HADIS MAWDHŪ’
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadis
Yang Dibina Oleh Prof. Dr. H. Idri, M.Ag.
![]() |
Oleh :
M. UMAR TSABIT
NIM. 18201521015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
MEI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “hadis mawdhū’” pada mata
kuliah Studi Hadis yang telah diberikan oleh dosen Pembingbing. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum sempurna dan banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para
pembaca.
Dalam penyusunan tugas makalah ini, penulis
banyak mendapat masukan dan bimbingan dari berbagi pihak untuk memperkenankan
penulis mengucapkan terimakasih utamnya kepada Bapak Dosen Pengampu mata kuliah
Studi Hadis.
Yang terakhir penulis mengharap, semoga
tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan
dapat menjadi wahana penambahan ilmu pengetahuan serta pemikiran bagi pembaca
semua. Semoga Allah SWT. tetap memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita
semua.
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL____________________________________________ i
KATA
PENGANTAR_____________________________________________ ii
DAFTAR ISI____________________________________________________ iii
BAB I PENDAHULUAN__________________________________________ 1
A. Latar Belakang______________________________________________ 1
B. Rumusan Masalah____________________________________________ 1
C. Tujuan Penulisan_____________________________________________ 2
BAB II PEMBAHASAN__________________________________________ 3
A. Definisi dan eksistensi hadis mawdhū’____________________________ 3
B. Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadis mawdhū’_____________ 5
C. Faktor-faktor pendorong pemalsuan
hadis_________________________ 6
D. Purifikasi hadis dari pemalsuan__________________________________ 10
E. Kriteria-kriteria hadis mawdhū’__________________________________ 11
BAB III PENUTUP_______________________________________________ 13
A. Kesimpulan_________________________________________________ 13
B. Saran______________________________________________________ 13
DAFTAR PUSTAKA_____________________________________________ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di samping al-Qur'ān
sebagai salah satu kajian rujukan yang amat penting bagi umat Islam, adalah al-Sunnah
sebagai sumber kedua sebagai bahan rujuan sekaligus pedoman, petunjuk bagi umat
Islam. Namun dalam kenyataannya al-Sunnah tidak semua di pakai. Karena al-Sunnah
atau yang sering di sebut dengan al-Hadīts memiliki kiteria-kiteria
khusus yang harus ada apabila hadis itu sah di pakai.
Telah kita
ketahui bahwa hadis baru dikodifikasi setelah satu abad setelah Rasulullah
meninggal dunia, sehingga tidak menutup kemungkinan banyak sekali peluang dan
kesempatan bagi orang yang mempunyai kepentingan untuk kelompok, politik, madzhab
maupun untuk mendekatkan diri pada pengguasa dalam membuat hadis-hadis mawdhū’
(palsu).
Hadis mawdhū’
ini pada dasarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadis, karena sudah
jelas bukan sebuah hadis yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Hadis mawdhū’
sudah ada kejelasan atas kepalsuannya. Serta hadis mawdhū’ ini, sebagai mana hadis sahih telah
banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat muslim, dan diakui sebagai sebuah
hadis yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadis mawdhū’ perlu
dimasukkan ke dalam kelompok kajian ilmu hadis ini, meskipun sebenarnya dan
pada dasarnya hadis mawdhū’ bukanlah sebuah hadis.
B.
Rumusan
Masalah
Agar pembahasan
tepat dan benar sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi
masalah yang akan dibahas yaitu:
1.
Definisi dan eksistensi
hadis mawdhū’
2.
Sejarah pertumbuhan
dan perkembangan hadis mawdhū’
3.
Faktor-faktor
pendorong pemalsuan hadis
4.
Purifikasi hadis
dari pemalsuan
5.
Kriteria-kriteria
hadis mawdhū’
C.
Tujuan
Penulisan
Dibuatnya
makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk
mengetahui definisi dan eksistensi hadis mawdhū’
2. Untuk
mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mawdhū’
3. Untuk
mengetahui faktor-faktor pendorong pemalsuan hadis
4. Untuk
mengetahui purifikasi hadis dari pemalsuan
5. Untuk
mengetahui kriteria-kriteria hadis mawdhū’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
dan Eksistensi Hadis Mawdhū’
Secara etimologi
(bahasa), hadis mawdhū’ merupakan bentuk isim maf’ūl dari kata وضع yang memiliki makna menggugurkan
meninggalkan, dan mengada-ada.[1] Dalam
pendapat lain dikatakan bahwa hadis mawdhū’ berarti hadis palsu atau
hadis yang dibuat-buat. Jadi secara bahasa hadis mawdhū’ adalah hadits
palsu yang diada-adakan atau dibuat-buat.[2]
Sedangkan
pengertian hadis mawdhū’ secara istilah menurut Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb
adalah:
ماَ
نُسِبَ إلى رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم اِختِلَاقًا وكَذبًا مِمَّا لم يَقُلهُ
أو يَفعَلهُ أو يُـــقِرُهُ وَقَالَ بَعضُهُم هُوَ الـمُختَلَقُ الـمَصنُوعُ
“Hadis
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya”.[3]
Pendapat lain
mendefinisikan hadis mawdhū’ sebagai
hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu
dibangsakan kepada Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta, baik hal itu
disengaja, maupun tidak.[4]
Hadis mawdhū’
itu ada beberapa macam, yaitu :
1.
Seseorang
mengatakan sesuatu, yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri, kemudian dia
meriwayatkannya dengan menghubungkannya dengan Rasulullah SAW.
2.
Seseorang
mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian dia
menghubungkannya kepada Rasulullah SAW.
3.
Seseorang
melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadis dengan tidak ada unsur
kesengajaan mendustakan kepada Rasulullah SAW. sehingga riwayatnya itu menjadi mawdhū’
seperti peristiwa yang terjadi pada Habib bin Musa al-Zahid dalam hadis:
مَنْ كَـثرتْ صَلاتُهُ بِالَّيْلِ حَسُنَ وَجْهُهُ
بِالنَّهَارِ
4.
Seseorang
melakukan kesalahan dalam memberi hukum mawdhū’ terhadap suatu hadis
secara terbatas, tetapi sebenarnya riwayat itu shahīh dari selain Rasulullah
SAW. yang adakalanya dari sahabat, tabi‘īn atau dari orang-orang yang
datang sesudahnya sehingga orang yang melakukannya memperoleh teguran salah atau
keliru dalam menganggap hadis itu marfū’. Akan tetapi jika seseorang itu
memasukkan riwayat yang demikian ke dalam klasifikasi hadis mawdhū’,
maka dia adalah salah, sebab ada perbedaan antara hadis mawdhū’ dengan
hadis mauqūf.[5]
Jadi pada
dasarnya hadis mawdhū’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasulullah
SAW. atau dengan kata lain bukan hadis Rasulullah SAW. akan tetapi suatu
perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu yang mempunyai
kepentingan dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah.
Dalam hal
penyebutan hadis mawdhū’ sebagai hadis atau bukan terjadi perbedaan
pendapat. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani yang dikutip oleh Idri dalam bukunya
Studi Hadis berpendapat bahwa hadis mawdhū’ tidak bisa disebut hadis,
namun ulama hadis seperti al-Husayn ibn ‘Abd Allah al-Thibi, Shalah Muhammad
Muhammad ‘Uwaydhah, dan Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi sebagaimana yang
dikutip oleh Idri berpendapat bahwa hadis mawdhū’ dapat disebut hadis,
walaupun statusnya sebagai hadis dha’īf yang terburuk. Ahmad ‘Umar
Hasyim memiliki pendapat yang berbeda sebagaiman yang dikutip Idri menyatakan
bahwa hadis mawdhū’ tidak disebut hadis secara mutlak tetapi berdasar
anggapan dan kecenderungan pembuatnya, sedang hakikat dan asalnya bukan hadis.[6]
B.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Mawdhū’
Para ahli
berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Pendapat
pertama menurut Ahmad Amin sebagaimana yang di kutip oleh Idri dalam bukunya
Studi Hadis berpendapat bahwa hadis palsu terjadi sejak zaman Rasulullah dengan
beralasan pada sebuah hadis mutawātir yang yang mengancam orang yang
berdusta pada Nabi dengan neraka. Hadis dimaksud adalah:
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ فَليَتَبَوَّاءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku
bersiap-siaplah untuk mengambil tempat di neraka”.
Hadis tersebut
menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi pemalsuan hadis.
Akan tetapi pendapat ini mengandung kelemahan baik dilihat dari bukti historis,
sikap sahabat terhadap segala yang berasal dari Nabi, data-data hadis palsu,
maupun maksud hadis yang dijadikan dasar argumentasi.[7]
Pendapat kedua menyatakan
bahwa awal munculnya hadits mawdhū’ yaitu pada masa pemerintahan Utsman
bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang
pertama. Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada
masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang penganut yahudi yang
menyatakan telah memeluk Islam. Dengan
bertopengkan pembelaan kepada Ali dan ahl al-bait, ia menjelajah
kesegenap pelosok untuk menabur fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa
Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman, bahkan lebih berhak dari
pada Abu Bakar dan Umar.[8]
Pendapat ketiga menurut
mayoritas ulama hadis, menyatakan bahwa hadis mawdhū’ pertama kali
dibuat pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi fitnah dikalangan
umat muslim.[9]
Hadis-hadis bermasalah kategori hadis palsu sudah ada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Sementara hadis-hadis dha’īf yang statusnya lebih ringan
dimungkinkan terjadi sebelum masa itu terutama setelah Nabi wafat.[10]
C.
