Selasa, 14 Juni 2016

Problematika Implementasi Pendidikan Inklusif (Antara Konsep dan Aplikasi)

PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
(Antara Konsep dan Aplikasi)
Solehan Arif[1]
Abstrak: Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelaian dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama denga peserta didik pada umumnya. Pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada model-model lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan di antaranya adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi). Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal meliputi tiga proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik dan asesmen kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan metode khusus dalam pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus.
Kata kunci: problematika, penerapan, pendidikan, inklusif

Pendahuluan
Education for all Handicapped Children Act tahun 1975 mengeluarkan mandat bahwa layanan pendidikan yang layak harus diberikan bagi seluruh anak berkelainan dan disediakan dana bagi penerapan layanan pendidikan tersebut. Deklarasi tentang pendidikan untuk semua di Jomtien, Thailand juga memberikan fokus pendidikan untuk semua. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan, dan adanya kelompok tertentu yang rentan akan diskriminasi dan eksklusivitas.[2] Hal itu sejalan dengan Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[3]
Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia nuansa warna budaya yang unik dan khas telah menjadikannya sebagai negeri pelangi yang plural. Pandangan inklusi sudah tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menghimpun keragaman dalam sebuah kesatuan. Kondisi ini merupakan landasan penting dalam menciptakan Lingkungan Pendidikan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP).[4] Oleh karena itu, Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (PENSIF) bagi peserta didik[5] yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya serta diselenggarakan secara inklusif.[6]
Dewasa ini sebagian anak yang berkebutuhan khusus sudah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah umum, namun karena tidak ada pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan di sekolah umum yang disebut dengan istilah pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusif.[7]
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomis, jenis kelamin, suku budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya, di mana semua anak dapat belajar bersama-sama, baik di sekolah formal maupun non formal yang berada di dekat tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.[8] Semua anak memiliki hak yang sama dan seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk dan di dalam pendidikan.[9]
          Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini difokuskan pada lima persoalan utama, yaitu pertama, bagaimana konsep dan latar belakang munculnya pendidikan inklusif sehingga menjadi konsep pendidikan terpadu bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kedua, landasan hukum dari pendidikan inklusif. Ketiga, jenis-jenis pendidikan inklusif. Keempat, bagaimana implementasi dari pendidikan inklusif. Kelima, problematika implementasi pendidikan inklusif.

Konsep Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun mental. Penafsiran tentang pendidikan inklusif sesungguhnya cukup beragam sesuai dengan sudut pandang pengkaji dalam menguraikan makna substansial dari pendidikan inklusif.[10] Hal ini disebabkan oleh adanya pengertian pendidikan inklusif yang bersifat progresif, sehingga mengalami penyempurnaan secara terus menerus sejalan dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktik pelaksanaan pendidikan inklusif itu sendiri. Pemahaman yang jelas tentang pendidikan inklusif itu penting karena tergantung pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari pemahaman itu, hasilnya dapat sangat berbeda. Jika pendidikan inklusif didefinisikan secara sempit atau didasarkan pada asumsi “anak sebagai masalah” dan jika kemudian definisi tersebut digunakan untuk mengembangkan atau memonitor praktiknya, maka pendidikan inklusif akan gagal atau tidak berkesinambungan.[11] Selama ini, istilah ‘inklusif’ diartikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Dalam penulisan ini, ‘inklusif’ mempunyai arti yang lebih luas.
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif
Kata “inklusif” berasal dari bahasa Inggris yaitu inclusion yang artinya termasuknya atau pemasukan.[12] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia inklusi atau inklusif diartikan sebagai: termasuk; terhitung. Lawan kata dari inklusif adalah ekslusif yang artinya terpisah dari yang lain; khusus.[13] Menurut Terje Magnusson inklusif berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan belajar, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar. Secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali.[14] Sedangkan menurut Kristi & Zaneinclusion is a controversial concept in education whereby each student is integreted to the fullest extent possible in a general education classroom”.[15] Jadi inklusif adalah salah satu model pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, di mana setiap peserta didik terintegrasi semaksimal mungkin untuk dapat belajar bersama-sama dalam kelas pendidikan umum.
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat.[16] Menurut Suparno, pendidikan inklusif adalah suatu sistem layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di kelas normal bersama-sama dengan teman sebayanya. Jadi pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sekolah pendidikan inklusif adalah sekolah yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik yang berkebutuhan khusus di kelas yang sama. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif merupakan tempat pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapatkan perlakuan secara proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan.[17] Pemerintah kabupaten atau kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial. Sedangkan satuan pendidikan yang tidak ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut.
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3.  Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4.  Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945.[18] 

B. Asal Mula dan Perkembangan Pendidikan Inklusif
Dari mana asal mula konsep pendidikan inklusif? Bagaimana latar belakang munculnya pendidikan inklusif sehingga menjadi konsep pendidikan terpadu bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus? Bagaimana sejarah awal munculnya konsep pendidikan inklusif, bagamana perkembangan pendidikan inklusif khususnya pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor Apa saja yang memengaruhi sehingga pendidikan inklusif sangat perlu untuk diaplikasikan demi menyelamatkan masa depan bangsa yang memiliki kelainan dan keterbatasan fisik untuk bisa menikmati pendidikan seperti halnya anak-anak normal lainnya.
Pada mulanya penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia diprakarsai oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Skandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed. Act. Pada tahun 1991 mulai diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif yang ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segi segregatif ke integratif.[19]
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata, terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak-hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education for all”. Implikasi dari pernyataan ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa terkecuali (termasuk ABK) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education”.[20]
Di Indonesia, pendidikan inklusif sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun sedikit dalam bentuk berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus dibuat ‘siap’ untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusif adalah sebaliknya, sekolah dibuat ‘siap’ dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka dipandang sistemnya yang bermasalah.[21]
Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia saat ini semakin diterima dan berkembang cukup pesat. Namun, dalam tataran implementasinya masih dihadapkan kepada berbagai problema, isu, dan permasalahan yang harus dihadapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri serta selaras dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya. Untuk itu, diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasinya.[22]
Guna terus mengembangkan pendidikan inklusif, pemerintah mengambil berbagai strategi, baik melalui diseminasi ideologi pendidikan inklusif, mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru sekolah reguler, bahkan pemerintah membuka program magister dalam bidang inklusif dan pendidikan kebutuhan khusus sehingga pada tahun 2005 cukup banyak sekolah reguler yang mengajukan untuk menjadi sekolah inklusif, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui oleh pemerintah hanya 504 sekolah, karena konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi dan fasilitas lain pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif tersebut.[23]

Landasan Hukum Pendidikan Inklusif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada konsep keberagaman yang dimiliki oleh setiap individu. Di dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif berpijak pada beberapa landasan hukum sebagai berikut:
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofi utama program pendidikan inklusif di Indonesia adalah pancasila yang merupakan 5 pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi yaitu, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berdasarkan semboyan itu bangsa Indonesia membangun sistem pendidikannya.[24] Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik kebhinnekaan vertikal maupun kebhinnekaan horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi.kebhinnekaan tunggal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri. Sedangkan kebhinnekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan tempat tinggal. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi yang dilandasi dengan saling membutuhkan.[25]
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya dalam diri individu berbakat pasti juga terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, ras, budaya, bahasa, dan agama, tetap dalam kesatuan. Hal itu terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.[26]
B. Landasan Yuridis
Selanjutnya selain landasan filosofis, landasan yuridis juga diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Landasan yuridis-empiris dimaksud diantaranya mengacu pada:
1.  UUD 1945 pasal 31 ayat (1) ‘setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’, ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
2.  UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 49, Negara, Pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
3.  UUSPN No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) ‘setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat (2) ‘warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, pasal 11, ayat (1) ‘pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
4. Permen Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
5. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Right)
6. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child)
7. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (Word Conference on Education for All)
8.  Resolusi PBB Nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on the Eequalization of Opportunities for Person with Disabilities)
9.  Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusif , Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua, Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukit Tinggi (2005) komitmen pendidikan inklusif yang ramah terhadap semua anak.[27]
C. Landasan Spritual
Islam mengajarkan pada umatnya dalam kehidupan kemasyarakatan untuk saling berinteraksi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling mengenal serta saling tolong menolong dalam kebaikan, hal ini dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat ayat: 13, Allah berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”[28]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kita diciptakan dengan bermacam-macam latar belakang, dan seharusnya kita saling mengenal dan tolong-menolong. Dengan adanya perbedaan warna kulit, keanekaragaman budaya dan adat istiadat akan semakin berkembang serta memupuk rasa tenggang rasa di antara sesama karena kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi taqwanya.[29]
D. Landasan Pedagogis
1.  Undang-Undang No 20/2003 pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2.  Anak adalah seorang makhluk manusia yang memerlukan pendidikan (homoeducandum) serta dapat dididik (homoeducable) sebagai akibat dari kondisinya, anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
3.  Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda.[30]

Jenis-Jenis Pendidikan Inklusif
Pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada model-model lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan di antaranya adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi). Secara ringkas ketiga model layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Sekolah Segregasi
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan regular. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.
Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah regular, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.[31]
B. Sekolah terpadu (integrasi)
Sekolah terpadu merupakan suatu sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Di dalam sistem ini, anak-anak berkebutuhan khusus tidak diberikan perlakuan khusus, melainkan harus mengikuti sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sistem pembelajaran, evaluasi maupun sarana prasarana yang berlaku untuk semua peserta didik. Untuk itu peserta didik harus menyesuaikan dengan sistem yang ada di sekolah tersebut, dan tidak ada perlakuan khusus bagi peserta didik tertentu, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah [32]
C. Sekolah Inklusif
Sekolah inklusif salah satu model pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari sistem pendidikan terpadu. Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum, artinya sekolah mengakomodasi kebutuhan masing-masing anak sesuai dengan kebutuhannya secara optimal. Kurikulum, sistem pembelajaran, evaluasi, tenaga pendidik, dan fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Pendek kata, dalam pendidikan inklusif sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan kebutuhan anak, dan bukan sebaliknya anak yang harus menyesuaikan diri dengan sistem yang ada di sekolah.
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.[33]

Implementasi Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif mengharuskan penyesuaian dalam sistem kebijakan pendidikan dan rancangan implementasinya. Penyesuaian tersebut meliputi sistem rekruitmen peserta didik dan pendidik, area dan level materi, metode dan pendekatan belajar mengajar, media yang digunakan, serta sistem evaluasi yang sesuai dengan karakteristik individual peserta didik berkebutuhan khusus.
Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal meliputi tiga proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik dan asesmen kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan metode khusus dalam pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus. Tiga alur utama tersebut dilaksanakan dengan pendekatan individual dan kolaboratif.[34]
A. Identifikasi dan Asesmen
Identifikasi sebagai prosedur atau proses awal dari pendidikan khusus merupakan upaya menemukenali tipe kebutuhan khusus seseorang yang biasanya meliputi kegiatan menemukan masalah, screening (penjaringan), menentukan diagnosis tipe kebutuhan khususnya setelah terjaring sebagai individu dengan berkebutuhan khusus, dan mendalami dengan asessmen kebutuhan belajar secara individual.
Asesmen tindakan untuk menemukenali kondisi peserta didik, meliputi aspek: potensi, kompetensi, dan karakteristik peserta didik dalam kerangka penentuan program pendidikan atau intervensi untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Secara khusus asesmen juga dimaksudkan untuk mengetahui keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun nantinya benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajarnya. Dalam konteks pembelajaran dan layanan kekhususan, hasil asesmen dapat digunakan untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik sebelum memperoleh layanan pendidikan.[35]
B. Kurikulum Pendidikan Inklusif
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum regular perlu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi kurikulum dilakukan oleh Tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.[36]
1. Model-Model Pendidikan Inklusif
Penerapan kurikulum akomodatif[37] dapat memanfaatkan model penyelarasan kurikulum yang dilakukan dalam bentuk eskalasi (escalation), duplikasi (duplication), modifikasi (modification), substitusi (substitution), omisi (omission).
a. Model Eskalasi
Eskalasi (escalation) berarti kurikulum standar nasional dinaikkan tingkat kualifikasi materinya baik secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan tuntutan potensi siswa cerdas istimewa dan/atau bakat istemewa. Penaikan tuntutan kurikulum standar nasional secara vertikal berarti materi kurikulum bagi siswa cerdas istemewa dan/atau bakat istemewa tingkat kesukarannya dinaikkan. Sedangkan secara horizontal berarti materi kurikulumnya diperluas.
Tujuan eskalasi kurikulum standar nasional adalah agar peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istemewa dapat berkembang secara optimal. Implikasi dari eskalasi kurikulum standar nasional ini memungkinkan siswa cerdas istemewa dan bakat istemewa secara kronologis waktu belajarnya sama dengan siswa lain, tetapi perolehan hasil belajarnya lebih luas dan lebih dalam, sehingga dimensi sosial psikologisnya tetap dapat tumbuh dan berkembang secara natural.[38]
b. Model Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Duplikasi kurikulum adalah cara pngembangan kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler pada umumnya.
c. Model Modifikasi
Modifikasi artinya merubah untuk disesuaikan. Modifikasi kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus dikembangkan dengan cara merubah kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler untuk disesuaikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
d. Model Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Substitusi kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus berarti mengganti isi kurikulum standar nasional dengan materi yang lain. Pergantian dilakukan karena isi kurikulum nasional tidak memungkinkan diberlakukan kepada anak berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai sama).
e. Model Omisi
Omisi artinya menghilangkan. Model kurikulum omisi berarti menghilangkan sebagian/keseluruhan isi kurikulum standar nasional karena tidak mungkin diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain omisi berarti isi sebagian/keseluruhan kurikulum standar nasional tidak diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus karena terlalu sulit/tidak sesuai.[39]
2. Media Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif
Media pendidikan dan pembelajaran memiliki banyak jenis dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu guru perlu memahami karakteristik media itu agar dapat memilih media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Model media berdasarkan karakteristiknya digolongkan menjadi dua bagian yaitu, media dua dimensi dan media tiga dimensi. Media dua dimensi meliputi media grafis, media bentuk papan, dan media cetak. Sedangkan media tiga dimensi dapat berwujud sebagai benda asli, baik hidup maupun mati dan dapat pula berwujud sebagian tiruan yang mewakili aslinya.[40]
Media pembelajaran dalam pendidikan inklusif berdasarkan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus diantaranya:
No
Jenis
Media
1
ABK dengan gangguan penglihatan
Buta Total: Peta timbul, radio, audio, penggaris, braille, blokies, papan baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzle buah-buahan, talking watch, kompas braille, botol aroma, bentuk-bentuk geometri, tape recorder, komputer dengan sistem jaws, media tiga dimensi, media dua dimensi, lingkungan sekitar anak, braille kit, mesin tik braille, kamus bicara, kompas bicara, komputer dan printer braille, color sorting box.
Low Vision: CCTV, Magnifer Lens Set, view scan.
2
ABK dengan gangguan pendengaran
Foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniature benda, finger alphabet, model telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle kontruksi, silinder, model geometri, menara segitiga, menara gelang, menara segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniature rumah adat.
3
Tunagrahita/anak lamban belajar
Gradasi kubus, gradasi balok, silinder, manara gelang, kotak silinder, multi indra, puzzle binatang, puzzle kontruksi, puzzle bola, boks sortor warna, geometri tiga dimensi, papan gemetri, konsentrasi mekanik, puzzle set, abacus, papan bilangan, kotak bilangan, sikat gigi, dressing prame set, pias huruf, pias kalimat, alphabet fibre, box, bak pasir, papan keseimbangan, power raider.
4
ABK dengan gangguan motorik
Kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, torso seluruh badan, geometri sharpe, menara gelang, menara segitiga, gelas rasa, botol aroma, abacus dan whaser, papan pasak, kotak bilangan.
5
Tunalaras
Animal maching games, sand pits, konsentrasi mekanik, animal puzzle, fruits puzzle, rebana, flute, torso, construtive puzzle, organ.
6
Anak berbakat
Buku paket, buku referensi, buku pelengkap, majalah, Koran, internet, modul, lembar kerja, computer, VCD, museum, perpustakaan, TV, OHP, chart, dsb.
7
Kesulitan belajar
Disleksi: kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat
Disgrafia: kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, balok bilangan.
8
Autis
Kartu huruf, kartu kata, kartu angka, kartu kalimat, konsentrasi mekanik, computer, menara segitiga, menara gelang, fruit puzzle, constructive puzzle.
9
Tunaganda
Disesuaikan dengan karakteristik kelainannya.
10
HIV AIDS
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan.
11
Korban penyalahgunaan narkoba
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan.
12
Indigo
Digunakan media seperti anak pada umumnya.

C. Metode Pembelajaran Pendidikan Inklusif
Strategi atau kiat melaksanakan pembelajaran serta metode pembelajaran termasuk faktor-faktor yang menentukan tingkat efisiensi dan keberhasilan belajar siswa, karena dalam kelas inklusif kemampuan kognitif peserta didik berbeda-beda. Untuk itu dalam memilih metode pengajaran dalam kelas inklusif harus bervariasi.[41]
Pada umumnya metode yang sering digunakan guru dalam pembelajaran reguler atau kelas inklusif adalah sebagai berikut:
1. Metode Ceramah
Ceramah adalah penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Dalam penggunaan metode ceramah ini khususnya bagi anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu, guru dapat membuat variasi lain ketika guru memberi penjelasan atau komunikasi hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir.
2. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah metode pembelajaran yang mengkomunikasikan langsung antara guru dan murid. Metode Tanya jawab dalam pembelajaran inklusif ini dapat melatih keaktifan anak, misalkan pada anak tunalaras, (slow leaner) supaya kebutuhannya dapat terpenuhi dalam proses pembelajaran, karena tingkat pemahamannya lemah sehingga diharapkan melalui metode ini mereka aktif bertanya.
3. Metode Diskusi
Metode diskusi digunakan untuk saling menukar informasi, tukar pendapat, dan unsur-unsur pengalaman dengan maksud untuk mendapatkan pengertian bersama secara jelas. Melalui metode ini dapat memberikan pengalaman baru untuk saling tukar pikiran antara anak berbakat dengan anak mengalami gangguan belajar.
4. Metode Eksperimen
Metode ini dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu seperti ilmu alam, ilmu kimia, dan sejenisnya. Dalam pembelajaran inklusif diharapkan guru dapat menggunakan metode ini, karena pada dasarnya anak berkebutuhan khusus tidak selamanya dapat memahami pelajaran yang disampaikan guru.
5. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran yang menggunakan peragaan untuk memperjelas pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana sesuatu kepada peserta didik. Dalam pembelajaran inklusif metode ini dapat diterapkan kepada anak yang khususnya mengalami gangguan komunikasi atau tunarungu karena mereka mengalami gangguan pendengarannya maka lebih banyak menggunakan indera penglihatannya dalam belajar.
6. Metode Sosio Drama
Metode sosio drama pada dasarnya mendramatisasi tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Dalam pembelajaran inklusif metode dapat diimplementasikan kepada semua peserta didik, dan khususnya kepada anak berbakat, karena mereka mempunyai kemampuan memainkan drama, seni tari, dan seni rupa. Serta metode ini juga dapat diimplementasikan kepada anak tunalaras untuk menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan Norma dan aturan yang berlaku dalam hubungan sosial.[42]

Problematika Implementasi Pendidikan Inklusif
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia, sampai saat ini implementasi pendidikan inklusif masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang apabila tidak diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan khusus memungkinkan dapat menghalangi perlakuan adil dan akses anak berkelaian untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler terdekat sehingga menghambat keberhasilan implementasi pendidikan inklusif. Menurut Sunardi sebagaimana yang dikutip Sunaryo, problematika implementasi pendidikan inklusif tersebut meliputi:
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.
3. Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya PP. No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 (1) tentang keharusan untuk memiliki tenaga pendidikan khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelaian ke sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala “eklusivisme baru”, yaitu penolakan anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusif.
4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan.
5.  Masih dipahami pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mat memasukkan anak disabled children ke sekolah reguler, tanpa upaya untuk mengakomodasikan kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
6. Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap eklusifme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Nasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselarasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak kepada sekolah inklusif sebagai sekolah kelas dua (second class), karena menerima ABK sama dengan special school.
7. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.[43]

Penutup
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif bertujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya serta menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada konsep keberagaman yang dimiliki oleh setiap individu. Di dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif berpijak pada beberapa landasan hukum, yaitu landasan filosofis, landasan yuridis-empiris, landasan spiritual, dan landasan pedagogis. Dalam pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya tidak hanya dilakukan melalui model pendidikan inklusif, masih ada model-model lain yang selama ini digunakan dalam memberikan layanan pendidikan di antaranya adalah model pendidikan segregasi, dan model pendidikan terpadu (integrasi).
Secara lebih prosedural, pelaksanaan pendidikan inklusif minimal meliputi tiga proses utama yang berurutan, yakni 1) identifikasi peserta didik dan asesmen kebutuhan belajar, 2) modifikasi kurikulum yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan belajar anak, dan 3) pemilihan pendekatan dan metode khusus dalam pembelajaran yang akomodatif terhadap kebutuhan khusus. Tiga alur utama tersebut dilaksanakan dengan pendekatan individual dan kolaboratif.
Implementasi pendidikan inklusif masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan di antaranya, dalam sistem penerimaan siswa baru, pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, tidak tersedianya guru pendidikan khusus, kurikulum pendidikan umum yang belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan, dangkalnya pemahaman tentang pendidikan inklusif, kurangnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.

Daftar Pustaka
Al-Habra. 2008. Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi. Bandung: Fajar Utama Madani.
Devi Mastuti, “Kesiapan Taman Kanak-Kanak dalam Penyelenggaran Kelas Inklusi Dilihat Program Kegiatan Pembelajaran”, Belia, 3 (Januari, 2014).
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Watterdal, Terje Magnussonn. 2004. Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran: Adaptasi Versi Indonesia-Edisi Kelima, Terj. Susi Rakhmawati & Braillo Norway. Thailand: UNESCO.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif.
Kustawan & Budi Hermawan. 2013. Model Implementasi Pendidikan Inklusif Ramah Anak. Jakarta: Luxima.
Sukinah, “Manajemen Strategik Implementasi Pendidikan Inklusif”, Jurnal Pendidikan Khusus, 7/2 (Nopember, 2010)
Pinnock, Helen. 2011. Sekolah Darurat: Bagi Semua Orang Panduan Saku INEE bagi Pendidikan Inklusif, Terj. XX. Switzerland: INEE.
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep & Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, Terj. Susi Septaviana R. Bandung: Upi.
Anwar, Desi. T.t.  Kamus Lengkap: Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris. Surabaya: Amelia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
 Kristi S. Gaines & Zane D. Curry, “The Inclusive Classroom: The Effects of Color on Learning and Behavior,” Jurnal of Family & Consumer Sciences Education, 29/1 (Spring/Summer, 2011).
Sunaryo, “Manajemen Pendidikan Inklusif: Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa,” Jurusan PLB FIP UPI (Pebruari, 2009).
Budianto, dkk, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2012.
Indianto, R. 2013. Materi Workshop Sekolah Inklusi: Implementasi Pendidikan Inklusif. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Sesuai Permendiknas No 70 Tahun 2009, Direktorat PPK-LK Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011).
Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Inklusif. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sumiyati. 2011. PAUD Inklusi Paud Masa Depan. Yogyakarta: Cakrawala Institute.
Alfian, “Pendidikan Inklusif di Indonesia”, Edu-Bio Vol 4, Tahun 2013.
Basyirudin, Usman. 2002. Metodologi Agama Islam. Jakarta: PT. Intermasa.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007).
Aini Mahabbati,”Kebijakan, Implementasi dan Isu Strategis Pendidikan Bagi Individu Berkebutuhan Khusus”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume IIII No 1 (Juni, 2014).
Syah, Muhibin. 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.





[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan.
[2]Devi Mastuti, “Kesiapan Taman Kanak-Kanak dalam Penyelenggaran Kelas Inklusi Dilihat Program Kegiatan Pembelajaran”, Belia, 3 (Januari, 2014), 2.
[3]Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[4]Terje Magnussonn Watterdal, Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran: Adaptasi Versi Indonesia-Edisi Kelima, Terj. Susi Rakhmawati & Braillo Norway (Thailand: UNESCO, 2004), 1.
[5]Peserta didik di sekolah inklusi terdiri atas (1) peserta didik pada umumnya, yaitu peserta didik yang selama ini dikategorikan “normal/biasa”, dan (2) peserta didik berkebutuhan khusus, yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istemewa. Peserta didik yang berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan /atau bakat istemewa.
[6]Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif.
[7]Kustawan & Budi Hermawan, Model Implementasi Pendidikan Inklusif Ramah Anak (Jakarta: Luxima, 2013), 4.
[8]Sukinah, “Manajemen Strategik Implementasi Pendidikan Inklusif”, Jurnal Pendidikan Khusus, 7/2 (Nopember, 2010), 44.
[9]Helen Pinnock, Sekolah Darurat: Bagi Semua Orang Panduan Saku INEE bagi Pendidikan Inklusif, Terj. XX (Switzerland: INEE, 2011), 5.
[10]Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif: Konsep & Aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 23.
[11]Sue Stubbs, Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, Terj. Susi Septaviana R (Bandung: Upi, 2002), 37.
[12]Desi Anwar, Kamus Lengkap: Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris (Surabaya: Amelia, t.t), 187.
[13]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 332.
[14]Terje Magnussonn Watterdal, Perangkat.., 4.
[15]Kristi S. Gaines & Zane D. Curry, “The Inclusive Classroom: The Effects of Color on Learning and Behavior,” Jurnal of Family & Consumer Sciences Education, 29/1 (Spring/Summer, 2011), 47.
[16]Sunaryo, “Manajemen Pendidikan Inklusif: Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa,” Jurusan PLB FIP UPI (Pebruari, 2009), 2.
[17]Budianto, dkk, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2012, 3-4.
[18]R. Indianto, Matter Workshop Sekolah Inklusi: Implementasi Pendidikan Inklusif (Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013), 8.
[19]Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Sesuai Permendiknas No 70 Tahun 2009, Direktorat PPK-LK Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011), 12.
[20]Indianto, Implementasi.., 7-8.
[21]Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Inklusif (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), 4.
[22]Mohammad.., Pendidikan.., 37.
[23]Sunaryo, Manajemen.., 8.
[24]Sumiyati, PAUD Inklusi Paud Masa Depan (Yogyakarta: Cakrawala Institute, 2011), 12.
[25]Pedoman.., Direktorat PPK-LK.., 3-4.
[26]Alfian, “Pendidikan Inklusif di Indonesia”, Edu-Bio Vol 4, Tahun 2013.
[27]Suparno, Buku Panduan.., 5-6.
[28]Al-Hambra, Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi (Bandung: Fajar Utama Madani, 2008), 979.
[29]Usman Basyirudin, Metodologi Agama Islam (Jakarta: PT. Intermasa, 2002), 114.
[30]Suparno, Buku Panduan.., 6-7.
[31]Indianto, Materi.., 3.
[32]Suparno, Buku Panduan.., 3-4.
[33]Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007), 6.
[34]Aini Mahabbati,”Kebijakan, Implementasi dan Isu Strategis Pendidikan Bagi Individu Berkebutuhan Khusus”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume IIII No 1 (Juni, 2014), 35.
[35]Pedoman.., Direktorat PPK-LK.., 15.
[36]Pedoman.., Departemen.., 19.
[37]Kurikulum akomodatif adalah kurikulum standar nasional yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan potensi peserta didik berkebutuhan khusus.
[38]Pedoman.., Direktorat PPK-LK.., 19.
[39]Ibid.., 22.
[40]Alfian, Pendidikan.., 76.
[41]Muhibin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 199.
[43]Sunaryo, Manajemen Pendidikan Inklusif.., 9-10.