PROBLEMATIKA PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
Solehan Arif[1]
Abstrak: Seiring dengan perkembangan zaman,
pendidikan yang hanya berbasiskan hard
skill dan menghasilkan lulusan yang berprestasi dalam bidang akademis harus
mulai dibenahi. Sekarang, pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill interaksi sosial. Sebab, ini
sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa yang mampu bersaing dan
beretika dengan pendidikan soft skill bertumpu
pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan
realitas kehidupan. Selain itu, kesuksesan seseorang tidak semata-mata
ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi juga keterampilan mengelola diri dan
orang lain soft skill. Faktor lainnya
yang menjadikan pendidikan karakter sangat penting untuk dipraktikkan adalah
adanya problem akut yang menimpa bangsa ini. Karakter generasi muda sudah
berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan, Moralitas bangsa ini sudah lepas
dari norma, etika agama dan budaya luhur. Seks bebas
menjadi fenomena tanpa bisa dibendung sedikit pun. Kaum pelajar masuk dalam
budaya negatif destruktif ini.
Kata kunci: pendidikan,
karakter, implementasi, problematika.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang telah mendeklarasikan
kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 memiliki kondisi yang unik dilihat dari
perkembangannya sampai saat ini. Kurang lebih sudah 65 tahun rakyat Indonesia menjalani
kehidupan berbangsa dan bernegara secara merdeka yang diakui oleh negara-negara
lain di dunia, keunikan ini tidak saja
dilihat dari keberagaman komponen dan kekayaan yang dimiliki bangsa ini, tetapi
juga dilihat dari kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini. Komponen
bangsa Indonesia terdiri dari beragam konteks sosial dan budaya yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia dapat di kategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan
yang berada dilintasan khatulistiwa, tanah yang subur, air yang melimpah, udara
yang segar, kekayaan sumber energi dan mineral yang melimpah didalam tanah dan
laut, semuanya memberikan keunikan terhadap bangsa ini.[2]
Semenjak runtuhnya orde baru pada 1998,
sepertinya tidak banyak kemajuan yang kita capai. Dunia pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik
secara umum tetap sibuk dengan persoalan internal yang tidak mudah diurai.
Energi lebih banyak dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan demi persoalan
dan bukannya untuk membangun strategi dan aksi kemajuan.
Demokrasi yang dahulunya menjadi
harapan ke arah perbaikan kehidupan masyarakat, dalam realitasnya justru
menghadirkan aneka anomali. Demokrasi “telah dibajak” oleh para aktor dan
politisi sebagai media untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kita memang tidak
bisa menutup mata dan harus objektif bahwa pada aspek ini sesungguhnya juga
terdapat banyak kemajuan. Tetapi, secara umum kondisinya belum sesuai dengan
harapan.
Kondisi perekonomian juga tidak
terlalu banyak kemajuan yang berarti. Pemerintah mengklaim telah mampu
menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, membuka jutaan lapangan kerja
baru dan memberikan banyak kemajuan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun
demikian, bukan berarti kemajuan tersebut telah mengubah kehidupan ekonomi
masyarakat secara total. Wajah kemiskinan masih terdapat dimana-mana. Sulitnya
kehidupan masyarakat kecil begitu mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Dunia pendidikan juga demikian
adanya. Memang terdapat berbagai prestasi dan kemajuan yang layak diapresiasi.
Akan tetapi, secara keseluruhan dunia pendidikan Indonesia belum bisa
memberikan bukti yang meyakinkan dalam peningkatan kualitas masyarakat
Indonesia. Salah satu indikatornya adalah peringkat perguruan tinggi Indonesia
yang masih berada pada posisi yang belum menggembirakan di antara perguruan tinggi yang ada
didunia. Hal ini diperkuat banyaknya persoalan klasik yang melanda dunia
pendidikan, semacam korupsi, mahalnya kejujuran, tawuran pelajar yang kian
menggila dan sebagainya. [3]
Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum berbicara mengenai apa itu pendidikan karakter, terlebih
dahulu akan dilihat definisi dari pendidikan itu sendiri. Menurut W. J. S.
Poerwadarminta sebagaimana yang dikutip oleh Anas Salahudin, menjelaskan
pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men,
menjadi mendidik, yaitu kata kerja
yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata
benda, berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan, yaitu pendewasaan diri melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan
adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi,
membina, membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan segala
potensinya sehingga mencapai kualitas diri yang lebih baik.[4] Pendidikan
adalah usaha yang bersifat mendidik, membimbing, membina, memengaruhi, dan
mengarahkan dengan seperangkat ilmu pengetahuan.[5] Pendidikan adalah segala upaya, latihan dan
sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia
baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan
bertanggung jawab sebagai mahluk yang berbudi luhur.[6]
Karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “dipahat”.
Secara harfiyah artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama
dan reputasi”.[7]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988: 389) karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain; tabiat; watak.
Adapun pengertian dari karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusannya.[8]
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah sebuah usaha
untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi yang positif kepada lingkungannya.[9]
Sedangkan pendapat lain menyatakan pendidikan karakter adalah sebuah proses
transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian
seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.[10]
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan
yang mengembangkan karakter yang mulia (good
character) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan
nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan
sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya.[11]
Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa
dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan
individu. Tujuan jangka panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada
tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang
diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih
lewat proses pembentukan diri secara terus menerus (on going formation). Tujuan jangka panjang ini merupakan pendekatan
dialektis yang semakin mendekatkan dengan kenyataan yang ideal, melalui proses
refleksi dan interaksi secara terus menerus antara idealisme, pilihan sarana,
dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara objektif.
Pendidikan karakter juga bertujuan
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan disekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud
perilaku sehari-hari.[12]
Pentingnya Pendidikan Karakter
Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang
dirasakan mendesak. Gambaran situasi masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan
di Indonesia menjadi motivasi pokok pengarusutamaan (mainstreaming)
implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter di Indonesia
dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran
antar pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama
dikota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying),
kecendrungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena seporter bonek,
penggunaan narkoba, dan lain-lainnya. Bahkan yang paling memprihatinkan,
keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui kantin kejujuran
disejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha kantin kejujuran yang
bangkrut karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak. Sementara itu
informasi dari Badan Narkotika Nasional menyatakan ada 3,6 juta pecandu narkoba
di Indonesia.[13]
Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak
mengingat demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah sedemikian akut
menjangkiti bangsa ini di semua lapisan masyarakat. Pendidikan karakter
diharapkan mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini untuk membangun pondasi
kebangsaan yang kokoh.
Menurut Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, melalui kementrian
pendidikan nasional, pemerintah sudah mencanangkan penerapan pendidikan
karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari Sekolah Dasar hingga perguruan
tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di
Indonesia dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan proses pendidikan
ternyata belum berhasil membangun telah gagal membangun karakter. Banyak
lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal ujian dan berotak
cerdas, tetapi mentalnya lemah dan penakut, serta perilakunya tidak terpuji.
Inilah yang mendesak lahirnya pendidikan karakter. Banyak hasil penelitian yang
membuktikan bahwa karakter dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang.
Diantaranya, hasil penelitian di Harvard
university, Amerika
Serikat, yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan tehnis (hard skill), tetapi oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill, dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan, orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung oleh
kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.[14]
Sketsa Problem Dunia Pendidikan
Mengapa harus memulai dari topik pendidikan saat membahas character building? Tentu banyak
argumentasi yang dapat dikemukakan, salah satu yang dapat diajukan adalah
karena dunia pendidikan merupakan media yang paling sistematis dan efektif
untuk memperkuat character building.
Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya menjadi sarana yang efektif dalam
penguatan character building. Selain
itu, character building
juga dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan.
Tampaknya masih banyak agenda perbaikan sistem pendidikan kita
dalam kaitannya dengan character building.
Ada begitu banyak persoalan yang mencerminkan karakter positif dalam dunia
pendidikan. Kita bisa menyimak pada kasus tawuran pelajar yang semakin hari
semakin mengerikan, koropsi dikalangan birokrasi pendidikan, semakin banyak
guru yang tidak bisa menjadi teladan hingga mewabahnya demoralisasi pelajar.[15]
Implikasi dari rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya
mutu lulusan dihampir semua jenjang pendidikan formal. Bagaimana kita
mengetahui kalau mutu lulusan kita rendah? Tentu banyak indikator yang dapat
digunakan sebagai parameter. Salah satunya adalah Ujian Nasional (UNAS). UNAS
selalu menjadi momok bersama; tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru,
kepala sekolah, birokrat pendidikan, hinga kepala daerah. Tidak lulus UNAS
tidak hanya “kiamat” bagi siswa, tetapi juga bagi semua pihak terkait. Berbagai
langkah pun ditempuh agar semua siswa lulus UNAS. Jika sebagian siswa lulus
UNAS, sesungguhnya itu belum mewakili mutu siswa secara keseluruhan dan mutu
yang sesungguhnya. UNAS hanya menguji beberapa mata pelajaran saja. Sementara
kualitas seseorang lulusan dipengaruhi oleh beragam faktor. Apalagi jika UNAS
dilakukan dengan kejujuran yang masih dipertanyakan, hasilnya semakin jauh
untuk dikaitkan dengan mutu.
Selain itu, lemahnya mutu pendidikan kita juga dapat dicermati dari
rendahnya tingkat keterkaitan dan kesesuain antara lulusan yang ada dengan
kebutuhan akan tenaga kerja dalam masyarakat. Jumlah pengangguran semakin
membengkak dari tahun ketahun. Tidak hanya masyarakat yang rendah
pendidikannya, tetapi mereka yang berpendidikan tinggi pun juga semakin banyak
yang menganggur. Data yang ada menyebutkan bahwa jumlah pengangguran mencapai
sekitar 18%. Tetapi, angka ini pun banyak yang mempertanyakan karena sangat
mungkin jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak. Sekarang ini bukan hal aneh jika
seorang magister, atau bahkan doktor, kebingungan mencari kerja. Hal ini
menunjukkan bahwa mutu mereka yang kurang tinggi. Kalau bermutu, mereka akan
laku, bahkan dicari karena kompetensi yang mereka miliki, bukan justru melamar
kerja kesana kemari.[16]
Menurut pendapat A. Qodry A. Azizy sebagaimana yang dikutip oleh
Ngainun Naim. Menurut beliau, ada enam faktor yang menjadi titik lemah sistem
pendidikan nasional. Keenam faktor tersebut, antara lain pertama, sistem
pendidikan yang kaku dan sentralistik. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak
pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Ketiga, sistem birokrasi yang kaku dan tidak jarang sebagai
kendaraan politik penguasa. Keempat, terbelenggunya
guru dan dijadikannya guru sebagai alat birokrasi. Kelima, pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan
kepribadian, tetapi hanya lebih berorientasi pada sisi kognitif peserta didik. Keenam, anak tidak pernah dididik atau
dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta berorientasi pada keinginan untuk
tahu.
Selain itu, ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya
perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil sebagaimana yang
diharapkan. Pertama, strategi
pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar pada asumsi
bahwa bilamana semua input pendidikan
telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan akan menghasilkan out put yang bermutu pula. Ternyata
strategi yang diperkenalkan sebagai teori education
production function ini tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Kedua, pengelolaan yang ada selama ini
lebih bersifat macro-oriented, diatur
oleh jajaran birokrasi ditingkat pusat. Implikasinya, kompleksitas cakupan
permasalahan pendidikan di bawah tidak dapat dipikirkan secara utuh dan akurat
oleh birokrasi yang ada dipusat.
Merosotnya mutu pendidikan berkaitan dengan banyak faktor. Antara
satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab adalah mutu guru, kurikulum yang kurang bagus, manajemen yang
kurang professional, juga kurangnya minat dan bakat anak. Dari sekian faktor
tersebut, yang paling mendapat sorotan langsung adalah guru. Hal tersebut
meskipun tidak sepenuhnya benar, juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah
karena guru memang memiliki peranan yang besar didalam mengantarkan anak
didiknya menjadi manusia yang berguna di masa depan.[17]
Penerapan Pendidikan Karakter
Dalam penerapan pendidikan karakter diperlukan strategi,
metodologi, dan langkah-langkah pembentukan karakter agar tujuan pendidikan
karakter bisa tercapai dengan baik.
1) Strategi Pendidikan Karakter
Mengubah sebuah
paradigma membutuhkan strategi. Apalagi paradigma baru
dianggap kontroversi terhadap budaya lama yang sudah terpola. Selama ini
pendidikan masih berorientasi pada hasil, bukan proses, meskipun berkali-kali
pemerintah menyampaikan betapa pentingnya sebuah proses untuk mencapai hasil.
Namun, seolah-olah itu angin lalu. Sekolah dan orang tua lebih mencari jalan
pintas yang diangggap lebih aman dengan fokus pada ujian nasional. Sementara
tidak sedikit yang mengabaikan, bahkan “mengorbankan karakter” demi menggapai
hasil ujian nasional.
Agar pelaksanaan
pembangunan karakter bangsa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diharapkan maka ada strategi yang dilaksanakan.
a) Sosialisasi
Diperlukan
sosialisasi tentang pentingnya pendidikan karakter kepada semua pemangku
kepentingan. Mulai dari Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, yayasan, orang
tua, dan siswa. Sosialisasi ini membutuhkan waktu yang cukup. Tidak seperti
membalikkan telapak tangan. Ada cara-cara yang bisa memahamkan kepada semua
pemangku kepentingan tentang sebuah kebutuhan. Itulah yang dinamakan pendidikan
karakter.
Program
pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) terus disosialisasikan dengan melibatkan 16 kementrian terkait
seperti Kementrian Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dan yang lainnya.
Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnya pemerintah dalam program pendidikan
karakter ini.
b) Pendidikan
Pembangunan
karakter bangsa dikembangkan dalam dunia pendidikan, baik formal, informal,
maupun non formal. Mungkin ada yang bertanya, mengapa harus melalui pendidikan? Berdasarkan
data empiris, begitu juga dijumpai dalam berbagai literature dikatakan bahwa
lembaga pendidikan atau sekolah memegang peranan penting dalam membangun sebuah
bangsa.
c) Metode
Banyak metode
yang dilakukan pemerintah dalam menyukseskan pendidikan karakter. Metode yang
digunakan adalah dengan melakukan berbagai pelatihan, workshop, seminar, dan
lain-lain. Tentunya mendatangkan tenaga ahli untuk memberikan penjelasan
tentang pendidikan karakter. Selanjutnya dilaksanakan dan dikawal dengan baik.
Pelatihan, workshop, seminar, dan lain-lain
seyogyanya diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan. Dimulai dari pengambil
kebijakan tertinggi yang diikuti oleh jajaran di bawahnya.
Selanjutnya yang paling professional di lingkungan sekolah, mulai dari kepala
sekolah, guru, dan orang tua.
Pendidikan
karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua juga memiliki
peran yang sangat besar dan strategis dalam pembentukan karakter anak. Untuk
itu, orang tua harus dilibatkan dalam pembentukan karakter. Dengan demikian
terjadi sinergi antara sekolah dengan rumah dalam pembentukan karakter anak.
d) Pemberdayaan
Semua pemangku
kepentingan diberdayakan dalam rangka bersama-sama mewujudkan bangsa yang
berkarakter. Kebijakan pendidikan karakter harus bisa menyentuh semua lapisan
masyarakat. Pemerintah memilki kebijakan untuk mengatur mekanisme pendidikan
karakter. Sekolah melanjutkan kebijakan yang menjadi keputusan bersama. Begitu
juga orang tua, memiliki greget dan
kepedulian untuk mengawal karakter anak-anak di rumah.
e) Pembudayaan
Dalam
pelaksanaannya, pendidikan karakter perlu ada pembudayaan nilai-nilai kebaikan.
Pembudayaan ini dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Dalam tataran
kebijakan pemerintah, ada mekanisme dan tata aturan. Memberi ruang gerak dalam
mengatur strategi pendidikan karakter di sekolah.
Pemangku
kepentingan yang ada disekolah segera merespon kebijakan dengan langkah
konkret. Sekolah membuat tata aturan yang masuk dalam bingkai budaya sekolah.
Budaya ini dilaksanakan, dikawal, dan di evaluasi secara berkelanjutan. Seluruh
warga sekolah, tanpa kecuali taat dan patuh dalam mengawal budaya sekolah yang
sudah direncanakan tersebut.
Pemangku
kepentingan yang di rumah, dalam hal ini orang tua, mau bersinergi dengan
sekolah. Apa yang menjadi kebijakan dan tata aturan yang telah dijadikan budaya
sekolah hendaknya didukung. Begitu juga dalam pola keseharian di rumah, ada
tata aturan yang dibuat oleh rumah. Orang tua bisa menjalin komunikasi dengan
sekolah dalam hal ini.
f) Kerjasama
Untuk
melaksanakan pendidikan karakter tidak bisa berjalan secara parsial. Semua
pemangku kepentingan saling bersinergi. Kegiatan baik yang telah diterapkan di sekolah,
diikuti pula di rumah. Begitu juga dengan masyarakat, bersinergi antara
sekolah, rumah, dan masyarakat, pembentukan karakter anak akan mengalami banyak
hambatan.[18]
2) Metodologi Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter jelas membutuhkan metodologi yang efektif, aplikatif, dan produktif
agar tujuannya bisa tercapai dengan baik. Menurut Doni Koesoema A. sebagaimana
mana yang dikutip oleh Najib Sulhan, metodologi pendidikan karakter adalah
sebagai berikut.
a) Pengajaran
Mengajarkan
pendidikan karakter dalam rangka memperkenalkan pengetahuan teoritis tentang
konsep-konsep nilai. Pemahaman konsep ini mesti menjadi bagian dari pemahaman
pendidikan karakter itu sendiri. Sebab, anak-anak akan banyak belajar dari
pemahaman dan pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami oleh para guru dan
pendidik dalam setiap perjumpaan mereka.
b) Keteladanan
Keteladanan
menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan
karakter. Tumpuan pendidikan karakter ada pada pundak guru. Konsistensi dalam
mengajarkan pendidikan karakter tidak sekedar melalui sesuatu yang dikatakan
melalui pembelajaran di kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam
kehidupannya yang nyata di luar kelas. Karakter guru (meskipun tidak selalu) menentukan warna
kepribadian anak didik.
c) Menentukan Prioritas
Lembaga
pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin
diterapkan di lingkungan mereka. Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan
nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dalam realisasi atas visi lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti menentukan tuntutan
standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian
dari kinerja kelembagaan mereka.
d) Praksis Prioritas
Unsur lain yang
sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas
nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga
pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya,
lembaga pendidikan mesti mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah
telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai
macam unsur yang ada didalam lembaga pendidikan itu sendiri.
e) Refleksi
Karakter yang
ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan
kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan
dan kritis. Sebab, sebagaimana dikatakan Socrates, “Hidup
yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati”. Tanpa
ada usaha untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini
direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah terdapat kemajuan. Refleksi
merupakan kemampuan sadar khas manusiawi. Dengan kemampuan sadar ini, manusia
mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik.
Jadi, setelah tindakan dan praksis pendidikan karakter itu terjadi, perlulah
diadakan semacam pendalaman dan refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga
pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Metodologi
pendidikan karakter tersebut menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya
guru yang berinteraksi langsung kepada anak didik. Tentu 5 hal ini bukan
satu-satunya, sehingga masing-masing tertantang untuk menyuguhkan alternatif
pemikiran dan gagasan untuk memperkaya metodologi pendidikan karakter yang
sangat dibutuhkan bangsa ini di masa yang akan datang.[19]
3) Langkah-Langkah Pembentukan Karakter
a) Memasukkan
konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
(1) Menanamkan nilai kebaikan pada anak (knowing the good)
Menanamkan konsep
diri pada anak setiap memasuki materi pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji
tentang karakter, maupun pemahaman tentang makna pada karakter yang ingin disampaikan.
(2 ) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan
untuk berbuat baik (desiring the good)
(3) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik
Agar anak
mengembangkan karakter yang baik, maka ada penghargaan bagi anak yang
membiasakan melakukan kebaikan. Begitu pula dengan anak melakukan pelanggaran,
supaya diberikan hukuman yang mendidik.
(4) Melaksanakan perbuatan baik (acting
the good)
Karakter yang
sudah mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses pembelajaran
selama disekolah. Selain itu, juga memantau perkembangan anak dalam praktik
pembangunan karakter di rumah. Dalam hal ini, guru sebagai model. Guru akan dilihat
oleh siswa. Apa yang dilakukan oleh guru, dianggap benar oleh siswa. Untuk
itulah, guru harus mampu memberikan contoh positif.[20]
b) Pesan
Moral
Anak-anak tahu
mana yang baik dan mana yang buruk tidak lepas dari pesan orang dewasa. Ketika
pesan itu masuk dalam memori dan dihayati, kemudian diaplikasi, maka akan
membentuk sebuah karakter. Pesan ini bisa terucap bisa juga tertulis. Perlu
diketahui pesan yang mudah divisualkan lebih mengena dan lebih mudah tersimpan
dalam waktu yang cukup panjang.
(1) Pesan Terucap
Pesan yang
terucap sering kali disampaikan oleh orang tua dan guru kepada anak. Pesan yang
terucap bisa dalam bentuk nasihat, bisa juga dalam bentuk kata bijak, bahkan
bisa dalam bentuk cerita. Sekali lagi, ketika pesan terucap itu bisa
digambarkan, bisa divisualkan, maka lebih mengena dan bisa tersimpan dalam
memori jangka panjang.
(2) Pesan Tertulis
Selain pesan
terucap dari orang tua dan guru, bisa juga pesan itu dalam bentuk tulisan.
Banyak sekolah yang memasang tulisan-tulisan bijak sebagai bentuk pesan moral
kepada anak. Pesan tertulis yang dibaca secara berulang-ulang akan membentuk
karakter mulia pada anak. Pesan tertulis juga bisa berupa buku cerita yang
mengandung nilai moral.[21]
c) Pemantauan Secara Kontinyu
Pemantauan
secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa
hal yang selalu dipantau antara lain:
(1) Kedisiplinan masuk sekolah
(2) Kebiasaan saat makan dikantin
(3) Kebiasaan dikelas
(4) Kebiasaan dalam berbicara (sopan santun berbicara)
(5) Kebiasaan ketika di masjid
d) Penilaian Orang Tua
Orang tua
memiliki peranan yang sangat besar dalam membangun karakter anak. Waktu anak
ada di rumah lebih banyak dibandingkan sekolah. Apalagi, sekolah merupakan
lingkungan yang dikendalikan. Anak bisa saja hanya takut pada aturan yang
dibuat. Sementara, rumah merupakan lingkungan sebenarnya yang dihadapi anak.
Rumah adalah tempat pertama anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan
lingkungan. Untuk itulah, orang tua diberikan kesempatan untuk menilai anak,
khususnya dalam pembentukan moral anak.[22]
Penutup
Pelaksanaan pendidikan karakter memiliki permasalahan tersendiri,
yaitu adanya ketidaksinkronan antara konsep pendidikan karakter, yang bertujuan
untuk mengembalikan budaya dan karakter bangsa yang semakin merosot dengan
realita yang dihadapi. Pada saat di sekolah ditanamkan nilai-nilai karakter baik,
tidak ditunjang dengan kondisi lingkungan yang mencontohkan nilai-nilai yang
berseberangan.
Menghadapi kondisi Bangsa Indonesia yang mengalami krisis
multidimensional akibat terkikisnya nilai-nilai karakter bangsa, dan
kekhawatiran lahirnya generasi yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional, generasi yang berkepribadian luhur, menjalankan nilai-nilai agama dan
pancasila, maka dibuatlah kebijakan dan konsep pendidikan budaya dan karakter bangsa
untuk mengembalikan karakter bangsa Indonesia yang religius dan
pancasilais.
Pendidikan karakter sebagai reformasi pendidikan akan terwujud
dengan adanya kerjasama mulai dari pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan,
sekolah sebagai pelaksana pendidikan di lapangan yang mengintegrasikan
pendidikan karakter dalam kurikulum yang dipergunakan dan gurunya
sebagai role model, orang tua sebagai pembentuk pertama karakter anak, dan
masyarakat atau lingkungan yang mencerminkan penerapan budaya dan karakter bangsa
dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan pendidikan karakter akan
dirasakan manakala semua unsur menjalankan fungsi masing-masing dengan
sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran
Nilai karakter. Jakarta:
Rajawali Press, 2012.
Asmani, Jamal
Ma’mur, Buku Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press, 2013.
Direktorat
Pendidikan Madrasah Kementerian Agama. Wawasan Pendidikan Karakter Dalam Islam. Jakarta:
2010.
Hidayatullah, Furqon. Pendidikan
Karakter Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma
Pressindo, 2010.
Kesuma, Dharma
dkk. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.
Naim, Ngainun. Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan
dalam Pengembangan Ilmu & Pembentukan Karakter Bangsa. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012.
Prabaswara,
Brian. Kamus Praktis
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Aprindo, 2010.
Saebani, Beni
Ahmad dan Hendra akhdiyat. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Salahudin, Anas. Filsafat
pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia, 2011.
Samani, Muchlas
dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan
Karakter. Bandung:
PT. Remaja
Rosdakarya, 2013.
Siswanto. Pendidikan Islam
Dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta:
SUKA-Press, 2012.
Sulhan, Najib. Karakter Guru
Masa Depan Sukses dan Bermartabat. Surabaya:
Temprina Media Grafika, 2011.
Sulhan, Najib. Panduan praktis
Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah. Surabaya:
Temprina Media Grafika, 2011.
Sulhan, Najib.
Pendidikan Berbasis Karakter Sinergi
Antara Sekolah dan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak. Surabaya:
Temprina Media Grafika, 2011.
[1]Penulis adalah mahasiswa Program
Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan
[2]Dharma Kesuma dkk, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), 1.
[3]Ngainun Naim, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan
Ilmu & Pembentukan Karakter Bangsa (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 13-14.
[4]Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka
Setia, 2011), 18-19.
[5]Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2009), 21-22.
[6]Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta:
SUKA-Press, 2012), 9
[7]Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban
Bangsa (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), 14.
[8]Muchlas Samani, dkk, Konsep dan Model Pendidikan
Karakter
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 41.
[9]Dharma Kesuma, dkk, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012), 5.
[11]Hariyanto, Pendidikan Karakter, 44.
[12]Jamal Ma’mur Asmani, Buku
Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah (Jogjakarta: Diva Press, 2013), 42-43.
[14]Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, 47-48.
[15]Naim, Character building, 18.
[18]Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan
Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah (Surabaya: Temprina Media
Grafika, 2011), 15-20.
[19]Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, 67-70.
[20]Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam
Membentuk Karakter Anak (Surabaya: Temprina Media Grafika, 2011), 15-16.
[22]Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, 18-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar