Selasa, 12 Juli 2016

TIPOLOGI GURU DAN OTORITASNYA DALAM TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TIPOLOGI GURU DAN OTORITASNYA DALAM TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Solehan Arif[1]
Abstrak: Sejak dahulu, terutama di negara-negara timur, guru menempati posisi terhormat. Orang India dahulu menganggap guru sebagai orang suci dan sakti. Di jepang, guru disebut sensei, artinya “yang lebih dahulu lahir”, “yang lebih tua”. Di Inggris guru disebut teacher dan di Jerman disebut der Lehrer, keduanya memiliki makna pengajar. Dalam tulisan ini mengetengahkan tentang tipologi guru dalam perspektif Islam. Di mana dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru atau pendidik disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib. Seorang guru bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi Muslim yang sempurna. Di dalam pendidikan Islam klasik, guru memiliki otoritas dalam memberikan lisensi pengajaran kepada peserta didik untuk mengamalkan dan mengajarkannya. Lisensi atau ija>zah merupakan izin, kewenangan atau hak mengajar yang diberikan guru kepada muridnya untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kata kunci: guru, otoritas, lisensi (ijaz>ah), hak mengajar

Pendahuluan
Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang paling strategis. Andaikata tidak ada kurikulum secara tertulis, serta tidak ada ruang kelas dan sarana prasarana lainnya, namun masih ada guru, maka kegiatan pendidikan masih dapat berjalan.[2] Pekerjaan menjadi guru adalah pekerjaan yang paling mulia dan paling luhur. Semakin tinggi dan bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, maka yang mengajarkannya juga semakin tinggi derajatnya.[3] Begitu pula tinggi rendahnya kebudayaan suatu masyarakat, maju mundurnya tingkat kebudayaan masyarakat tergantung kepada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru. Makin tinggi pendidikan guru, maka makin tinggi pula mutu pendidikan dan pengajaran yang diterima oleh anak dan makin tinggi pula derajat masyarakat.[4]
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan Muslim tergantung atas dua faktor; (1) Tempat di mana dia mengajar-di negara seperti Persia, di mana penghormatan pada guru merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan, tradisi ini kemudian dilanjutkan ke dalam periode Islam, (2) Tingkatan di mana dia mengajar. Biasanya penghormatan kepada guru semakin tinggi apabila ia mengajar pada level tinggi, guru yang mengajar pada level rendah kurang dihormati karena pembelajarannya yang sederhana dan level yang diajarkan kurang menarik atau tidak membutuhkan pemikiran yang berat.[5]
Sebagai pendidik, kedudukan guru sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi Sistem Pendidikan Nasional, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan ikut meningkatkan mutu pendidikan nasional yang bertujuan berkembangnya peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[6]
Dalam sejarah pendidikan Islam, sistem penyelenggaran pendidikan guru mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman. Ketika lembaga pendidikan formal belum dikenal, calon guru dipersiapkan secara nonformal melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional. [7] Madrasah, misalnya, mendidik calon guru melalui pola transformasi pengetahuan yang dikenal dengan nama al-Ija>zah, yaitu seorang pengajar memberikan lisensi mengajar kepada peserta didik atas nama pengajar tersebut. Metode ini secara spesifik berlaku pada pengajaran hadits. Ketika seorang mahasiswa telah merasa siap dalam bidang studi tertentu, ia maju untuk menjalani ujian lisan. Jika penampilannya memenuhi standar yang ditentukan oleh syaikhnya, ia akan menerima sebuah ija>zah dalam bentuk surat keterangan yang menyatakan kelayakannya untuk mengajar satu bidang studi tertentu.
Untuk mengetahui tipologi guru dan otoritasnya dalam transmisi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam di atas, maka dalam artikel ini difokuskan pada dua persoalan utama, yaitu pertama, tipologi guru dalam perspektif Islam. Kedua, otoritas guru dalam memberikan lisensi pengajaran kepada peserta didik yang meliputi sub pembahasan yakni, pengertian ija>zah, asal mula dan perkembangan pengakuan ija>zah serta metode dan syarat-syarat sahnya ija>zah.

Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
          Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambah awalan pe hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik.[8] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidik adalah orang yang mendidik.[9] Sedangkan secara terminologi, pendidik menurut Mohammad Kosim adalah setiap orang yang berupaya mengembangkan potensi peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama. Dalam pembicaraan sehari-hari, masyarakat lebih akrab memanggil pendidik dengan sebutan guru, khususnya di lembaga pendidikan formal.[10]
          Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.[11]  Jadi tugas utama guru adalah mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya melalui cara mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggungjawab sehingga tujuan dari pendidikan nasional dapat tercapai dengan baik.[12]
          Dalam perspektif Islam, seorang guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi sekaligus pendidik. Karena itu, seseorang dapat menjadi guru bukan hanya karena dia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi lebih penting lagi dia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran-ajaran Islam.[13]
Mehdi Nakosteen menjelaskan bahwa ada enam tipe guru dalam pendidikan Islam diantaranya: Mu’allim, mu’addib, mudarris, syaikh, usta>dz, dan imam, belum lagi termasuk guru-guru pribadi dan para muaiyyid (asisten guru-guru senior). Mu’allim biasanya untuk julukan guru-guru sekolah dasar, mu’addib arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab yakni guru-guru sekolah dasar menengah, mudarris[14] adalah julukan profesional untuk seorang mu’id atau asisten dan sama dengan asisten professor yang bertugas membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya. Syaikh adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis dalam bidang teologis. Imam adalah guru agama tertinggi.[15] Sedangkan kata usta>dz di dalam bukunya Nakosteen tidak memberikan penjelasan tentang julukan dan definisi dari usta>dz itu sendiri.
          Sedangkan menurut Muhaimin, dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru/pendidik biasa disebut sebagai usta>dz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[16]
          Kata usta>dz biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya,[17] yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan.
          Kata mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama, yu’allimu, yang biasa diterjemahkan “mengajar” atau “mengajarkan”.[18] Ini mengandung makna bahwa guru sebagai mu’allim harus mampu menguasai ilmu dan mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya serta berusaha membangkitkan peserta didik untuk mengamalkannya.[19] Allah mengutus rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan (ta’lim) kandungan al-Kitab dan al-Hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik madharat. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al-Hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang bisa mendatangkan manfaat dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjahui madharat.[20]
          Kata murabbi berasal dari kata dasar “rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘Alamin dan Rabb al-Nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia.[21] Sedangkan istilah murabbi merupakan bentuk (shighah) al-Ism al-Fail yang berakar dari tiga kata. Pertama, berasal dari kata raba, yarbu yang artinya zad dan nama (bertambah dan tumbuh). Kedua, berasal dari kata rabiya, yarba yang mempunyai makna tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tarara’a). Ketiga, berasal dari kata rabba yarabbu yang artinya, memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.[22] Manusia sebagai khalifah-Nya diberi tugas untuk menumbuhkembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur, dan memelihara alam seisinya. Oleh karena itu, tugas guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.[23]
          Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Dengan demikian, seorang mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba mengharapkan ridha Allah semata. Dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, pusat anutan dan teladan, bahkan dapat menjadi konsultan bagi peserta didiknya.[24]
          Kata mudarris berasal dari kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatan” yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan using, melatih, mempelajari.[25] Dengan demikian, sebagai mudarris, guru harus memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan, memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan peserta didiknya.[26] Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan percepatan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan perkembangan zaman, sehingga guru harus memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, agar tetap up to date dan tidak cepat usang.[27]
          Sedangkan kata mua’addib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Kata peradaban (Indonesia) juga berasal dari kata adab, sehingga guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa depan.[28]
          Dari hasil telaah terhadap istilah-istilah guru yang dikemukakan oleh Nakosteen dan Muhaimin di atas, menurut hemat penulis, terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaanya terletak pada penyebutan istilah guru. Menurut Nakosteen, yakni Mu’allim, mu’addib, mudarris, syaikh, usta>dz, dan imam sedangkan menurut Muhaimin, yakni usta>dz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib. Di sini terdapat perbedaan antara syaikh dan imam menurut Nakosten sedangkan murabbiy dan mursyid menurut Muhaimin. Kalau kita perhatikan definisi yang diberikan oleh Nakosteen lebih menitikberatkan kepada julukan atau gelar sedangkan definisi yang diberikan oleh Muhaimin lebih kepada peran dan fungsi guru sebagai pendidik. Sedangkan persamaannya, bahwa istilah-istilah tersebut secara umum dialamatkan pada orang yang mengajar dan mendidik. Dengan demikian, orang-orang yang profesinya mengajar disebut guru, baik guru di sekolah maupun di luar sekolah.

Otoritas Guru Dalam Memberikan Lisensi Pengajaran Kepada Peserta Didik
            Sebelum penulis menjelaskan tentang otoritas guru dalam memberikan lisensi pengajaran kepada peserta didik dalam pendidikan Islam, alangkah baiknya penulis menjelaskan definisi dari lisensi itu sendiri dengan maksud dan tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman ketika membaca artikel ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lisensi adalah Surat izin untuk mengangkut barang dagang; Surat izin usaha. Sedangkan ija>zah adalah izin (diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari-padanya); Surat tanda tamat belajar.[29] Dari dua definisi di atas, penulis dalam pembahasan ini memakai kata ija>zah karena kata ini lebih sesuai dengan konteks penulisan yakni, tentang pendidikan.
A. Pengertian Ija>zah
Kata “ija>zah” berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata dasar ‘ajaza’. Dengan merujuk kepada ilmu etimologi, yakni bersandar di atas sesuatu sebagaimana bersandar di atas kusyen. Ahmad Warson Munawwir di dalam kitabnya al-Munawwir, kata ijazah berarti izin, kata lainnya adalah alidznu wattashrihu, bisa juga berarti syahadah atau ijazah.[30] Sedangkan menurut George Makdisi di dalam bukunya The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West mengungkapkan bahwa ija>zah atau akta mengajar berasal dari bahasa Latin “licentia docendi” yang artinya izin, kewenangan atau hak untuk mengajar.[31]
Secara istilah, menurut Ahmad Sjalabi, ija>zah adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya izin atau hak mengajar yang diberikan seorang syaikh kepada seseorang (muridnya) untuk mengajarkan suatu kitab yang dikarangnya.[32] Menurut George Makdisi, izin mengajar (ijaz>ah al-tadris, licentia docendi) pada universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan gereja), sementara pada madrasah ija>zah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa ada kaitannya dengan pemerintah politik atau yang lainnya. Madrasah merupakan sebuah institusi dan bukan sebuah komunitas. Madrasah merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga-lembaga yang ada disuatu tempat yang bersifat independen terutama dari aspek pendanaan yang diperoleh secara swadaya atau donasi mandiri.[33]
Dari beberapa definisi di atas penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa ija>zah adalah izin, kewenangan atau hak mengajar yang diberikan oleh seseorang tenaga pengajar (profesor, syaikh, guru, dan sebagainya) kepada muridnya untuk mengajarkan kepada orang lain.
B. Asal Mula dan Perkembangan Pengakuan Ija>zah
       Menurut George Makdisi di dalam bukunya the Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West mengatakan bahwa dalam tradisi kaum muslimin, orang yang paling berhak untuk menyampaikan (‘ilmu) adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipilih oleh Allah SWT untuk menerima wahyu, pengetahuan agama (‘ilmu) yang diperlukan untuk kesejahteraan hidup dunia dan akhirat, yang disampaikan melalui perantara malaikat jibril a.s. ‘ilmu ini disampaikan secara lisan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya yang kemudian disampaikan pula kepada at-Ta>bi’in dan kemudian kepada tabi’it-ta>bi’in. Begitu seterusnya beberapa kurun waktu sehingga sampai kepada para ‘ulama’. Sebagaimana periwayatan hadi>ts yang terkait dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah SAW yang disebut sebagai Sunnah.[34]
       Oleh karena itu, istilah pertama yang dikaitkan dengan ija>zah berasal dari kata kerja “sami’ah” yang artinya mendengar. Kata sama’ telah digunakan di dalam pengajian hadi>ts yang membawa makna ijazah pendengaran (ija>zah as-Sama’) [35]. Ija>zah ini kemudian berdampingan bersama di dalam buku/kitab atau penulisan-penulisan lain yang mengesahkan pemiliknya dan kemungkinan juga ada nama orang lain di dalam ija>zah yang juga mempelajari materi yang sama di bawah pengawasannya. Profesor atau syaikh akan membenarkan orang tersebut menyampaikan segala kandungan buku atau kitab atas dasar sebagai penulis buku tersebut atau sebagai salah seorang yang layak memberikan autoriti kepada orang lain.[36]
       Ahli hukum terdahulu telah memiliki satu tugas yang harus disempurnakan. Mereka mengatur dan mengamalkan keuntungan mereka dengan menempatkan ahli hukum dalam aturan hak otoritas. Mereka menyediakan hak/izin untuk hak mereka sendiri dalam hal urusan agama, yang terdiri dari aturan negara dan agama. Mereka membuat gelar doktor untuk bidang studi hukum. Hanya para ahli fiqih yang bisa mencapai gelar doktor tersebut.
       Sejarawan Barat Kristen telah menelusuri sejarah gelar doktor dari yang awalnya disebut “akta mengajar” pada abad pertengahan hingga disebut licentia docendi pada masa modern. Akta atau ija>zah yang memberikan kewenangan mengajar pada seseorang itu, menurut Makdisi, berasal dari tradisi agama monoteis. Jadi, akta mengajar semacam itu bukan produk budaya Yunani kuno atau Romawi kuno, dan bukan pula produk Bizanteum Kristen, yang meneruskan tradisi klasik warisan Yunani; bukan produk Barat Kristen Latin karena ketika muncul, akta itu harus menghadapi konflik dengan kewenangan mengajar yang telah ada sebelumnya. Magisterium yang telah dikeluarkan oleh institusi gereja.[37]                         
       Jauh sebelum licentia docendi muncul di universitas Kristen Abad Pertengahan, ia telah berkembang di dunia Islam, dengan istilah yang sama dalam bahasa Arab (ija>zah al-Tadris, al-Ija>zah bi al-Tadris), yang berarti akta mengajar. Dengan demikian, gelar doktoral telah melalui tiga periode sejarah, dari Abad Pertengahan hingga masa modern, dengan tiga istilah: (1) pada masa Islam klasik istilah Arabnya adalah ija>zah al-Tadris, (2) pada masa Abad Pertengahan istilahnya adalah licentia docendi, dan (3) pada masa modern istilahnya doktor. Pada periode pertama dan ketiga, akta ini memiliki ciri utama yang sama; sedangkan pada periode kedua, Abad Pertengahan, akta ini mengalami banyak perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan. Gelar doktor pada masa modern meliputi tidak hanya penegasan kecakapan sang doktor dalam bidang pengetahuan tertentu. Kecakapan ilmiah selalu menjadi syarat untuk mengajar di tradisi intelektual manapun. Ia juga meliputi hak seorang doktor untuk melakukan penelitian dan memublikasikan penemuannya di lingkungan universitas maupun kepada publik yang lebih luas. Hak inilah yang disebut pada Abad Pertengahan magisterium, atau ‘kebebasan akademik’ berupa kewenangan untuk mengajar.
       Beberapa abad sebelum licentia docendi diterapkan sebagai otoritas untuk mengajar, atau magisterium, lembaga gereja Kristen telah mengembangkan badan-badan tertentu yang memberikan wewenang pada perguruan tinggi keuskupan di bawah kuasa Paus untuk memberikan gelar magisterium. New Catholic Encyclopedia mendefinisikan magisterium sebagai, “kewenangan untuk mengajar yang kekal, autentik, dan mutlak, yang diberikan Kristus kepada para Rasul, dan saat ini diwariskan kepada penggantinya yang sah, yaitu keuskupan di bawah kuasa Paus.
       Berdasarkan definisi di atas, bagaimana mungkin seorang profesor teologi di sebuah universitas Kristen Abad Pertengahan mengklaim memiliki kewenangan mengajar yang independen? Di sinilah terdapat alasan terjadinya perubahan akta mengajar di dunia Barat Kristen. Pada awalanya, di universitas-universitas Kristen Abad Pertengahan terdapat tiga istilah yang dipakai untuk guru. Meskipun istilah-istilah ini dapat dikatakan sinonim, namun setiap istilah menekankan adanya sifat atau fungsi khusus. Istilah-istilah itu adalah master, doktor, dan professor. Master (bahasa latinnya: magister) menekankan pada penguasaan dan kecakapan. ‘Doktor’ yang berarti guru (dari bahasa latinnya: docere, mengajar), menekankan pada fungsi mengajar dan membimbing. Sedangkan istilah profesor menekankan pada penegasan pendapat pribadi seseorang.
       Kewenangan mengajar pada masa sekarang diberikan kepada calon doktor yang telah membuktikan kecakapannya pada sebuah bidang ilmu yang secara khusus ia geluti. Kebebasan pribadinya untuk menyatakan tesis, atau pendapatnya, diakui, diterima, dan dipuji karena otensitasnya dan didasarkan atas kerja intelektualnya. Karenanya, seorang doktor atau profesor baru yang berhasil melahirkan suatu pandangan baru yang orisinil, yang didasarkan atas penelitian pribadinya, mendapat wewenang untuk menyatakan pendapatnya itu secara bebas, tidak dihalangi oleh kekuatan apapun, baik kekuatan agama maupun pemerintah.
       Perkembangan gelar doktor yang terjadi pada masa modern tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa Islam klasik. Selain di dunia Islam, tradisi pemberian gelar doktor semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya di kawasan manapun di dunia pada Abad Pertengahan, dan hanya terjadi di bidang hukum agama. Sebagaimana telah dijelaskan, gelar doktor yang dimaksud adalah doktor hukum bagi seorang Muslim, ahli hukum, yang disebut faqi>h, mujtahid, dan mufti.[38]     
       Dari keterangan di atas penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa asal mula dan perkembangan pengakuan ija>zah atau kewenangan mengajar yang independen berasal dari pendidikan Islam yang disampaikan secara lisan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabatnya yang kemudian disampaikan kepada at-Ta>bi’in dan kemudian kepada tabi’it-ta>bi’in. Begitu seterusnya beberapa kurun waktu sehingga sampai kepada para ‘ulama’. Sebagaimana periwayatan hadi>ts yang terkait dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah SAW yang disebut sebagai Sunnah. Jadi tidak mungkin seorang profesor teologi di sebuah universitas Kristen Abad Pertengahan mengklaim memiliki kewenangan mengajar yang independen, karena jauh sebelumnya lembaga gereja Kristen telah mengembangkan badan-badan tertentu yang memberikan wewenang pada perguruan tinggi keuskupan di bawah kuasa Paus untuk memberikan gelar magisterium atau hak mengajar.
C. Metode dan Syarat-Syarat Sahnya Ija>zah
Ija>zah dianugerahkan melalui dua cara yaitu secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut sejarahnya, penganugerahan ija>zah secara lisan lebih dipraktikkan dibandingkan secara tulisan. Sebelum ija>zah memiliki arti yang cukup luas, ia hanya berperan sebagai salah satu metode dalam menentukan keshahihan periwayatan sebuah hadits, dan akhirnya hadits dapat diklasifikasikan mengikuti derajat kepercayaan seseorang perawi melalui ucapan lisan. Para periwayat hadits adalah orang pertama yang menggunakan istilah ini demi memelihara kepentingan ‘ilmu. Oleh karena itu, merekalah Muslim yang paling awal menyadari kepentingan penulisan sesuatu ‘ilmu dan kemudian meluas di dalam bidang ‘ilmu yang lain.
Menurut Sjalabi, metode pemberian ija>zah itu adalah bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
1. Guru atau Perawi tersebut mengatakan kepada muridnya itu: “ambillah bagian ini, sebab ini adalah sebagian dari hadits yang kuhafal, dan aku akan mengetahui akan arti yang terkandung di dalamnya, maka riwayatkanlah dengan mengatakan bahwa engkau telah menerima dariku; atau turunlah hadits-hadits ini dan cocokkan turunan itu dengan asalnya, kemudian riwayatkanlah dengan mengatakan bahwa engkau telah menerimanya dariku” ija>zah semacam ini disebut: “munawalah” dan inilah yang tertinggi tingkatannya.
2. Perawi tersebut menulis kepada muridnya sebagai berikut: “kepada Fulan ibnu Fulan; aku telah memberikan izin kepadamu untuk meriwayatkan apa-apa yang didengar oleh si Fulan dariku, atau apa-apa yang terkandung dalam bagian anu”. Izin semacam ini hampir serupa dengan “munawalah” tersebut di atas kalau tulisannya dapat dipastikan.
3. Perawi berkata kepada muridnya: “aku telah memberikan izin bagimu untuk meriwayatkan hadits-hadits shahih yang ada padamu yang benar-benar kau peroleh dariku”. Ini lebih rendah tingkatannya daripada ija>zah yang dituliskan dengan menentukan apa yang diizinkan itu.
Ija>zah tertua yang dapat diketahui_menurut syaikh Agha Buzurk, _ialah ija>zah yang diberikan pada tahun 313 H. Oleh Muhammad Ibnu Muhammad Ibnul As’ats, kepada Harun Ibnu Musa al-‘Ukbari untuk meriwayatkan dari gurunya itu tentang materi-materi yang disebutkan di dalam suratnya.
Syarat-syarat sahnya ija>zah itu adalah:
1. Bahwa cabang hendaklah sesuai dengan pokok, sehingga seakan-akan cabang itu adalah pokok.
2. Bahwa orang yang memberikan ijaz>ah haruslah betul-betul menguasai ‘ilmu yang diijazahkannya itu, lagi pula dapat dipercaya tentang agamanya dan riwayat-riwayatnya, dan terkenal pula dengan ‘ilmu pengetahuannya.
3. Bahwa orang yang menerima ija>zah haruslah termasuk kalangan ahli ‘ilmu pengetahuan (sarjana), dan memiliki sifat-sifat seorang sebagai seorang sarjana, sehingga dengan demikian ‘ilmu tersebut diletakkan pada tempatnya yang wajar.[39]

Penutup
Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru/pendidik biasa disebut sebagai usta>dz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.Usta>dz biasa digunakan untuk memanggil seorang professor. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama, yu’allimu, yang biasa diterjemahkan “mengajar” atau “mengajarkan” Kata murabbi berasal dari kata dasar “rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘Alamin dan Rabb al-Nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Mursyid biasa digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Dengan demikian, seorang mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak atau kepribadiannya kepada peserta didiknya. Mudarris berasal dari kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatan” yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Mua’addib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin.
Ija>zah adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya izin atau hak mengajar yang diberikan seorang syaikh kepada seseorang (muridnya) untuk mengajarkan suatu kitab yang dikarangnya. Tiga periode sejarah, dari Abad Pertengahan hingga masa modern, dengan tiga istilah: (1) pada masa Islam klasik istilah Arabnya adalah ija>zah al-Tadris, (2) pada masa Abad Pertengahan istilahnya adalah licentia docendi, dan (3) pada masa modern istilahnya doktor.
Ija>zah dianugerahkan melalui dua cara yaitu secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut sejarahnya, penganugerahan ija>zah secara lisan lebih dipraktikkan dibandingkan secara tulisan.
Syarat-syarat sahnya ija>zah itu adalah: 1) Bahwa cabang hendaklah sesuai dengan pokok, sehingga seakan-akan cabang itu adalah pokok. 2) Bahwa orang yang memberikan ija>zah haruslah betul-betul menguasai ‘ilmu yang diijazahkannya itu, lagi pula dapat dipercaya tentang agamanya dan riwayat-riwayatnya, dan terkenal pula dengan ‘ilmu pengetahuannya. 3) Bahwa orang yang menerima ija>zah haruslah termasuk kalangan ahli ‘ilmu pengetahuan (sarjana), dan memiliki sifat-sifat seorang sebagai seorang sarjana, sehingga dengan demikian ‘ilmu tersebut diletakkan pada tempatnya yang wajar.

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kosim, Mohammad. 2012. Pendidikan Guru Agama di Indonesia: Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011. Yogyakarta: Pustaka Nusantara.
Kosim, Mohammad. 2013. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Pena Salsabila.
Makdisi, George. 1990. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: with Special Reference to School. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Makdisi, George. 1970. “Madrasa and University in the Middle Ages”, Studia Islamica, 32.
Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Muhaimin. 2012. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pres.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhaimin. 2013. Rekonstruksi Pendidikan Islam: dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pres.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Nakosteen, Mehdi. 1850. History of Islamic Origins of Western Education: with an Introduction to Medieval Muslim Education. Colorado: University of Colorado Press.
Nata, Abuddin. 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pres.
Nizar, Samsul & Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Siswanto. 2012. Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: SUKA-Press.
Sjalabi, Ahmad. 1973. Sedjarah Pendidikan Islam, Terj, Muchtar Yahya & Sanusi Latief. Djakarta: Bulan Bintang.
Sulhan, Najib. 2011. Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat. Surabaya: PT JePe Press Media Utama.
Solichin, Mohammad Muchlis. 2013. Memotret Guru Ideal-Profesional: Harapan, Peluang dan Tantangan di Tengah Arus Perubahan Sosial. Surabaya: Pena Salsabila.
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yahya, Munip. 2013. Profesi Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.



[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan
[2]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), 299.
[3]Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 167.
[4]Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), 26.
[5]Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education: with an Introduction to Medieval Muslim Education (Colorado: University of Colorado Press, 1850), 76.
[6]Murip Yahya, Profesi Tenaga Kependidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 25.
[7]Mohammad Kosim, Pendidikan Guru Agama di Indonesia: Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011 (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), 2.
[8]Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 138.
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
[10]Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 63.
[11]Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen, Pasal 1 ayat 1. Lihat juga Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat (Surabaya: PT JePe Press Media Utama, 2011), 1-2.
[12]Lihat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[13]Siswanto, Pendidikan.., 27.
[14]Terdapat perbedaan istilah mudarris dalam pandangan Mehdi Nakosteen dengan George Makdisi. Istilah mudarris menurut Nakosten adalah kedudukannya setingkat dengan asisten profesor (guru yunior) sedangkan dalam perspektif makdisi, mudarris adalah kedudukannya setingkat professor, terutama profesor dalam bidang hukum.
[15]Mehdi Nakosteen, History.., 76.
[16]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), 44.
[17]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 44.
[18]Heri.., Pendidikan.., 163.
[19]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), 112. 
[20]Muhaimin, Pengembangan.., 45.
[21]Siswanto, Pendidikan.., 28.
[22]Ramayulis.., Filsafat.., 139.
[23]Mohammad Muchlis Solichin, Memotret Guru Ideal-Profesional: Harapan, Peluang dan Tantangan di Tengah Arus Perubahan Sosial (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 3.
[24]Muhaimin, Pengembangan.., 47-49.
[25]Ibid.
[26]Muhaimin, Rekontruksi.., 112.
[27]Siswanto, Pendidikan.., 29.
[28]Muhaimin, Pengembangan.., 49.
[29]Departemen.., Kamus.., 320.
[30]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 223.
[31]George Makdisi, the Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: with Special Reference to School (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 26-27.
[32]Ahmad Sjalabi, Sedjarah Pendidikan Islam, Terj, Muchtar Yahya & Sanusi Latief (Djakarta: Bulan Bintang, 1973), 260.
[33]George Makdisi, “Madrasa and University in the Middle Ages”, Studia Islamica, 32 (1970), 258.
[34]George Makdisi, the Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 140.
[35]Menurut Sjalabi di dalam bukunya, kata “sama” (mendengar) adalah suatu istilah yang biasa dipakai untuk ijazah-ijazah yang ada sampai kepada kita di zaman sekarang beberapa contohnya, yang diberikan setelah terwujudnya hubungan antara guru dengan murid, yang berarti simurid telah “mendengar” dari gurunya itu, dank arena itu ia diberi “sama”, yang berarti bahwa guru tersebut memberikan izin kepada simurid itu untuk meriwayatkan dari padanya semua yang telah diriwayatkannya kepada murid itu. Ijazah adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya izin yang diberikan tanpa memberikan pelajaran terlebih dahulu kepada orang yang diberi ijazah itu. Ijazah itu diberikan oleh seorang syaikh kepada seseorang, yang berarti bahwa syaikh tersebut memberikan izin kepada orang itu untuk meriwayatkan hadits-hadits tertentu yang diriwayatkan syaikh tersebut atau merupakan izin untuk mengajarkan suatu kitab yang telah dikarangnya.
Sedangkan sama’ itu telah diakui oleh semua orang karena si murid mendengar langsung dari gurunya sehingga ia diberi “sama’”. Berbeda dengan ijazah yang diberikan tanpa pelajaran terlebih dahulu. Ijazah semacam ini masih menimbulkan perbedaan pendapat antara para ulama. Ada orang yang meriwayatkan bahwa Imam as-Safi’i tidak membenarkan orang meriwayatkan ilmu apabila orang itu hanya mendapatkan ijazah tanpa mendengar (sama’) ilmu tersebut secara langsung dari gurunya. Tetapi Abul ‘abbas al-Walid Ibn Bakr telah menolak riwayat tersebut di atas itu di dalam bukunya yang berjudul al-Widjazah fi Shihhatil Qauli bi Ahkamil Idjazah, 1) mengatakan orang yang meriwayatkan pendapat tersebut dari Imam as-Safi’i telah membuat suatu kekeliruan. 2) ijazah semacam ini menunjukkan taraf ilmiah dari orang yang diberi ijazah tersebut, sebagaimana hal itu juga ditunjukkan oleh “sama”, sebab para syaikh tidak bersedia memberikan ijazah secam ini kecuali kepada orang yang telah memiliki pengetahuan yang memungkinkannya untuk mengajarkan dengan baik buku yang telah diizinkan kepadanya itu, atau untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah diizinkan kepadanya untuk meriwayatkannya. Sjalabi.., Sedjarah.., 260-261.
[36]Ibid, 141.
[37]George Makdisi, the Rise Humanism.., 26.
[38]George Makdisi, the Rise of Humanism.., 26-28.  
[39]Sjalabi, Sedjarah.., 261-262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar