TIPOLOGI
GURU DAN OTORITASNYA DALAM TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
Solehan
Arif[1]
Abstrak:
Sejak
dahulu, terutama di negara-negara timur, guru menempati posisi terhormat. Orang
India dahulu menganggap guru sebagai orang suci dan sakti. Di jepang, guru
disebut sensei, artinya “yang lebih dahulu lahir”, “yang lebih tua”. Di
Inggris guru disebut teacher dan di Jerman disebut der Lehrer, keduanya
memiliki makna pengajar. Dalam tulisan ini mengetengahkan tentang tipologi guru
dalam perspektif Islam. Di mana dalam literatur kependidikan Islam, seorang
guru atau pendidik disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid,
mudarris, dan mu’addib. Seorang guru bukan hanya sekedar sebagai
tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai
pendidik, guru berkewajiban untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik
agar menjadi Muslim yang sempurna. Di dalam pendidikan Islam klasik, guru
memiliki otoritas dalam memberikan lisensi pengajaran kepada peserta didik
untuk mengamalkan dan mengajarkannya. Lisensi atau ija>zah merupakan izin, kewenangan atau hak
mengajar yang diberikan guru kepada muridnya untuk mengajarkannya kepada orang
lain.
Kata kunci: guru, otoritas,
lisensi (ijaz>ah), hak mengajar
Pendahuluan
Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang paling strategis.
Andaikata tidak ada kurikulum secara tertulis, serta tidak ada ruang kelas dan
sarana prasarana lainnya, namun masih ada guru, maka kegiatan pendidikan masih
dapat berjalan.[2]
Pekerjaan menjadi guru adalah pekerjaan yang paling mulia dan paling luhur.
Semakin tinggi dan bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, maka yang
mengajarkannya juga semakin tinggi derajatnya.[3] Begitu
pula tinggi rendahnya kebudayaan suatu masyarakat, maju mundurnya tingkat
kebudayaan masyarakat tergantung kepada pendidikan dan pengajaran yang
diberikan oleh guru. Makin tinggi pendidikan guru, maka makin tinggi pula mutu
pendidikan dan pengajaran yang diterima oleh anak dan makin tinggi pula derajat
masyarakat.[4]
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad
pendidikan Muslim tergantung atas dua faktor; (1) Tempat di mana dia
mengajar-di negara seperti Persia, di mana penghormatan pada guru merupakan
suatu tradisi lama dalam pendidikan, tradisi ini kemudian dilanjutkan ke dalam
periode Islam, (2) Tingkatan di mana dia mengajar. Biasanya penghormatan kepada
guru semakin tinggi apabila ia mengajar pada level tinggi, guru yang mengajar
pada level rendah kurang dihormati karena pembelajarannya yang sederhana dan
level yang diajarkan kurang menarik atau tidak membutuhkan pemikiran yang berat.[5]
Sebagai pendidik, kedudukan guru sebagaimana disebutkan dalam
Konstitusi Sistem Pendidikan Nasional, berfungsi untuk meningkatkan martabat
dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan ikut meningkatkan mutu pendidikan
nasional yang bertujuan berkembangnya peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[6]
Dalam sejarah pendidikan Islam, sistem penyelenggaran pendidikan
guru mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman. Ketika lembaga
pendidikan formal belum dikenal, calon guru dipersiapkan secara nonformal
melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional. [7] Madrasah,
misalnya, mendidik calon guru melalui pola transformasi pengetahuan yang
dikenal dengan nama al-Ija>zah,
yaitu seorang pengajar
memberikan lisensi mengajar kepada peserta didik atas nama pengajar tersebut.
Metode ini secara spesifik berlaku pada pengajaran hadits. Ketika seorang
mahasiswa telah merasa siap dalam bidang studi tertentu, ia maju untuk
menjalani ujian lisan. Jika penampilannya memenuhi standar yang ditentukan oleh
syaikhnya, ia akan menerima sebuah ija>zah
dalam
bentuk surat keterangan yang menyatakan kelayakannya untuk mengajar satu bidang
studi tertentu.
Untuk
mengetahui tipologi guru dan otoritasnya dalam transmisi ilmu pengetahuan dalam
pendidikan Islam di atas, maka dalam artikel ini difokuskan pada dua persoalan
utama, yaitu pertama, tipologi guru dalam perspektif Islam. Kedua, otoritas
guru dalam memberikan lisensi pengajaran kepada peserta didik yang meliputi sub
pembahasan yakni, pengertian ija>zah,
asal mula dan perkembangan
pengakuan ija>zah serta metode dan syarat-syarat sahnya ija>zah.
Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
Kata pendidik
berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan
agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan
santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambah awalan pe
hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik.[8] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidik adalah orang yang mendidik.[9] Sedangkan
secara terminologi, pendidik menurut Mohammad Kosim adalah setiap orang yang
berupaya mengembangkan potensi peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
utama. Dalam pembicaraan sehari-hari, masyarakat lebih akrab memanggil pendidik
dengan sebutan guru, khususnya di lembaga pendidikan formal.[10]
Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru
dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan menengah.[11] Jadi tugas utama guru adalah mengembangkan
seluruh aspek kepribadian peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya melalui
cara mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggungjawab
sehingga tujuan dari pendidikan nasional dapat tercapai dengan baik.[12]
Dalam perspektif
Islam, seorang guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi
sekaligus pendidik. Karena itu, seseorang dapat menjadi guru bukan hanya karena
dia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi lebih penting
lagi dia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian, seorang guru bukan hanya
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk
watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran-ajaran Islam.[13]
Mehdi Nakosteen menjelaskan bahwa ada enam tipe guru dalam
pendidikan Islam diantaranya: Mu’allim, mu’addib, mudarris, syaikh, usta>dz, dan imam, belum lagi termasuk
guru-guru pribadi dan para muaiyyid (asisten guru-guru senior). Mu’allim
biasanya untuk julukan guru-guru sekolah dasar, mu’addib arti
harfiahnya orang yang beradab atau guru adab yakni guru-guru sekolah dasar
menengah, mudarris[14]
adalah julukan profesional untuk seorang mu’id atau asisten dan sama
dengan asisten professor yang bertugas membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal
yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya. Syaikh adalah
julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis dalam bidang teologis. Imam
adalah guru agama tertinggi.[15] Sedangkan
kata usta>dz di dalam
bukunya Nakosteen tidak memberikan penjelasan tentang julukan dan definisi dari
usta>dz itu sendiri.
Sedangkan menurut
Muhaimin, dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru/pendidik biasa
disebut sebagai usta>dz, mu’allim,
murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[16]
Kata usta>dz biasa digunakan untuk memanggil
seorang profesor. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk
komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan
profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap
tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous
improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui
model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya,[17]
yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas
menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan.
Kata mu’allim merupakan
bentuk isim fa’il dari ‘allama, yu’allimu, yang biasa
diterjemahkan “mengajar” atau “mengajarkan”.[18] Ini
mengandung makna bahwa guru sebagai mu’allim harus mampu menguasai ilmu
dan mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan
dimensi teoretis dan praktisnya serta berusaha membangkitkan peserta didik
untuk mengamalkannya.[19]
Allah mengutus rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan (ta’lim)
kandungan al-Kitab dan al-Hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran
melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik madharat. Ini
mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan
ilmu pengetahuan dan al-Hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan
ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang bisa mendatangkan manfaat dan
berusaha semaksimal mungkin untuk menjahui madharat.[20]
Kata murabbi berasal
dari kata dasar “rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘Alamin dan Rabb
al-Nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya
termasuk manusia.[21] Sedangkan
istilah murabbi merupakan bentuk (shighah) al-Ism al-Fail yang
berakar dari tiga kata. Pertama, berasal dari kata raba, yarbu yang
artinya zad dan nama (bertambah dan tumbuh). Kedua, berasal
dari kata rabiya, yarba yang mempunyai makna tumbuh (nasya’) dan
menjadi besar (tarara’a). Ketiga, berasal dari kata rabba
yarabbu yang artinya, memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan
memelihara.[22]
Manusia sebagai khalifah-Nya diberi tugas untuk menumbuhkembangkan
kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur, dan memelihara alam seisinya.
Oleh karena itu, tugas guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta
didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitarnya.[23]
Kata mursyid biasa
digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Dengan demikian,
seorang mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi)
akhlak atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos
ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba
mengharapkan ridha Allah semata. Dalam konteks pendidikan mengandung makna
bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, pusat
anutan dan teladan, bahkan dapat menjadi konsultan bagi peserta didiknya.[24]
Kata mudarris berasal
dari kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatan” yang berarti
terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan using, melatih, mempelajari.[25]
Dengan demikian, sebagai mudarris, guru harus memiliki kepekaan
intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya
secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan, memberantas kebodohan, serta
melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan peserta didiknya.[26]
Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan
percepatan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan perkembangan
zaman, sehingga guru harus memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta
memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, agar tetap up
to date dan tidak cepat usang.[27]
Sedangkan kata mua’addib
berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau
kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Kata peradaban
(Indonesia) juga berasal dari kata adab, sehingga guru adalah orang yang
beradab sekaligus memiliki peran fungsi untuk membangun peradaban (civilization)
yang berkualitas di masa depan.[28]
Dari hasil telaah
terhadap istilah-istilah guru yang dikemukakan oleh Nakosteen dan Muhaimin di
atas, menurut hemat penulis, terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaanya
terletak pada penyebutan istilah guru. Menurut Nakosteen, yakni Mu’allim,
mu’addib, mudarris, syaikh, usta>dz, dan imam sedangkan
menurut Muhaimin, yakni usta>dz, mu’allim,
murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib. Di sini terdapat perbedaan antara syaikh dan
imam menurut Nakosten sedangkan murabbiy dan mursyid
menurut Muhaimin. Kalau kita perhatikan definisi yang diberikan oleh Nakosteen
lebih menitikberatkan kepada julukan atau gelar sedangkan definisi yang
diberikan oleh Muhaimin lebih kepada peran dan fungsi guru sebagai pendidik.
Sedangkan persamaannya, bahwa istilah-istilah tersebut secara umum dialamatkan
pada orang yang mengajar dan mendidik. Dengan demikian, orang-orang yang
profesinya mengajar disebut guru, baik guru di sekolah maupun di luar sekolah.
Otoritas Guru Dalam Memberikan Lisensi Pengajaran Kepada Peserta
Didik
Sebelum penulis
menjelaskan tentang otoritas guru dalam memberikan lisensi pengajaran kepada
peserta didik dalam pendidikan Islam, alangkah baiknya penulis menjelaskan
definisi dari lisensi itu sendiri dengan maksud dan tujuan agar tidak terjadi
kesalahan pemahaman ketika membaca artikel ini. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, lisensi adalah Surat izin untuk mengangkut barang dagang; Surat izin
usaha. Sedangkan ija>zah adalah izin
(diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si
murid dari-padanya); Surat tanda tamat belajar.[29]
Dari dua definisi di atas, penulis dalam pembahasan ini memakai kata ija>zah karena kata ini lebih sesuai dengan
konteks penulisan yakni, tentang pendidikan.
A. Pengertian Ija>zah
Kata “ija>zah” berasal dari
bahasa Arab yang diambil dari kata dasar ‘ajaza’. Dengan merujuk kepada
ilmu etimologi, yakni bersandar di atas sesuatu sebagaimana bersandar di atas
kusyen. Ahmad Warson Munawwir di dalam kitabnya al-Munawwir, kata ijazah
berarti izin, kata lainnya adalah alidznu wattashrihu, bisa juga
berarti syahadah atau ijazah.[30]
Sedangkan menurut George Makdisi di dalam bukunya The Rise of Humanism in
Classical Islam and the Christian West mengungkapkan bahwa ija>zah atau akta mengajar berasal dari
bahasa Latin “licentia docendi” yang artinya izin, kewenangan atau hak
untuk mengajar.[31]
Secara istilah, menurut Ahmad Sjalabi, ija>zah adalah suatu istilah yang
menunjukkan adanya izin atau hak mengajar yang diberikan seorang syaikh kepada
seseorang (muridnya) untuk mengajarkan suatu kitab yang dikarangnya.[32]
Menurut George Makdisi, izin mengajar (ijaz>ah al-tadris,
licentia docendi) pada universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan
gereja), sementara pada madrasah ija>zah diberikan oleh syaikh
secara personal tanpa ada kaitannya dengan pemerintah politik atau yang
lainnya. Madrasah merupakan sebuah institusi dan bukan sebuah komunitas.
Madrasah merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga-lembaga yang ada
disuatu tempat yang bersifat independen terutama dari aspek pendanaan yang
diperoleh secara swadaya atau donasi mandiri.[33]
Dari beberapa definisi di atas penulis dapat memberikan kesimpulan
bahwa ija>zah adalah izin, kewenangan atau hak mengajar yang
diberikan oleh seseorang tenaga pengajar (profesor, syaikh, guru, dan
sebagainya) kepada muridnya untuk mengajarkan kepada orang lain.
B. Asal Mula dan Perkembangan Pengakuan Ija>zah
Menurut George Makdisi di dalam bukunya the
Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West mengatakan
bahwa dalam tradisi kaum muslimin, orang yang paling berhak untuk menyampaikan
(‘ilmu) adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipilih oleh Allah SWT untuk
menerima wahyu, pengetahuan agama (‘ilmu) yang diperlukan untuk kesejahteraan
hidup dunia dan akhirat, yang disampaikan melalui perantara malaikat jibril
a.s. ‘ilmu ini disampaikan secara lisan oleh Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya yang kemudian disampaikan pula kepada at-Ta>bi’in dan kemudian kepada tabi’it-ta>bi’in. Begitu seterusnya beberapa kurun waktu sehingga sampai kepada para ‘ulama’.
Sebagaimana periwayatan hadi>ts yang terkait
dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah SAW yang disebut
sebagai Sunnah.[34]
Oleh karena itu, istilah pertama yang
dikaitkan dengan ija>zah
berasal dari kata kerja “sami’ah”
yang artinya mendengar. Kata sama’ telah digunakan di dalam pengajian hadi>ts
yang membawa makna ijazah pendengaran (ija>zah as-Sama’) [35].
Ija>zah ini kemudian berdampingan bersama di dalam buku/kitab atau penulisan-penulisan
lain yang mengesahkan pemiliknya dan kemungkinan juga ada nama orang lain di
dalam ija>zah yang juga mempelajari materi yang sama di bawah pengawasannya.
Profesor atau syaikh akan membenarkan orang tersebut menyampaikan segala
kandungan buku atau kitab atas dasar sebagai penulis buku tersebut atau sebagai
salah seorang yang layak memberikan autoriti kepada orang lain.[36]
Ahli hukum terdahulu telah memiliki satu
tugas yang harus disempurnakan. Mereka mengatur dan mengamalkan keuntungan
mereka dengan menempatkan ahli hukum dalam aturan hak otoritas. Mereka
menyediakan hak/izin untuk hak mereka sendiri dalam hal urusan agama, yang
terdiri dari aturan negara dan agama. Mereka membuat gelar doktor untuk bidang
studi hukum. Hanya para ahli fiqih yang bisa mencapai gelar doktor tersebut.
Sejarawan Barat Kristen telah menelusuri
sejarah gelar doktor dari yang awalnya disebut “akta mengajar” pada abad
pertengahan hingga disebut licentia docendi pada masa modern. Akta atau ija>zah yang memberikan kewenangan mengajar
pada seseorang itu, menurut Makdisi, berasal dari tradisi agama monoteis. Jadi,
akta mengajar semacam itu bukan produk budaya Yunani kuno atau Romawi kuno, dan
bukan pula produk Bizanteum Kristen, yang meneruskan tradisi klasik warisan
Yunani; bukan produk Barat Kristen Latin karena ketika muncul, akta itu harus
menghadapi konflik dengan kewenangan mengajar yang telah ada sebelumnya. Magisterium
yang telah dikeluarkan oleh institusi gereja.[37]
Jauh sebelum licentia docendi muncul
di universitas Kristen Abad Pertengahan, ia telah berkembang di dunia Islam,
dengan istilah yang sama dalam bahasa Arab (ija>zah al-Tadris, al-Ija>zah bi al-Tadris), yang berarti
akta mengajar. Dengan demikian, gelar doktoral telah melalui tiga periode
sejarah, dari Abad Pertengahan hingga masa modern, dengan tiga istilah: (1)
pada masa Islam klasik istilah Arabnya adalah ija>zah al-Tadris, (2) pada masa Abad Pertengahan istilahnya adalah licentia docendi,
dan (3) pada masa modern istilahnya doktor. Pada periode pertama dan
ketiga, akta ini memiliki ciri utama yang sama; sedangkan pada periode kedua,
Abad Pertengahan, akta ini mengalami banyak perubahan sesuai dengan tuntutan
lingkungan. Gelar doktor pada masa modern meliputi tidak hanya penegasan
kecakapan sang doktor dalam bidang pengetahuan tertentu. Kecakapan ilmiah
selalu menjadi syarat untuk mengajar di tradisi intelektual manapun. Ia juga
meliputi hak seorang doktor untuk melakukan penelitian dan memublikasikan
penemuannya di lingkungan universitas maupun kepada publik yang lebih luas. Hak
inilah yang disebut pada Abad Pertengahan magisterium, atau ‘kebebasan
akademik’ berupa kewenangan untuk mengajar.
Beberapa abad sebelum licentia docendi
diterapkan sebagai otoritas untuk mengajar, atau magisterium, lembaga
gereja Kristen telah mengembangkan badan-badan tertentu yang memberikan
wewenang pada perguruan tinggi keuskupan di bawah kuasa Paus untuk memberikan
gelar magisterium. New Catholic Encyclopedia mendefinisikan magisterium
sebagai, “kewenangan untuk mengajar yang kekal, autentik, dan mutlak, yang
diberikan Kristus kepada para Rasul, dan saat ini diwariskan kepada
penggantinya yang sah, yaitu keuskupan di bawah kuasa Paus.
Berdasarkan definisi di atas, bagaimana
mungkin seorang profesor teologi di sebuah universitas Kristen Abad Pertengahan
mengklaim memiliki kewenangan mengajar yang independen? Di sinilah terdapat
alasan terjadinya perubahan akta mengajar di dunia Barat Kristen. Pada
awalanya, di universitas-universitas Kristen Abad Pertengahan terdapat tiga
istilah yang dipakai untuk guru. Meskipun istilah-istilah ini dapat dikatakan
sinonim, namun setiap istilah menekankan adanya sifat atau fungsi khusus.
Istilah-istilah itu adalah master, doktor, dan professor. Master (bahasa
latinnya: magister) menekankan pada penguasaan dan kecakapan. ‘Doktor’
yang berarti guru (dari bahasa latinnya: docere, mengajar), menekankan
pada fungsi mengajar dan membimbing. Sedangkan istilah profesor menekankan pada
penegasan pendapat pribadi seseorang.
Kewenangan mengajar pada masa sekarang
diberikan kepada calon doktor yang telah membuktikan kecakapannya pada sebuah
bidang ilmu yang secara khusus ia geluti. Kebebasan pribadinya untuk menyatakan
tesis, atau pendapatnya, diakui, diterima, dan dipuji karena otensitasnya dan
didasarkan atas kerja intelektualnya. Karenanya, seorang doktor atau profesor baru
yang berhasil melahirkan suatu pandangan baru yang orisinil, yang didasarkan
atas penelitian pribadinya, mendapat wewenang untuk menyatakan pendapatnya itu
secara bebas, tidak dihalangi oleh kekuatan apapun, baik kekuatan agama maupun
pemerintah.
Perkembangan gelar doktor yang terjadi
pada masa modern tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa Islam klasik.
Selain di dunia Islam, tradisi pemberian gelar doktor semacam ini tidak pernah
terjadi sebelumnya di kawasan manapun di dunia pada Abad Pertengahan, dan
hanya terjadi di bidang hukum agama. Sebagaimana telah dijelaskan, gelar
doktor yang dimaksud adalah doktor hukum bagi seorang Muslim, ahli hukum, yang
disebut faqi>h, mujtahid, dan mufti.[38]
Dari keterangan di atas penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa asal mula dan perkembangan pengakuan ija>zah atau kewenangan mengajar yang
independen berasal dari pendidikan Islam yang disampaikan secara lisan oleh
Nabi Muhammad kepada para sahabatnya yang kemudian disampaikan kepada at-Ta>bi’in dan kemudian kepada tabi’it-ta>bi’in. Begitu seterusnya beberapa kurun waktu sehingga sampai kepada para ‘ulama’.
Sebagaimana periwayatan hadi>ts yang terkait
dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah SAW yang disebut
sebagai Sunnah. Jadi tidak mungkin seorang profesor teologi di sebuah
universitas Kristen Abad Pertengahan mengklaim memiliki kewenangan mengajar
yang independen, karena jauh sebelumnya lembaga gereja Kristen telah
mengembangkan badan-badan tertentu yang memberikan wewenang pada perguruan
tinggi keuskupan di bawah kuasa Paus untuk memberikan gelar magisterium atau
hak mengajar.
C. Metode dan Syarat-Syarat Sahnya Ija>zah
Ija>zah dianugerahkan
melalui dua cara yaitu secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi, jika ditinjau
dari sudut sejarahnya, penganugerahan ija>zah secara lisan lebih dipraktikkan dibandingkan
secara tulisan. Sebelum ija>zah memiliki arti yang cukup luas, ia hanya berperan sebagai salah satu
metode dalam menentukan keshahihan periwayatan sebuah hadits, dan
akhirnya hadits dapat diklasifikasikan mengikuti derajat kepercayaan
seseorang perawi melalui ucapan lisan. Para periwayat hadits adalah
orang pertama yang menggunakan istilah ini demi memelihara kepentingan ‘ilmu.
Oleh karena itu, merekalah Muslim yang paling awal menyadari kepentingan
penulisan sesuatu ‘ilmu dan kemudian meluas di dalam bidang ‘ilmu yang lain.
Menurut
Sjalabi, metode pemberian ija>zah itu adalah bermacam-macam, antara
lain sebagai berikut:
1. Guru atau Perawi tersebut mengatakan kepada muridnya itu:
“ambillah bagian ini, sebab ini adalah sebagian dari hadits yang
kuhafal, dan aku akan mengetahui akan arti yang terkandung di dalamnya, maka
riwayatkanlah dengan mengatakan bahwa engkau telah menerima dariku; atau turunlah
hadits-hadits ini dan cocokkan turunan itu dengan asalnya, kemudian
riwayatkanlah dengan mengatakan bahwa engkau telah menerimanya dariku” ija>zah semacam ini disebut: “munawalah” dan
inilah yang tertinggi tingkatannya.
2. Perawi tersebut menulis kepada muridnya sebagai berikut: “kepada
Fulan ibnu Fulan; aku telah memberikan izin kepadamu untuk meriwayatkan apa-apa
yang didengar oleh si Fulan dariku, atau apa-apa yang terkandung dalam bagian
anu”. Izin semacam ini hampir serupa dengan “munawalah” tersebut di atas kalau
tulisannya dapat dipastikan.
3. Perawi berkata kepada muridnya: “aku telah memberikan izin
bagimu untuk meriwayatkan hadits-hadits shahih yang ada padamu yang
benar-benar kau peroleh dariku”. Ini lebih rendah tingkatannya daripada ija>zah yang dituliskan dengan menentukan
apa yang diizinkan itu.
Ija>zah tertua yang
dapat diketahui_menurut syaikh Agha Buzurk, _ialah ija>zah yang diberikan pada tahun 313 H.
Oleh Muhammad Ibnu Muhammad Ibnul As’ats, kepada Harun Ibnu Musa al-‘Ukbari
untuk meriwayatkan dari gurunya itu tentang materi-materi yang disebutkan di
dalam suratnya.
Syarat-syarat sahnya ija>zah
itu
adalah:
1. Bahwa cabang hendaklah sesuai dengan pokok, sehingga seakan-akan
cabang itu adalah pokok.
2. Bahwa orang yang memberikan ijaz>ah haruslah betul-betul menguasai ‘ilmu yang diijazahkannya itu, lagi
pula dapat dipercaya tentang agamanya dan riwayat-riwayatnya, dan terkenal pula
dengan ‘ilmu pengetahuannya.
3. Bahwa orang yang menerima ija>zah haruslah termasuk kalangan ahli ‘ilmu pengetahuan (sarjana), dan
memiliki sifat-sifat seorang sebagai seorang sarjana, sehingga dengan demikian
‘ilmu tersebut diletakkan pada tempatnya yang wajar.[39]
Penutup
Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru/pendidik biasa
disebut sebagai usta>dz, mu’allim,
murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.Usta>dz
biasa
digunakan untuk memanggil seorang professor. Ini mengandung makna bahwa
seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban
tugasnya. Mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama,
yu’allimu, yang biasa diterjemahkan “mengajar” atau “mengajarkan” Kata murabbi
berasal dari kata dasar “rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb
al-‘Alamin dan Rabb al-Nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan
memelihara alam seisinya termasuk manusia. Mursyid biasa digunakan
untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Dengan demikian, seorang mursyid
(guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak
atau kepribadiannya kepada peserta didiknya. Mudarris berasal dari kata
“darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatan” yang berarti terhapus,
hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Mua’addib
berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau
kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin.
Ija>zah adalah suatu
istilah yang menunjukkan adanya izin atau hak mengajar yang diberikan seorang syaikh
kepada seseorang (muridnya) untuk mengajarkan suatu kitab yang dikarangnya.
Tiga periode sejarah, dari Abad Pertengahan hingga masa modern, dengan tiga
istilah: (1) pada masa Islam klasik istilah Arabnya adalah ija>zah al-Tadris, (2) pada masa
Abad Pertengahan istilahnya adalah licentia docendi, dan (3) pada
masa modern istilahnya doktor.
Ija>zah dianugerahkan
melalui dua cara yaitu secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi, jika ditinjau
dari sudut sejarahnya, penganugerahan ija>zah secara lisan lebih dipraktikkan dibandingkan
secara tulisan.
Syarat-syarat sahnya ija>zah
itu
adalah: 1) Bahwa cabang hendaklah sesuai dengan pokok, sehingga seakan-akan
cabang itu adalah pokok. 2) Bahwa orang yang memberikan ija>zah haruslah betul-betul menguasai ‘ilmu
yang diijazahkannya itu, lagi pula dapat dipercaya tentang agamanya dan
riwayat-riwayatnya, dan terkenal pula dengan ‘ilmu pengetahuannya. 3) Bahwa
orang yang menerima ija>zah haruslah
termasuk kalangan ahli ‘ilmu pengetahuan (sarjana), dan memiliki sifat-sifat
seorang sebagai seorang sarjana, sehingga dengan demikian ‘ilmu tersebut
diletakkan pada tempatnya yang wajar.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan
Pemikiran Tokoh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kosim, Mohammad. 2012. Pendidikan Guru Agama di Indonesia:
Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011. Yogyakarta: Pustaka Nusantara.
Kosim, Mohammad. 2013. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya:
Pena Salsabila.
Makdisi, George. 1990. The Rise of Humanism in Classical Islam
and the Christian West: with Special Reference to School. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Makdisi, George. 1970. “Madrasa and University in the Middle
Ages”, Studia Islamica, 32.
Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of
Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Muhaimin. 2012. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam:
di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pres.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhaimin. 2013. Rekonstruksi Pendidikan Islam: dari Paradigma
Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga strategi Pembelajaran. Jakarta:
Rajawali Pres.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif.
Nakosteen, Mehdi. 1850. History of Islamic Origins of Western
Education: with an Introduction to Medieval Muslim Education. Colorado:
University of Colorado Press.
Nata, Abuddin. 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu
Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pres.
Nizar, Samsul & Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Siswanto. 2012. Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta:
SUKA-Press.
Sjalabi, Ahmad. 1973. Sedjarah Pendidikan Islam, Terj, Muchtar
Yahya & Sanusi Latief. Djakarta: Bulan Bintang.
Sulhan, Najib. 2011. Karakter Guru Masa Depan Sukses &
Bermartabat. Surabaya: PT JePe Press Media Utama.
Solichin, Mohammad Muchlis. 2013. Memotret Guru
Ideal-Profesional: Harapan, Peluang dan Tantangan di Tengah Arus Perubahan
Sosial. Surabaya: Pena Salsabila.
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yahya, Munip. 2013. Profesi Tenaga Kependidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister
PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan
[2]Abuddin Nata, Kapita Selekta
Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam (Jakarta:
Rajawali Pres, 2012), 299.
[3]Heri Gunawan, Pendidikan Islam:
Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
167.
[4]Siswanto, Pendidikan
Islam dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), 26.
[5]Mehdi Nakosteen, History of
Islamic Origins of Western Education: with an Introduction to Medieval Muslim
Education (Colorado: University of Colorado Press, 1850), 76.
[6]Murip Yahya, Profesi
Tenaga Kependidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 25.
[7]Mohammad Kosim,
Pendidikan Guru Agama di Indonesia: Pergumulan dan Problema Kebijakan
1948-2011 (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), 2.
[8]Ramayulis &
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009),
138.
[9]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
[10]Mohammad Kosim,
Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 63.
[11]Undang-Undang No 14 Tahun 2005
tentang Guru Dan Dosen, Pasal 1 ayat 1. Lihat juga Najib Sulhan, Karakter
Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat (Surabaya: PT JePe Press Media
Utama, 2011), 1-2.
[12]Lihat
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[13]Siswanto, Pendidikan..,
27.
[14]Terdapat perbedaan istilah mudarris
dalam pandangan Mehdi Nakosteen dengan George Makdisi. Istilah mudarris
menurut Nakosten adalah kedudukannya setingkat dengan asisten profesor (guru
yunior) sedangkan dalam perspektif makdisi, mudarris adalah kedudukannya
setingkat professor, terutama profesor dalam bidang hukum.
[15]Mehdi Nakosteen, History.., 76.
[16]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta:
Rajawali Pres, 2012), 44.
[17]Muhaimin, Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), 44.
[18]Heri.., Pendidikan..,
163.
[19]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam: dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga
strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), 112.
[20]Muhaimin, Pengembangan..,
45.
[21]Siswanto, Pendidikan..,
28.
[22]Ramayulis.., Filsafat..,
139.
[23]Mohammad Muchlis Solichin, Memotret
Guru Ideal-Profesional: Harapan, Peluang dan Tantangan di Tengah Arus Perubahan
Sosial (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 3.
[24]Muhaimin, Pengembangan..,
47-49.
[25]Ibid.
[26]Muhaimin, Rekontruksi..,
112.
[27]Siswanto, Pendidikan..,
29.
[28]Muhaimin, Pengembangan..,
49.
[29]Departemen.., Kamus..,
320.
[30]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 223.
[31]George Makdisi, the Rise of
Humanism in Classical Islam and the Christian West: with Special Reference to
School (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 26-27.
[32]Ahmad Sjalabi, Sedjarah
Pendidikan Islam, Terj, Muchtar Yahya & Sanusi Latief (Djakarta: Bulan
Bintang, 1973), 260.
[33]George Makdisi,
“Madrasa and University in the Middle Ages”, Studia Islamica, 32
(1970), 258.
[34]George Makdisi, the Rise of
Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1981), 140.
[35]Menurut Sjalabi di dalam bukunya,
kata “sama” (mendengar) adalah suatu istilah yang biasa dipakai untuk ijazah-ijazah
yang ada sampai kepada kita di zaman sekarang beberapa contohnya, yang
diberikan setelah terwujudnya hubungan antara guru dengan murid, yang berarti
simurid telah “mendengar” dari gurunya itu, dank arena itu ia diberi “sama”,
yang berarti bahwa guru tersebut memberikan izin kepada simurid itu untuk
meriwayatkan dari padanya semua yang telah diriwayatkannya kepada murid itu. Ijazah
adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya izin yang diberikan tanpa
memberikan pelajaran terlebih dahulu kepada orang yang diberi ijazah itu.
Ijazah itu diberikan oleh seorang syaikh kepada seseorang, yang
berarti bahwa syaikh tersebut memberikan izin kepada orang itu untuk
meriwayatkan hadits-hadits tertentu yang diriwayatkan syaikh tersebut
atau merupakan izin untuk mengajarkan suatu kitab yang telah dikarangnya.
Sedangkan sama’ itu telah
diakui oleh semua orang karena si murid mendengar langsung dari gurunya
sehingga ia diberi “sama’”. Berbeda dengan ijazah yang diberikan
tanpa pelajaran terlebih dahulu. Ijazah semacam ini masih menimbulkan
perbedaan pendapat antara para ulama. Ada orang yang meriwayatkan bahwa Imam
as-Safi’i tidak membenarkan orang meriwayatkan ilmu apabila orang itu hanya
mendapatkan ijazah tanpa mendengar (sama’) ilmu tersebut secara langsung
dari gurunya. Tetapi Abul ‘abbas al-Walid Ibn Bakr telah menolak riwayat
tersebut di atas itu di dalam bukunya yang berjudul al-Widjazah fi Shihhatil
Qauli bi Ahkamil Idjazah, 1) mengatakan orang yang meriwayatkan pendapat
tersebut dari Imam as-Safi’i telah membuat suatu kekeliruan. 2) ijazah semacam
ini menunjukkan taraf ilmiah dari orang yang diberi ijazah tersebut,
sebagaimana hal itu juga ditunjukkan oleh “sama”, sebab para syaikh tidak
bersedia memberikan ijazah secam ini kecuali kepada orang yang telah
memiliki pengetahuan yang memungkinkannya untuk mengajarkan dengan baik buku
yang telah diizinkan kepadanya itu, atau untuk meriwayatkan hadits-hadits yang
telah diizinkan kepadanya untuk meriwayatkannya. Sjalabi.., Sedjarah..,
260-261.
[36]Ibid, 141.
[37]George Makdisi,
the Rise Humanism.., 26.
[38]George Makdisi,
the Rise of Humanism.., 26-28.
[39]Sjalabi, Sedjarah..,
261-262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar