Jumat, 03 Juli 2015

Article Problematika penerapan pendidikan karakter

PROBLEMATIKA PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
Solehan Arif[1]

Abstrak: Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill dan menghasilkan lulusan yang berprestasi dalam bidang akademis harus mulai dibenahi. Sekarang, pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill interaksi sosial. Sebab, ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa yang mampu bersaing dan beretika dengan pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Selain itu, kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi juga keterampilan mengelola diri dan orang lain soft skill. Faktor lainnya yang menjadikan pendidikan karakter sangat penting untuk dipraktikkan adalah adanya problem akut yang menimpa bangsa ini. Karakter generasi muda sudah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan, Moralitas bangsa ini sudah lepas dari norma, etika agama dan budaya luhur. Seks bebas menjadi fenomena tanpa bisa dibendung sedikit pun. Kaum pelajar masuk dalam budaya negatif destruktif ini.

Kata kunci: pendidikan, karakter, implementasi, problematika.

Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 memiliki kondisi yang unik dilihat dari perkembangannya sampai saat ini. Kurang lebih sudah 65 tahun rakyat Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara secara merdeka yang diakui oleh negara-negara lain di dunia, keunikan ini tidak saja dilihat dari keberagaman komponen dan kekayaan yang dimiliki bangsa ini, tetapi juga dilihat dari kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini. Komponen bangsa Indonesia terdiri dari beragam konteks sosial dan budaya yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di kategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan yang berada dilintasan khatulistiwa, tanah yang subur, air yang melimpah, udara yang segar, kekayaan sumber energi dan mineral yang melimpah didalam tanah dan laut, semuanya memberikan keunikan terhadap bangsa ini.[2]
Semenjak runtuhnya orde baru pada 1998, sepertinya tidak banyak kemajuan yang kita capai. Dunia pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik secara umum tetap sibuk dengan persoalan internal yang tidak mudah diurai. Energi lebih banyak dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan demi persoalan dan bukannya untuk membangun strategi dan aksi kemajuan.
Demokrasi yang dahulunya menjadi harapan ke arah perbaikan kehidupan masyarakat, dalam realitasnya justru menghadirkan aneka anomali. Demokrasitelah dibajak” oleh para aktor dan politisi sebagai media untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kita memang tidak bisa menutup mata dan harus objektif bahwa pada aspek ini sesungguhnya juga terdapat banyak kemajuan. Tetapi, secara umum kondisinya belum sesuai dengan harapan.
Kondisi perekonomian juga tidak terlalu banyak kemajuan yang berarti. Pemerintah mengklaim telah mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, membuka jutaan lapangan kerja baru dan memberikan banyak kemajuan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, bukan berarti kemajuan tersebut telah mengubah kehidupan ekonomi masyarakat secara total. Wajah kemiskinan masih terdapat dimana-mana. Sulitnya kehidupan masyarakat kecil begitu mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dunia pendidikan juga demikian adanya. Memang terdapat berbagai prestasi dan kemajuan yang layak diapresiasi. Akan tetapi, secara keseluruhan dunia pendidikan Indonesia belum bisa memberikan bukti yang meyakinkan dalam peningkatan kualitas masyarakat Indonesia. Salah satu indikatornya adalah peringkat perguruan tinggi Indonesia yang masih berada pada posisi yang belum menggembirakan di antara perguruan tinggi yang ada didunia. Hal ini diperkuat banyaknya persoalan klasik yang melanda dunia pendidikan, semacam korupsi, mahalnya kejujuran, tawuran pelajar yang kian menggila dan sebagainya. [3]
Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum berbicara mengenai apa itu pendidikan karakter, terlebih dahulu akan dilihat definisi dari pendidikan itu sendiri. Menurut W. J. S. Poerwadarminta sebagaimana yang dikutip oleh Anas Salahudin, menjelaskan pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda, berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan, yaitu pendewasaan diri melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan segala potensinya sehingga mencapai kualitas diri yang lebih baik.[4] Pendidikan adalah usaha yang bersifat mendidik, membimbing, membina, memengaruhi, dan mengarahkan dengan seperangkat ilmu pengetahuan.[5] Pendidikan adalah segala upaya, latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai mahluk yang berbudi luhur.[6]
Karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “dipahat”. Secara harfiyah artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama dan reputasi.[7] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988: 389) karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain; tabiat; watak.
Adapun pengertian dari karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.[8]
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.[9] Sedangkan pendapat lain menyatakan pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.[10]
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya.[11]

Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Tujuan jangka panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus menerus (on going formation). Tujuan jangka panjang ini merupakan pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan dengan kenyataan yang ideal, melalui proses refleksi dan interaksi secara terus menerus antara idealisme, pilihan sarana, dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara objektif.
Pendidikan karakter juga bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan disekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud perilaku sehari-hari.[12]

Pentingnya Pendidikan Karakter
Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang dirasakan mendesak. Gambaran situasi masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan di Indonesia menjadi motivasi pokok pengarusutamaan (mainstreaming) implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter di Indonesia dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran antar pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama dikota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying), kecendrungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena seporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lainnya. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui kantin kejujuran disejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha kantin kejujuran yang bangkrut karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak. Sementara itu informasi dari Badan Narkotika Nasional menyatakan ada 3,6 juta pecandu narkoba di Indonesia.[13]
Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah sedemikian akut menjangkiti bangsa ini di semua lapisan masyarakat. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini untuk membangun pondasi kebangsaan yang kokoh.
Menurut Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, melalui kementrian pendidikan nasional, pemerintah sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal ujian dan berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah dan penakut, serta perilakunya tidak terpuji. Inilah yang mendesak lahirnya pendidikan karakter. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Diantaranya, hasil penelitian di Harvard university, Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan tehnis (hard skill), tetapi oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill, dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan, orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung oleh kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.[14]

Sketsa Problem Dunia Pendidikan
Mengapa harus memulai dari topik pendidikan saat membahas character building? Tentu banyak argumentasi yang dapat dikemukakan, salah satu yang dapat diajukan adalah karena dunia pendidikan merupakan media yang paling sistematis dan efektif untuk memperkuat character building. Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya menjadi sarana yang efektif dalam penguatan character building. Selain itu, character building juga dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan.
Tampaknya masih banyak agenda perbaikan sistem pendidikan kita dalam kaitannya dengan character building. Ada begitu banyak persoalan yang mencerminkan karakter positif dalam dunia pendidikan. Kita bisa menyimak pada kasus tawuran pelajar yang semakin hari semakin mengerikan, koropsi dikalangan birokrasi pendidikan, semakin banyak guru yang tidak bisa menjadi teladan hingga mewabahnya demoralisasi pelajar.[15]
Implikasi dari rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya mutu lulusan dihampir semua jenjang pendidikan formal. Bagaimana kita mengetahui kalau mutu lulusan kita rendah? Tentu banyak indikator yang dapat digunakan sebagai parameter. Salah satunya adalah Ujian Nasional (UNAS). UNAS selalu menjadi momok bersama; tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru, kepala sekolah, birokrat pendidikan, hinga kepala daerah. Tidak lulus UNAS tidak hanya “kiamat” bagi siswa, tetapi juga bagi semua pihak terkait. Berbagai langkah pun ditempuh agar semua siswa lulus UNAS. Jika sebagian siswa lulus UNAS, sesungguhnya itu belum mewakili mutu siswa secara keseluruhan dan mutu yang sesungguhnya. UNAS hanya menguji beberapa mata pelajaran saja. Sementara kualitas seseorang lulusan dipengaruhi oleh beragam faktor. Apalagi jika UNAS dilakukan dengan kejujuran yang masih dipertanyakan, hasilnya semakin jauh untuk dikaitkan dengan mutu.
Selain itu, lemahnya mutu pendidikan kita juga dapat dicermati dari rendahnya tingkat keterkaitan dan kesesuain antara lulusan yang ada dengan kebutuhan akan tenaga kerja dalam masyarakat. Jumlah pengangguran semakin membengkak dari tahun ketahun. Tidak hanya masyarakat yang rendah pendidikannya, tetapi mereka yang berpendidikan tinggi pun juga semakin banyak yang menganggur. Data yang ada menyebutkan bahwa jumlah pengangguran mencapai sekitar 18%. Tetapi, angka ini pun banyak yang mempertanyakan karena sangat mungkin jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak. Sekarang ini bukan hal aneh jika seorang magister, atau bahkan doktor, kebingungan mencari kerja. Hal ini menunjukkan bahwa mutu mereka yang kurang tinggi. Kalau bermutu, mereka akan laku, bahkan dicari karena kompetensi yang mereka miliki, bukan justru melamar kerja kesana kemari.[16]
Menurut pendapat A. Qodry A. Azizy sebagaimana yang dikutip oleh Ngainun Naim. Menurut beliau, ada enam faktor yang menjadi titik lemah sistem pendidikan nasional. Keenam faktor tersebut, antara lain pertama, sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Ketiga, sistem birokrasi yang kaku dan tidak jarang sebagai kendaraan politik penguasa. Keempat, terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai alat birokrasi. Kelima, pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, tetapi hanya lebih berorientasi pada sisi kognitif peserta didik. Keenam, anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta berorientasi pada keinginan untuk tahu.
Selain itu, ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil sebagaimana yang diharapkan. Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar pada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan akan menghasilkan out put yang bermutu pula. Ternyata strategi yang diperkenalkan sebagai teori education production function ini tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Kedua, pengelolaan yang ada selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi ditingkat pusat. Implikasinya, kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan di bawah tidak dapat dipikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi yang ada dipusat.
Merosotnya mutu pendidikan berkaitan dengan banyak faktor. Antara satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab adalah mutu guru, kurikulum yang kurang bagus, manajemen yang kurang professional, juga kurangnya minat dan bakat anak. Dari sekian faktor tersebut, yang paling mendapat sorotan langsung adalah guru. Hal tersebut meskipun tidak sepenuhnya benar, juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah karena guru memang memiliki peranan yang besar didalam mengantarkan anak didiknya menjadi manusia yang berguna di masa depan.[17]


Penerapan Pendidikan Karakter
Dalam penerapan pendidikan karakter diperlukan strategi, metodologi, dan langkah-langkah pembentukan karakter agar tujuan pendidikan karakter bisa tercapai dengan baik.
1) Strategi Pendidikan Karakter
Mengubah sebuah paradigma membutuhkan strategi. Apalagi paradigma baru dianggap kontroversi terhadap budaya lama yang sudah terpola. Selama ini pendidikan masih berorientasi pada hasil, bukan proses, meskipun berkali-kali pemerintah menyampaikan betapa pentingnya sebuah proses untuk mencapai hasil. Namun, seolah-olah itu angin lalu. Sekolah dan orang tua lebih mencari jalan pintas yang diangggap lebih aman dengan fokus pada ujian nasional. Sementara tidak sedikit yang mengabaikan, bahkan “mengorbankan karakter” demi menggapai hasil ujian nasional.
Agar pelaksanaan pembangunan karakter bangsa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan maka ada strategi yang dilaksanakan.
a) Sosialisasi
Diperlukan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan karakter kepada semua pemangku kepentingan. Mulai dari Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, yayasan, orang tua, dan siswa. Sosialisasi ini membutuhkan waktu yang cukup. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Ada cara-cara yang bisa memahamkan kepada semua pemangku kepentingan tentang sebuah kebutuhan. Itulah yang dinamakan pendidikan karakter.
Program pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terus disosialisasikan dengan melibatkan 16 kementrian terkait seperti Kementrian Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnya pemerintah dalam program pendidikan karakter ini.
b) Pendidikan
Pembangunan karakter bangsa dikembangkan dalam dunia pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Mungkin ada yang bertanya, mengapa harus melalui pendidikan? Berdasarkan data empiris, begitu juga dijumpai dalam berbagai literature dikatakan bahwa lembaga pendidikan atau sekolah memegang peranan penting dalam membangun sebuah bangsa.
c) Metode
Banyak metode yang dilakukan pemerintah dalam menyukseskan pendidikan karakter. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan berbagai pelatihan, workshop, seminar, dan lain-lain. Tentunya mendatangkan tenaga ahli untuk memberikan penjelasan tentang pendidikan karakter. Selanjutnya dilaksanakan dan dikawal dengan baik.
Pelatihan, workshop, seminar, dan lain-lain seyogyanya diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan. Dimulai dari pengambil kebijakan tertinggi yang diikuti oleh jajaran di bawahnya. Selanjutnya yang paling professional di lingkungan sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, dan orang tua.
Pendidikan karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua juga memiliki peran yang sangat besar dan strategis dalam pembentukan karakter anak. Untuk itu, orang tua harus dilibatkan dalam pembentukan karakter. Dengan demikian terjadi sinergi antara sekolah dengan rumah dalam pembentukan karakter anak.
d) Pemberdayaan
Semua pemangku kepentingan diberdayakan dalam rangka bersama-sama mewujudkan bangsa yang berkarakter. Kebijakan pendidikan karakter harus bisa menyentuh semua lapisan masyarakat. Pemerintah memilki kebijakan untuk mengatur mekanisme pendidikan karakter. Sekolah melanjutkan kebijakan yang menjadi keputusan bersama. Begitu juga orang tua, memiliki greget dan kepedulian untuk mengawal karakter anak-anak di rumah.
e) Pembudayaan
Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter perlu ada pembudayaan nilai-nilai kebaikan. Pembudayaan ini dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Dalam tataran kebijakan pemerintah, ada mekanisme dan tata aturan. Memberi ruang gerak dalam mengatur strategi pendidikan karakter di sekolah.
Pemangku kepentingan yang ada disekolah segera merespon kebijakan dengan langkah konkret. Sekolah membuat tata aturan yang masuk dalam bingkai budaya sekolah. Budaya ini dilaksanakan, dikawal, dan di evaluasi secara berkelanjutan. Seluruh warga sekolah, tanpa kecuali taat dan patuh dalam mengawal budaya sekolah yang sudah direncanakan tersebut.
Pemangku kepentingan yang di rumah, dalam hal ini orang tua, mau bersinergi dengan sekolah. Apa yang menjadi kebijakan dan tata aturan yang telah dijadikan budaya sekolah hendaknya didukung. Begitu juga dalam pola keseharian di rumah, ada tata aturan yang dibuat oleh rumah. Orang tua bisa menjalin komunikasi dengan sekolah dalam hal ini.
f) Kerjasama
Untuk melaksanakan pendidikan karakter tidak bisa berjalan secara parsial. Semua pemangku kepentingan saling bersinergi. Kegiatan baik yang telah diterapkan di sekolah, diikuti pula di rumah. Begitu juga dengan masyarakat, bersinergi antara sekolah, rumah, dan masyarakat, pembentukan karakter anak akan mengalami banyak hambatan.[18]
2) Metodologi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter jelas membutuhkan metodologi yang efektif, aplikatif, dan produktif agar tujuannya bisa tercapai dengan baik. Menurut Doni Koesoema A. sebagaimana mana yang dikutip oleh Najib Sulhan, metodologi pendidikan karakter adalah sebagai berikut.
a) Pengajaran
Mengajarkan pendidikan karakter dalam rangka memperkenalkan pengetahuan teoritis tentang konsep-konsep nilai. Pemahaman konsep ini mesti menjadi bagian dari pemahaman pendidikan karakter itu sendiri. Sebab, anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami oleh para guru dan pendidik dalam setiap perjumpaan mereka.
b) Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan karakter ada pada pundak guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekedar melalui sesuatu yang dikatakan melalui pembelajaran di kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam kehidupannya yang nyata di luar kelas. Karakter guru (meskipun tidak selalu) menentukan warna kepribadian anak didik.
c) Menentukan Prioritas
Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin diterapkan di lingkungan mereka. Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dalam realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti menentukan tuntutan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian dari kinerja kelembagaan mereka.
d) Praksis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan mesti mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai macam unsur yang ada didalam lembaga pendidikan itu sendiri.
e) Refleksi
Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Sebab, sebagaimana dikatakan Socrates, “Hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati”. Tanpa ada usaha untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah terdapat kemajuan. Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi. Dengan kemampuan sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik. Jadi, setelah tindakan dan praksis pendidikan karakter itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman dan refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Metodologi pendidikan karakter tersebut menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya guru yang berinteraksi langsung kepada anak didik. Tentu 5 hal ini bukan satu-satunya, sehingga masing-masing tertantang untuk menyuguhkan alternatif pemikiran dan gagasan untuk memperkaya metodologi pendidikan karakter yang sangat dibutuhkan bangsa ini di masa yang akan datang.[19]
3) Langkah-Langkah Pembentukan Karakter
a)  Memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
(1) Menanamkan nilai kebaikan pada anak (knowing the good)
Menanamkan konsep diri pada anak setiap memasuki materi pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji tentang karakter, maupun pemahaman tentang makna pada karakter yang ingin disampaikan.
(2 ) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
(3) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik
Agar anak mengembangkan karakter yang baik, maka ada penghargaan bagi anak yang membiasakan melakukan kebaikan. Begitu pula dengan anak melakukan pelanggaran, supaya diberikan hukuman yang mendidik.

(4) Melaksanakan perbuatan baik (acting the good)
Karakter yang sudah mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses pembelajaran selama disekolah. Selain itu, juga memantau perkembangan anak dalam praktik pembangunan karakter di rumah. Dalam hal ini, guru sebagai model. Guru akan dilihat oleh siswa. Apa yang dilakukan oleh guru, dianggap benar oleh siswa. Untuk itulah, guru harus mampu memberikan contoh positif.[20]
b)  Pesan Moral
Anak-anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk tidak lepas dari pesan orang dewasa. Ketika pesan itu masuk dalam memori dan dihayati, kemudian diaplikasi, maka akan membentuk sebuah karakter. Pesan ini bisa terucap bisa juga tertulis. Perlu diketahui pesan yang mudah divisualkan lebih mengena dan lebih mudah tersimpan dalam waktu yang cukup panjang.
(1) Pesan Terucap
Pesan yang terucap sering kali disampaikan oleh orang tua dan guru kepada anak. Pesan yang terucap bisa dalam bentuk nasihat, bisa juga dalam bentuk kata bijak, bahkan bisa dalam bentuk cerita. Sekali lagi, ketika pesan terucap itu bisa digambarkan, bisa divisualkan, maka lebih mengena dan bisa tersimpan dalam memori jangka panjang.
(2) Pesan Tertulis
Selain pesan terucap dari orang tua dan guru, bisa juga pesan itu dalam bentuk tulisan. Banyak sekolah yang memasang tulisan-tulisan bijak sebagai bentuk pesan moral kepada anak. Pesan tertulis yang dibaca secara berulang-ulang akan membentuk karakter mulia pada anak. Pesan tertulis juga bisa berupa buku cerita yang mengandung nilai moral.[21]


c) Pemantauan Secara Kontinyu
Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa hal yang selalu dipantau antara lain:
(1) Kedisiplinan masuk sekolah
(2) Kebiasaan saat makan dikantin
(3) Kebiasaan dikelas
(4) Kebiasaan dalam berbicara (sopan santun berbicara)
(5) Kebiasaan ketika di masjid
d) Penilaian Orang Tua
Orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membangun karakter anak. Waktu anak ada di rumah lebih banyak dibandingkan sekolah. Apalagi, sekolah merupakan lingkungan yang dikendalikan. Anak bisa saja hanya takut pada aturan yang dibuat. Sementara, rumah merupakan lingkungan sebenarnya yang dihadapi anak. Rumah adalah tempat pertama anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Untuk itulah, orang tua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan moral anak.[22]

Penutup
Pelaksanaan pendidikan karakter memiliki permasalahan tersendiri, yaitu adanya ketidaksinkronan antara konsep pendidikan karakter, yang bertujuan untuk mengembalikan budaya dan karakter bangsa yang semakin merosot dengan realita yang dihadapi. Pada saat di sekolah ditanamkan nilai-nilai karakter baik, tidak ditunjang dengan kondisi lingkungan yang mencontohkan nilai-nilai yang berseberangan.
Menghadapi kondisi Bangsa Indonesia yang mengalami krisis multidimensional akibat terkikisnya nilai-nilai karakter bangsa, dan kekhawatiran  lahirnya generasi yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, generasi yang berkepribadian luhur, menjalankan nilai-nilai agama dan pancasila, maka dibuatlah kebijakan dan konsep pendidikan budaya dan karakter bangsa untuk mengembalikan  karakter bangsa Indonesia yang religius dan pancasilais.
Pendidikan karakter sebagai reformasi pendidikan akan terwujud dengan adanya kerjasama mulai dari pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan, sekolah sebagai pelaksana pendidikan di lapangan yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum yang dipergunakan dan gurunya sebagai role model, orang tua sebagai pembentuk pertama karakter anak, dan masyarakat atau lingkungan yang mencerminkan penerapan budaya dan karakter bangsa dalam kehidupan sehari-hari.  Keberhasilan pendidikan karakter akan dirasakan manakala semua unsur menjalankan fungsi masing-masing dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran Nilai karakter. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Asmani, Jamal Ma’mur, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press, 2013.

Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama. Wawasan Pendidikan Karakter Dalam Islam. Jakarta: 2010.

Hidayatullah, Furqon. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pressindo, 2010.

Kesuma, Dharma dkk. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung:  Remaja Rosdakarya, 2012.

Naim, Ngainun. Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu & Pembentukan Karakter Bangsa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012.

Prabaswara, Brian. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Aprindo, 2010.

Saebani, Beni Ahmad dan Hendra akhdiyat. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Salahudin, Anas. Filsafat pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.

Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: SUKA-Press, 2012.

Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan Sukses dan Bermartabat. Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011.

Sulhan, Najib. Panduan praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah. Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011.

Sulhan, Najib. Pendidikan Berbasis Karakter Sinergi Antara Sekolah dan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak. Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011.




[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan
[2]Dharma Kesuma dkk, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 2012), 1.
[3]Ngainun Naim, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu & Pembentukan Karakter Bangsa (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 13-14.
[4]Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 18-19.
[5]Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 21-22.
[6]Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), 9
[7]Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), 14.
[8]Muchlas Samani, dkk, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 41.
[9]Dharma Kesuma, dkk, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 5.
[10]Ibid, 5.
[11]Hariyanto, Pendidikan Karakter, 44.
[12]Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah (Jogjakarta: Diva Press, 2013), 42-43.
[13]Tempo Interaktif, 27/8/2009
[14]Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, 47-48.
[15]Naim, Character building, 18.
[16]Ibid, 21-23.
[17]Ibid, 32.
[18]Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah (Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011), 15-20.
[19]Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, 67-70.
[20]Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak (Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011), 15-16.
[21]Sulhan, Pengembangan, 26-27.
[22]Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, 18-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar