Senin, 30 November 2015

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN


MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
FAZLUR RAHMAN

ARTIKEL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam
yang Dibina
Oleh
Dr. Siswanto, M.Pd.I



stain-pamekasan


Oleh
SOLEHAN ARIF
NIM. 18201521029

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
NOVEMBER 2015

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
Solehan Arif[1]
Abstrak: Fazlur Rahman adalah seorang tokoh intelektual Muslim yang memilki latar belakang tradisi keilmuan madrasah India-Pakistan yang tradisional dan keilmuan Barat yang liberal. Keduanya berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya. Berawal dari kegelisahan paling mendasar dari seorang Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Krisis metodologi tampaknya sangat disadari oleh Fazlur Rahman sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam, karena alternatif metodologi dipandangnya sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Implikasi dari alternatif metodologis ini, menurutnya merupakan proyek besar umat Islam yang mengarah pada pembaharuan pemikiran Islam. Proyek besar tersebut memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjang, tiada lain adalah sistem pendidikan Islam. Menurutnya Sistem pendidikan harus terlebih dahulu dimodernisasi, membuatnya mampu menyokong produktivitas intelektual Islam dengan menaikkan standar-standar intelektualnya. Kesadaran Fazlur Rahman terhadap pendidikan mendorongnya terjun dalam kritisme sistem pendidikan Islam yang berkembang pada periode kemunduran dan pada awal pembaharuan.

Kata kunci: Fazlur Rahman, modernisasi, pendidikan, Islam

Pendahuluan
          Gagasan program modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain,”modernisasi” pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik “modernisasi” Islam secara keseluruhan adalah “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern.[2] Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi, sederhananya harus disesuaikan dengan kerangka “modernitas”; mempertahankan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.[3]
          Fazlur Rahman, seorang pembaharu yang paling bertanggungjawab pada abad ke-20, yang berpengaruh besar di Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara lain (di dunia Islam), serta di Chicago Amerika (di dunia Barat) memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan persoalan tersebut. Ia berhasil bersikap kritis baik terhadap warisan Islam sendiri maupun terhadap tradisi Barat. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi alternatif solusi atas problem-problem umat Islam kontemporer.[4]
          Krisis metodologi tampaknya sangat disadari oleh Fazlur Rahman sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam, karena alternatif metodologi dipandangnya sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Implikasi dari alternatif metodologis ini, menurutnya merupakan proyek besar umat Islam yang mengarah pada pembaharuan pemikiran Islam. Proyek besar tersebut memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjang, tiada lain adalah sistem pendidikan Islam. Menurutnya Sistem pendidikan harus terlebih dahulu dimodernisasi, membuatnya mampu menyokong produktivitas intelektual Islam dengan menaikkan standar-standar intelektualnya. Kesadaran Fazlur Rahman terhadap pendidikan mendorongnya terjun dalam kritisme sistem pendidikan Islam yang berkembang pada periode kemunduran dan pada awal pembaharuan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, maka dalam artikel ini difokuskan pada tiga persoalan utama, yaitu pertama, latar belakang gagasan modernisasi pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman. Kedua, konsep modernisasi pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman. Ketiga, relevansi pemikiran pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman terhadap pendidikan Islam di Indonesia.

Biografi Fazlur Rahman
          Penulisan mengenai biografi Fazlur Rahman menjadi pra-syarat bagi penulisan selanjutnya, karena Rahman yang menjadi sentral dalam penulisan artikel ini. Dalam penulisan biografi Rahman ini meliputi pendidikan, perkembangan pemikiran dan karya-karyanya.
1. Pendidikan Fazlur Rahman
     Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan.[5] Rahman kecil dididik oleh keluarga Muslim yang taat beragama. Seperti pengakuan Rahman sendiri, keluarganya mengamalkan ibadah sehari-hari seperti Shalat wajib, shalat Sunnah, puasa Sunnah, mengaji al-Qur’a>n, mengeluarkan Zakat, infaq, shadaqah, dan lain-lain.[6] Pada umur 10 tahun, ia telah menghafal al-Qur’a>n. Rahman memiliki seorang ayah yang bernama Maulana Shihab al-Din, beliau adalah seorang alim yang sangat terkenal lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband, India. Di sekolah ini, Shihab al-Din belajar dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Maulana Mahmud Hasan (w. 1920), yang lebih populer dikenal dengan Syaikh al-Hind, dan seorang faqih ternama Maulana Rasyid Ahmad Gangihi (w.1905).[7] Rahman kecil beruntung memiliki seorang ayah yang sangat memperhatikan pendidikannya. Ayahnya sangat memperhatikan tentang mengaji dan menghafal al- Qur’a>n. ayahnya juga sangat selektif dalam masalah kedisiplinan, sehingga ia mampu menghadapi berbagai macam peradaban dan tantangan alam modern, selain itu, Rahman juga memiliki seorang ibu yang mengajarkan tentang kasih sayang, integritas, serta kecintaan sepenuh hati.[8]
     Hal penting yang telah mempengaruhi pemikiran keagamaan Rahman adalah bahwa dia dididik dan dibesarkan dalam madzhab Hanafi. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri Rahman juga seorang Rasionalis di dalam berpikirnya, meskipun dasar pemikirannya pada al- Qur’a>n dan Sunnah. Rahman terkenal sebagai seorang pembaharu dan pemikir pendidikan Islam kontemporer yang sangat kritis. Reputasi intelektualnya diakui dunia international, terutama oleh masyarakat akademik barat.[9] Selain itu, di india ketika itu telah berkembang pemikiran yang agak liberal seperti yang dikembangkan oleh Syaikh Waliyullah, Sayid Ahmad khan, Sir Sayid, Amir Ali, dan Muhammad Iqbal.
     Selanjutnya Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan program BA (Bachelor of Art) dalam bidang bahasa Arab di Universitas Punjab.[10] Kemudian, dua tahun berikutnya (1942), ia berhasil menyelesaikan gelar Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula.[11] Empat tahun kemudian, tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Oxford. Di bawah bimbingan Profesor S.Van den Bergh dan H. A. R. Gibb, Rahman menyelesaikan program Ph. D. –nya pada tahun 1949, dengan disertasinya tentang Ibn Sina.[12] Dua tahun berikutnya disertasi tersebut diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avecinna’s Psychology. Pada tahun 1959 karya suntingan Rahman dari Kitab al-Nafs karya Ibn Sina diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan judul Avecinna’s De Anima.[13]
     Ketika kuliah di Universitas Oxford, Rahman mempunyai kesempatan untuk mempelajari bahasa-bahasa Barat. Dengan usaha itu, ia dapat menguasai Bahasa Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki Arab, Urdu.[14] Penguasaan bahasa yang bagus sangat membantu untuk memperdalam dan memperluas keilmuaannya. Terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka. Dengan pengalaman ini, ia tidak menjadikan apologetik (mempertahankan suatu ajaran), tetapi justru lebih memperlihatkan penalaran objektif.[15]
Setelah selesai kuliah di Universitas Oxford, Rahman tidak langsung pulang ke negerinya, Pakistan. Ia mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, dan selanjutnya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada.[16] Ketika di Durham University, ia berhasil menyelesaikan karya orisinalnya yang berjudul Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy. Pada awal tahun 1960, ia pulang ke Pakistan. Setelah dua tahun kemudian ia ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam setelah sebelumnya ia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut selama beberapa saat. Selama kepemimpinannya, lembaga ini berhasil menerbitkan dua jurnal ilmiah, yaitu Islamic Studies dan Fikru-Nazhr.[17] Penunjukan Rahman sebagai kepala lembaga tersebut kurang mendapatkan dukungan dari ulama tradisional. Karena menurut mereka, seharusnya jabatan Direktur tersebut merupakan hak istimewa ulama yang terdidik secara tradisional. Sementara sosok seorang Rahman dianggab sebagai kelompok modernis dan telah banyak terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran Barat.[18] Sehingga pada tahun 1969, ia melepas posisinya sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan dan juga melepas jabatannya selaku Direktur Lembaga Riset Islam.
Setelah melepas kedua jabatannya di Pakistan, Rahman pindah ke Barat. Kemudian, ia diterima sebagai tenaga pengajar di Universitas California, Los Angeles, Amerika. Kemudian pada tahun yang sama, ia menjabat sebagai Guru Besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Ia menetap di Chicago kurang lebih selama delapan belas tahun, sampai akhirnya Tuhan memanggilnya pulang pada tanggal 26 Juli 1988.[19]
Selain memberi kuliah tentang al-Qur’a>n, Filsafat Islam, kajian-kajian tokoh Islam seperti al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Syaikh Waliyullah, Muhammad Iqbal dan lain-lain, ia juga aktif sebagai pemimpin berbagai proyek penelitian di Universitas tersebut. Salah satu proyek yang dipimpin bersama dengan Prof. Leonard Binder, diantaranya adalah penelitian tentang Islam dan perubahan sosial yang banyak melibatkan banyak sarjana yunior. Riset ini memusatkan perhatiannya pada lima masalah pokok, yaitu (1) pendidikan agama dan perubahan peran ulama dalam Islam; (2) Syariah dan kemajuan Ekonomi; (3) keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini; (4) Islam dan masalah legalitas politik; dan (5) perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat Muslim masa kini. Riset ini dilakukan di negara-negara Pakistan, Mesir, Turki, Iran, Maroko, dan Indonesia.[20]
2. Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya Fazlur Rahman
     Perkembangan pemikiran dan karya-karyanya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan, periode perkembangan, dan periode kematangan.
a. Periode pembentukan
     Pada periode ini Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Rahman belajar sampai dengan menjelang kepulangan ke negerinya, Pakistan, setelah mengajar selama beberapa saat di Universitas Durham, Inggris. Secara epistemologi, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini didominasi oleh pendekatan historis yaitu suatu pendekatan yang melihat Islam bukan dari sisi al-Qur’a>n dan as-Sunnah secara anSich,[21] melainkan Islam yang menjadi realitas dalam kehidupan baik secara individu maupun masyarakat.[22]
     Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu: (1) Avecinna’s Psychology, berisi kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat pada Kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the Psychological Part of Kitab al-Shifa’ merupakan suntingan dari Kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’; (3) Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, merupakan karya orisinal Rahman yang paling penting pada periode ini.[23] Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana Muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian terhadap doktrin-doktrin kenabian.[24]
b. Periode Perkembangan
     Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju kematangan. Periode ini dimulai dari kepulangannya dari Inggris ke Pakistan sampai dengan menjelang keberangkatannya ke Amerika. Dengan dua kedudukan yang dimiliki pada waktu itu, ia terdorong untuk mendefinisikan kembali Islam di Pakistan. Secara epistemologis, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini mulai beranjak dari pendekatan historis menuju ke pendekatan normatif. Maksudnya, Rahman berusaha memahami Islam (al-Qur’a>n dan as-Sunnah) untuk menyelesaikan problem-problem di Pakistan.[25]
     Pada periode ini, Rahman banyak menghasilkan karya-karya terbaiknya, diantaranya:
1) Islamic Methodology in History. 1965. Central Institute of Islamic Research.
2) Islam. 1979. University of Chicago Press, 2nd edition.
3) Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan.
4) Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistani Milieu. 1982. Islam in Transition, di edit oleh J. Donohoe & J.L Esposito. New York: Oxford University Press.
5) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems. 1967.[26]
c. Periode Kematangan
Periode ini Rahman benar-benar hampir mencapai tingkat kesempurnaan dalam berpikir dan berkarya. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada masa ini Rahman mempunyai kesempatan yang sangat luar biasa. Ia memiliki ketenangan berpikir maupun waktu yang panjang. Periode ini dimulai sejak kedatangan Rahman di Amerika sampai akhir kewafatannya tahun 1988. Secara epistemologis Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami al-Qur’a>n, yang akhirnya menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).[27]
Karya-karya intelektual Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup hampir seluruh kajian Islam normatif maupun historis. Ia banyak menulis buku dan artikel dalam berbagai jurnal international dan ensiklopedia, diantaranya:
1) The Philosophy of Mulla Sadra. 1975. Alabani: State University of New York Press.
2) Major Themes of the Qur’an. University of Chicago Press.
3) Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. 1982 University of Chicago Press.
4) Health and Medicine in Islamic Tradition. 1987. Crossroad Pub Co.
5) Avecinna’s Psychology,
6) Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy,
7) Avecinna’s De Anima, being the Psychological Part of Kitab al-Shifa’,
8) Philosophy of Mulla Sadra Shirazi,
9) Islamic Methodology in History.[28]
Selanjutnya karya-karya yang berupa artikel kurang lebih berjumlah 75 buah. Selain itu, ada sekitar tujuh buah artikel yang terdapat dalam Ensiklopedia dan sekitar 16 buah karya yang berupa review buku.

Latar Belakang Gagasan Modernisasi Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sejak awal abad ke-19. Dalam sejarah Islam, periode ini dipandang sebagai permulaan modernisasi. Terjadinya kontak dan persentuhan dengan dunia Barat membawa ide-ide baru ke dalam dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, sekularisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua itu, ternyata menimbulkan persoalan-persoalan baru. Para pemikir dan pembaharu mulai memikirkan solusi dan metode untuk mengatasi persoalan baru tersebut.[29]
          Rahman mengkritik penyimpangan-penyimpangan pendidikan tradisional di Pakistan karena mereka mengabaikan ilmu pengetahuan modern, sehingga tidak leluasa berdialog dengan orang-orang yang telah menerima pendidikan modern. Alumni pendidikan klasik memang berhasil melestarikan ilmu pengetahuan teologi klasik dan mencetak imam-imam masjid, tetapi mereka kurang memperoleh informasi, sehingga kualitas pendidikan mereka kurang baik. Oleh karenanya, pendidikan semacam ini tidak akan mampu membantu mengembangkan pertumbuhan kesadaran beragama.[30]
          Rahman menginginkan kontribusi kaum Muslim dalam mengembangkan perdamaian dunia. Ia menginginkan agar umat Muslim tidak bersifat defensif (bersikap bertahan) yang berlebihan karena takut terhadap gagasan Barat tentang perkembangan pengetahuan yang akan mengancam standar moral tradisonal Islam. Ia ingin menggabungkan antara mata pelajaran “baru” dengan mata pelajaran “lama” supaya ramuan yang dihasilkan dari campuran ini akan sehat dan bermanfaat, yakni bersifat kondusif terhadap manfaat teknologi peradaban modern, sekaligus dapat membuang racun yang telah terbukti merusak jaringan moral masyarakat Barat.[31] Begitu juga masalah ekonomi dan teknologi, Rahman menginginkan ada perpaduan antara teknologi baru dengan fenomena-fenomena yang diimpor dengan budaya tradisional dari negara berkembang. Banyak pemikir waktu mengembangkan konsep, bahwa Barat adalah materialis dan Timur spritualis, dengan mengekspor sebagian dari spritualisnya ke Barat dan sebagai gantinya mengimpor sebagian teknologi Barat.[32]
          Pemikiran Rahman baik dalam bidang pendidikan maupun lainnya dibangun atas dasar pemahamannya yang mendalam tentang khazanah intelektual Islam di zaman klasik untuk ditemukan spiritnya guna memecahkan berbagai masalah kehidupan modern. Hal ini misalnya dapat dilihat dari analisis yang diberikannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam yang dilaksanakan mulai zaman Rasulullah Saw. Sampai dengan zaman Abbasiyah. Ia misalnya mengatakan, bahwa pendidikan Islam di zaman klasik itu menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menhafal al-Qur’a>n dan as-Sunnah. Namun, ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektualnya. Kemudian pada masa Abbasiyah, khalifah-khalifah tertentu, seperti Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun menekankan adu pendapat diantara para pelajar di istana mengenai persoalan logika, hukum, gramatika, dan sebagainya.[33] 
          Melalui kajiannya terhadap berbagai literatur klasik Rahman memperkenalkan gagasan dan pemikirannya tentang pembaharuan pendidikan. Menurutnya, bahwa pendidikan Islam banyak menghadapi berbagai problem, yaitu problem ideologis, dualisme sistem pendidikan, bahasa dan problem metode pembelajaran. Untuk mengatasi problem tersebut, umat Islam memerlukan pemahaman terhadap al-Qur’a>n dan Sunnah Nabi yang menjadi sumber hukum utama. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami al-Qur’a>n dan Sunnah, Fazlur Rahman menawarkan sebuah teori yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Teori ini merupakan suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa al-Qur’a>n diturunkan dan kembali pada masa sekarang.
Upaya untuk mengatasi problem di atas, menurut Rahman dapat ditempuh dengan cara:
Pertama, membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kedua, berusaha menghilangkan dualisme sistem pendidikan umat Islam. Pada satu sisi, ada sistem pendidikan tradisional (agama), dan pada sisi yang lain, ada pendidikan modern (sekuler). Kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak baik. Karena itu, perlu adanya upaya untuk mengintegrasikan keduanya.
Ketiga, menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinal. Bahkan, ia mengatakan umat Islam adalah masyarakat tanpa bahasa.
Keempat, pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam, yaitu beralih dari metode mengulang-ulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis.[34]

Konsep Modernisasi Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman
          Modernisasi[35] pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk menyelesaikan jangka panjang atas berbagai persoalan umat Islam di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalam melahirkan suatu peradaban Islam yang modern yang sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi persoalan keumatan dan kebangsaan akan semakin kompleks seiring dengan tuntutan zaman yang semakin modern pula. Kondisi ini yang harus mampu dijawab oleh Islam sebagai agama dan sistem tatanan kehidupan yang di dalamnya juga ada sistem pendidikannya.[36]
Pendidikan merupakan program pokok yang sangat Strategis dalam melaksanakan gerakan pembaharuan dalam Islam. Fungsi pendidikan dalam hal ini kiranya bukan hanya untuk menghilangkan buta huruf atau membentuk watak suatu masyarakat. Lebih dari itu, melalui pendidikan diharapkan terjadi perubahan-perubahan dalam segala bidang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah gerakan pembaruan selalu menjadikan bidang pendidikan sebagai target utamanya. Keberhasilan dalam bidang ini sangat menentukan keberhasilan modernisasi dalam bidang-bidang lainnya.[37]
          Berawal dari kegelisahan paling mendasar dari seorang Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi (keadaan terhenti, kemacetan) intelektual yang luar biasa.[38] Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondusif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis. Tertutupnya pintu ijtihad dianggap telah membunuh kreativitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa.[39] Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku sehingga sulit memberikan jawaban-jawaban atas problem keumatan di tengah gelombang modernitas.[40]
          Penutupan pintu ijtihad ini, secara logika mengarahkan kepada taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-otoritas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam, al-Qur’a>n dan as-Sunnah. Kalau dicermati secara seksama, pendapat tentang tertutupnya pintu ijtihad tiada lain karena dipengaruhi oleh perkembangan politik di masa itu, adanya perasaan bahwa ijtihad tidak diperlukan lagi, baik karena tidak kemampuan atau mereka sudah cukup terhadap ijtihad yang dilakukan ulama terdahulu. Padahal kalau dikembalikan pada syari’at Islam, tidak ada satupun dalil yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup hanya didasarkan pada kepicikan cara berpikir mereka.[41]
          Situasi seperti itu, memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang semakin merosot oleh sejarah. Akan tetapi sebagaimana yang disaksikan Rahman adalah fenomena dikalangan pembaharu Islam dalam melakukan pembaharuan masih tertumpu pada pada pendekatan ad hoc[42] dan terpilah-pilah dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Tentu saja penerapan metode semacam ini menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter, dan self contradictory.
          Reaksi Rahman terhadap dua kegelisahan ini, kemudian memunculkan gagasan yaitu gerakan neo-modernisme, yaitu sebuah gerakan pemikiran yang berusaha menggabungkan antara pemikiran modernisme dengan tradisionalisme. Modernisme bukan suatu hal yang harus ditolak, dibenci, dan dihindari, akan tetapi modernisme bukan pula alam pemikiran tradisionalisme harus dikesampingkan, dibuang jauh-jauh. Dalam situasi tertentu kedua pemikiran ini dapat berjalan seiring.[43]
          Dalam iklim modernisasi yang lesu semacam ini Fazlur Rahman mencoba menawarkan seperangkat metodologi yang sistematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Terdapat dua metode yang sering digunakan dalam studi-studinya, yaitu metode kritik[44] dan hermeneutik.[45] Tawaran Rahman dalam kajian hadits misalnya dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah modernisasi ajaran Islam yang lebih paradigmatis. Konsep-konsep pembaharuan Islam Fazlur Rahman muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang mucul sebelumnya yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik dan neo-revivalisme.
          Menurut Rahman, sejarah gerakan pembaharuan Islam selama dua abad terakhir, paling tidak terbagi dalam empat tipologi. Ia menempatkan dirinya masuk dalam corak gerakan yang keempat. Keempat tipologi itu adalah sebagai berikut:
a. Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat.
b. Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (w.1897) diseluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w.1898) di India, dan Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir.
c. Gerakan Neo-Revivalisme, yang mempunyai corak modern, namun agak reaksioner, di mana Abul A’la al-Maududi dengan Jemaat Islami-nya menjadi model yang tipikal bagi gerakan ini.
d. Gerakan Neo-Modernisme, Rahman mengategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Menurutnya, neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Ini merupakan prasyarat utama bagi renaissance Islam.[46]
Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia dapat dibedakan ke dalam dua tingkatan, yaitu pendidikan dasar-menengah Islam, dan pendidikan tinggi Islam. Kemudian, pendidikan dasar-menengah Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pesantren, sekolah, dan madrasah. Masing-masing ketiganya itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada umumnya pesantren lebih unggul dalam bidang ilmu-ilmu agama, tetapi lemah di bidang ilmu-ilmu umum, sebaliknya sekolah lemah di bidang ilmu-ilmu agama, tetapi unggul di bidang ilmu-ilmu umum. Sedangkan Madrasah didirikan bertujuan untuk menampung keunggulan pesantren dan sekolah, di samping untuk menghilangkan kelemahan dari keduanya.[47] Inti dari materi pendidikan Islam pada masa itu adalah ilmu-ilmu keagamaan yang dititikberatkan pada pengajaran kitab-kitab klasik. Kitab klasik yang disebut juga sebagai kitab kuning ini yang menjadi tolak ukur tinggi rendahnya pemahaman keagamaan seseorang.
Pada awal abad ke-20, mulai muncul ide-ide modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Ide ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan Islam yang ada pada saat itu, terutama aspek materi. Yaitu, adanya keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Juga, dari aspek metode tidak lagi hanya menggunakan metode sorogan, hafalan, dan wetonan, tetapi adanya penggunaan metode-metode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dari segi sistem, mulai ada keinginan untuk merubah dari sistem halaqah ke sistem klasikal.[48]
Sejarah modernisasi pendidikan Islam di Indonesia juga mencatat proses cikal bakal (sejarah) berdirinya perguruan tinggi Islam di Indonesia. Pendidikan tinggi Islam, menurut Fazlur Rahman, sangat strategis untuk mengurai benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada kemacetan dan kemunduran peradaban umat Islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai jalan keluar atas masalah-masalah yang dihadapi seluruh umat manusia. Bahkan, menurut Fazlur Rahman, modernisasi Islam dalam bentuk apa pun yang berorientasi pada kemajuan, harus bermula dari pendidikan.[49] Hal itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah. Menurut Amin, pengembangan IAIN diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang dirasakan selama ini.[50]
Integrasi ilmu dalam Islam merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sifatnya sangat mendesak kalau tidak ingin perdaban umat Islam selalu terbelakang. Upaya integrasi ini dimulai dari lahirnya gagasan “Islamisasi Pengetahuan”. Upaya ini dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi pada tahun 1982. Berbeda dengan Fazlur Rahman, Rahman lebih cenderung mengembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim daripada Islamisasi ilmu pengetahuan. Cara ini dilakukan oleh Rahman dengan memilih ahli-ahli Islam muda yang potensial dengan mengajarkannya kepada mereka metodologi Barat modern. Metode ini cukup efektif untuk mencetak Muslim yang handal. Sebagai contoh, untuk menyebut beberapa tokoh di Indonesia seperti M. Amin Rais, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Nurcholish Madjid, A. Qodri Azizi, Mulyadi Kartanegara, dan lain-lain.[51]
Metode modernisasi pendidikan yang disarankan Rahman terhadap pendidikan di Pakistan dapat diaplikasikan pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara: pertama, membangkitkan kembali ideologi keharusan belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan, kedua, mengintegrasikan ilmu agama dan umum ke dalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk kemaslahatan umat, ketiga, menyadari pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, keempat, merubah metode mengulang dan menghafal dengan metode memahami dan menganalisis.
Kemudian, jika pemikiran pendidikan Rahman, disistematisasikan ke dalam kurikulum yang unsur-unsurnya meliputi empat hal, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi, akan tampak sebagai berikut. Mengenai tujuan pendidikannya ditemukan adanya tiga macam tujuan, yaitu (1) untuk mengembangkan manusia sehingga pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia, (2) untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri, dan (3) untuk melahirkan ilmuwan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum modern. Mengenai materinya, jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan terdapat tiga macam, yaitu pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang manusia, dan pengetahuan tentang sejarah. Mengenai metode pembelajarannya dilakukan dengan menekankan pada cara memahami dan menganalisis materi pembelajaran dengan menerapkan teori a double movement. Metode ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memahami dan menganalisis materi pembelajaran sesuai dengan irama mereka sendiri, mulai dari usaha pencarian dan pelacakan materi, membaca, memahami, menganalisis, melakukan uji coba sampai mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Mengenai evaluasinya dapat dilakukan dengan sistem evaluasi berbasis kelas. Sistem evaluasi jenis ini, mencakup proses belajar mahasiswa secara keseluruhan, mulai dari proses awal sampai dengan terakhir. Kemudian, yang dijadikan indikator kelulusan bukan hanya aspek kognitif, tetapi semua indikator yang diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai sehingga melahirkan ilmuwan yang kritis dan kreatif.
Sampai di sini, akhirnya dapat diketahui bahwa jika pendidikan tinggi Islam di Indonesia bersedia mengikuti pemikiran pendidikan Rahman, maka secara berangsur-angsur semangat umat Islam di Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam di Indonesia akan semakin terkikis, begitu juga dengan dualisme sistem pendidikan akan semakin pudar. Jika hal ini dapat diimplementasikan dengan baik, bukan tidak mungkin suatu ketika nanti, pendidikan tinggi Islam di Indonesia akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif sehingga mereka dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga, yang dapat menyelesaikan problem-problem kehidupan umat kontemporer.[52]

Penutup
          Fazlur Rahman menawarkan sebuah teori yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Teori ini merupakan suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa al-Qur’a>n diturunkan dan kembali pada masa sekarang. Upaya pembaharuan pendidikan Islam ini menurutnya dapat ditempuh dengan cara: Pertama, membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, berusaha menghilangkan dualisme sistem pendidikan umat Islam. Ketiga, menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinal. Keempat, pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam, yaitu beralih dari metode mengulang-ulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis.
Modernisasi Islam menurut Rahman, berawal dari kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Tertutupnya pintu ijtihad dianggap telah membunuh kreativitas intelektual umat, sehingga Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku sehingga sulit memberikan jawaban-jawaban atas problem keumatan di tengah gelombang modernitas. Kemudian Rahman memunculkan gagasan yang disebut dengan gerakan neo-modernisme, yaitu sebuah gerakan pemikiran yang berusaha menggabungkan antara pemikiran modernisme dengan tradisionalisme. Menurut Rahman, modernisme bukan suatu hal yang harus ditolak, dibenci, dan dihindari, akan tetapi modernisme bukan pula alam pemikiran tradisionalisme harus dikesampingkan, dibuang jauh-jauh. Dalam situasi tertentu kedua pemikiran ini dapat berjalan seiring.
Metode modernisasi pendidikan yang disarankan Rahman terhadap pendidikan di Pakistan dapat diaplikasikan pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara: pertama, membangkitkan kembali ideologi keharusan belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan, kedua, mengintegrasikan ilmu agama dan umum ke dalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk kemaslahatan umat, ketiga, menyadari pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, keempat, merubah metode mengulang dan menghafal dengan metode memahami dan menganalisis. Pendidikan tinggi Islam di Indonesia apabila bersedia mengikuti pemikiran pendidikan Rahman, maka secara berangsur-angsur semangat umat Islam di Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam di Indonesia akan semakin terkikis, begitu juga dengan dualisme sistem pendidikan akan semakin pudar.

Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif – Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Habra. 2008. Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi. Bandung: Fajar Utama Madani.
Assegaf, Abd. Rahman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milineum Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Daud, Wan Mohd Wan. 2003. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, dkk. Bandung: Mizan.
Esha, Muhammad In’am. 2011. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UIN-Maliki Press.
Gibb, H.A.R. 1996. Modern Trends in Islam, Terj. Machnun Husein. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasan, Nor. 2009. Studi Islam Kontemporer. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press.
Hamid, Hamdani. 2012. Pemikiran Modern Dalam Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama.
Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
                             2013. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ngatini & Lestari, S. 2010. Pendidikan Islam Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rahman, Fazlur. 1968. Islamic Methodology in History. Pakistan: Central Institute of Islamic Research.
                            2000. A Studi of Islamic Fundamentalism, Revival and Reform in Islam ed. Ebrahim Moosa. England: Clays Ltd, St Ives plc.
                            1980. Major Themes of the Qur’a>n. Chicago: Bibliotheca Islamica, Minneapolis.
                            1982. Islam & Modernity Tranformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
                            1995. Islam dan Modernitas tentang Tranformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka.
                            1996. Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.
Suharto, Toto. 2014. Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Tantawi, Muhammad Sayyid. 2004. Ijtihad dalam Teologi Keselarasan. Surabaya: JP Book.
Umiarso & Ninik Masruroh. 2011. Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Yahya & Hamid, Abd. 2010. Pemikiran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.

.
.



[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan.
[2]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milineum Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), 85.
[3]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 185.
[4]Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 1.
[5]Fazlur Rahman, A Studi of Islamic Fundamentalism, Revival and Reform in Islam ed. Ebrahim Moosa (England: Oxford OX2 7AR, 2000), 1.
[6]Sutrisno, Fazlur Rahman, 60-61.
[7]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 213.
[8]S. Lestari dan Ngatini, Pendidikan Islam Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 118.
[9]Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 590.
[10]Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 316.
[11]Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’a>n (Chicago: Bibliotheca Islamica, Minneapolis, 1980), ii.
[12]Wan Mohd Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, dkk (Bandung: Mizan, 2003), 406.
[13]Abd Hamid & Yahya, Pemikiran Modern dalam Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 179.
[14]Lestari, Pendidikan Islam Kontekstual, 119.
[15]Ibid, 62.
[16]Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 104.
[17]Nata, Pemikiran, 317.
[18]Assegaf, Aliran, 215.
[19]Sutrisno, Fazlur Rahman, 64.
[20]Fazlur Rahman, Islam & Modernity Tranformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 1-11.
[21]AnSich berasal dari kata jerman yang artinya “di dalam” atau “oleh dirinya sendiri”. Dalam filsafat Hegel, AnSich berarti bahwa segala sesuatu diambil darinya tanpa hubungan dengan sesuatu yang lain, terutama tanpa hubungan dengan suatu kesadaran. Kant menggunakan istilah ini lebih luas, yaitu untuk menggambarkan sesuatu yang tidak tergantung dari kesadaran atau pengalaman. Oleh karena itu, Kant beranggapan bahwa objek pengetahuan pada dirinya sendiri yang disebut dengan istilah Das Ding AnSich sebenarnya ada, tetapi tidak dapat dikenal manusia. Yang dikenal hanyalah apa yang terjadi dalam diri si subjek pengetahuan.
[22]Sutrisno, Fazlur Rahman, 66.
[23]Nor Hasan, Studi Islam Kontemporer (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), 89.
[24]Ibid, 67.
[25]Sutrisno, Fazlur Rahman, 66.
[26]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Pakistan: Central Institute of Islamic Research, 1968), ix.

[27]A Double Movement (suatu gerakan ganda), gerakan dari situasi sekarang ke masa al-Qur’a>n diturunkan, kemudian gerakan kembali ke masa sekarang. Metode ini bisa dilakukan dengan (1) membawa problem-problem umat (sosial) untuk dicarikan solusinya pada al-Qur’a>n atau (2) memaknai al-Qur’a>n dalam konteksnya dan memproyeksikannya kepada situasi sekarang.
[28]Assegaf, Aliran, 218.
[29]Hamdani Hamid, Pemikiran Modern Dalam Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, 2012), 18.
[30]Sutrisno, Fazlur Rahman, 126.
[31]Lestari, Pendidikan, 120.
[32]Ibid, 121.
[33]Nata, Pemikiran, 319.
[34]Sutrisno, Fazlur Rahman, 167.
[35]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 589. Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Kata modernisasi lebih dikenal luas dengan pembaharuan.
[36]Ninik Masruroh & Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 107-108.
[37]Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 128.
[38]Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam Teologi Keselarasan (Surabaya: JP Book, 2004), 144.
[39]Hasan, Studi, 90.
[40]H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, Terj. Machnun Husein (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 109-110.
[41]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 110.
[42]Tekanan-tekanan yang datang dari gagasan modern dan kekuatan perubahan sosial, bersama-sama dengan pengaruh pemerintahan penjajah di negeri-negeri Muslim, telah menciptakan situasi di mana pengadopsian gagasan-gagasan Barat modern tertentu dan pranata-pranatanya dibela mati-matian oleh sebagian kaum Muslimin dan seringkali dibenarkan dengan memberikan kutipan-kutipan al-Qur’a>n. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tantangan Tranformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1995), 4.
[43]Hasan, Studi, 91.
[44]Metode kritik historis yaitu metode yang menekankan kepada pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam data sejarah, bukan peristiwa sejarah. Berfungsi sebagai upaya dekontruksi metodologis.
[45]Metode hermeneutik berfungsi sebagai upaya rekontruksinya.
[46]Hamid, Pemikiran, 183.
[47]Sutrisno, Fazlur Rahman, 202-203.
[48]Masrurah & Umiarso, Modernisasi, 183-184.
[49]Fazlur Rahman, Islam, 259-260.
[50]M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 100.
[51]Sutrisno, Fazlur Rahman, 210-211.
[52]Ibid, 212-215.