutuhan khusus,
yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istemewa. Peserta didik yang
berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki
gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat
adiktif lainnya, serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan /atau
bakat istemewa.
[6]Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif.
[7]Kustawan & Budi Hermawan, Model
Implementasi Pendidikan Inklusif Ramah Anak (Jakarta: Luxima, 2013), 4.
[8]Sukinah, “Manajemen Strategik
Implementasi Pendidikan Inklusif”, Jurnal Pendidikan Khusus, 7/2
(Nopember, 2010), 44.
[9]Helen Pinnock, Sekolah Darurat:
Bagi Semua Orang Panduan Saku INEE bagi Pendidikan Inklusif, Terj. XX
(Switzerland: INEE, 2011), 5.
[10]Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan
Inklusif: Konsep & Aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 23.
[11]Sue Stubbs, Pendidikan Inklusif:
Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, Terj. Susi Septaviana R (Bandung: Upi,
2002), 37.
[12]Desi Anwar, Kamus
Lengkap: Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris (Surabaya: Amelia, t.t), 187.
[13]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
332.
[14]Terje
Magnussonn Watterdal, Perangkat.., 4.
[15]Kristi S. Gaines & Zane D.
Curry, “The Inclusive Classroom: The Effects of Color on Learning and
Behavior,” Jurnal of Family & Consumer Sciences Education, 29/1
(Spring/Summer, 2011), 47.
[16]Sunaryo, “Manajemen Pendidikan
Inklusif: Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan
Luar Biasa,” Jurusan PLB FIP UPI (Pebruari, 2009), 2.
[17]Budianto, dkk, Modul Pelatihan
Pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan
Khusus Pendidikan Dasar 2012, 3-4.
[18]R. Indianto, Matter Workshop
Sekolah Inklusi: Implementasi Pendidikan Inklusif (Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013), 8.
[19]Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif: Sesuai Permendiknas No 70 Tahun 2009, Direktorat
PPK-LK Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011), 12.
[20]Indianto, Implementasi..,
7-8.
[21]Kebijakan Pemerintah dalam
Pendidikan Inklusif (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), 4.
[22]Mohammad.., Pendidikan..,
37.
[23]Sunaryo, Manajemen..,
8.
[24]Sumiyati, PAUD
Inklusi Paud Masa Depan (Yogyakarta: Cakrawala Institute, 2011), 12.
[26]Alfian,
“Pendidikan Inklusif di Indonesia”, Edu-Bio Vol 4, Tahun 2013.
[27]Suparno, Buku
Panduan.., 5-6.
[28]Al-Hambra, Al-Qur’an Terjemahan
dan Transliterasi (Bandung: Fajar Utama Madani, 2008), 979.
[29]Usman
Basyirudin, Metodologi Agama Islam (Jakarta: PT. Intermasa, 2002), 114.
[30]Suparno, Buku
Panduan.., 6-7.
[31]Indianto, Materi..,
3.
[32]Suparno, Buku
Panduan.., 3-4.
[33]Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007), 6.
[34]Aini Mahabbati,”Kebijakan,
Implementasi dan Isu Strategis Pendidikan Bagi Individu Berkebutuhan Khusus”, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume IIII No 1 (Juni, 2014), 35.
[37]Kurikulum akomodatif adalah
kurikulum standar nasional yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan potensi
peserta didik berkebutuhan khusus.
[39]Ibid.., 22.
[40]Alfian, Pendidikan..,
76.
[41]Muhibin Syah, Psikologi
Belajar (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 199.
[43]Sunaryo, Manajemen Pendidikan
Inklusif.., 9-10.