Faktor-Faktor
Pendorong Pemalsuan Hadis
Berdasarkan data
sejarah bahwa pemalsuan hadis muncul bukan tanpa sebab akan tetapi banyak
sekali faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya pemalsuan hadis antara
lain adalah:
1.
Pertikain Politik
Perpecahan
politik umat Islam pada masa ‘Ali ibn Abi Thalib berdampak negatif terhadap
keberadaan hadis Nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung
masing-masing golongan antara golongan Syi’ah dan golongan Mu’awiyah.
Contoh hadis
palsu yang dibuat oleh golongan Syi’ah untuk dukungan penuh terhadap ‘Ali ibn
Abi Thalib adalah:
لِكُلِّ نَبِـيٍّ وَصِيٌّ وَإنَّ عَلِيًّا وَصِيِيْ
وَوَارِثـي
“Sesungguhnya tiap-tiap nabi mempunyai
orang yang mendapat wasiat dan sesungguhnya ‘Ali adalah orang yang mendapat
wasiat dan pewarisku”.[11]
Sedangkan contoh
hadis palsu yang dibuat golongan jumhur dan Mu’awiyah yang tidak menginsafi
akibat pemalsuan hadis juga membuat hadis-hadis palsu antara lain, yaitu:
أنتما وَزِيْرِيْ فى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وأنا
وأنتما نَقْعُدُ فى مَجْلِسِ الجنَّةِ
“Kalian berdua adalah wazir (menteri)-ku di
dunia dan akhirat. Aku dan kalian duduk di mejelis surga”.[12]
2.
Siasat
Musuh-musuh Islam
Para musuh Islam
yang terlibat dalam pemalsuan hadis dikenal dengan kaum Zindik. Mereka masuk
Islam dalam rangka menghancurkan Islam dari dalam. Setelah Islam berkuasa, mereka
tidak mampu melawan kaum Muslimīn dengan pedang, lalu diambillah cara
lain yaitu dengan menjauhkan kaum Muslimīn dari akidah Islam dengan cara
menciptakan kebatilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW.[13] Di
antara hadits palsu yang mereka buat untuk menjauhkan akidah umat Islam dari
akidah yang benar adalah :
قيل:
يارسولَ الله مِمَّ رَبُّناَ ؟ قال : مِن مَاءٍ مُرُورٍ، لامِن أرضٍ ولا سَمَاءٍ،
خَلقَ خَيلا فأجرَاها، فعَــرَقَت، فخَلقَ نَفسَهُ مِن ذلِكَ العَــرَقَ.
“Ditanyakan: Wahai
Rasulullah! Terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah SAW menjawab, dari air
yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi, dan tidak (pula) dari langit. Dia
menciptakan seekor kuda kemudian Dia menjalankan kuda itu maka berkeringatlah
kuda itu. Kemudian Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu”.[14]
Diantara hadis yang
dibuat misalnya:
لاَ نَبِـيَّ بَعْدِيْ إلاَّ أنْ شآءَ اللهُ
3.
Primordialisme
dan Chauvinisme
Diskriminasi
antara bangsa Arab (‘Arabī) dan non-Arab (‘Ajamī) yang dilakukan
oleh Daulah Bani Umayah telah berakibat pada munculnya hadis-hadis palsu untuk
meningkatkan martabat mereka yang non-Arab yang mayoritas dari Persia dengan
disamakannya status mereka dengan bangsa Arab. Contoh hadisnya antara lain:
إنَّ كَلامَ الذِينَ حَولَ العَرشِ بالفَارِسِيَّةِ
4.
Fanatisme Mazhab
Fiqh dan Kalam
Perselisihan
mazhab tidak jarang menjerumuskan pengikutnya yang fanatik ke dalam pembuatan
hadis palsu. Dalam bidang fiqh muncul hadis palsu yang dibuat oleh pengikut
fanatik mazhab Abu Hanifah yang bernama Muhammad ibn ‘Akāsyah, yaitu:
حدثنا
المسيب بن واضح . . . عن أنس مرفوعا "مَن رَفَعَ يَدَيهِ في الرّكُوعِ فَلا صَلاةَ
لَهُ"
Di bidang kalam
pun akibat perbedaan pendapat mengenai al-Qur'ān bersifat qadīm atau
tidak, menyebabkan timbulnya hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat pendirian
mereka. Contoh hadisnya adalah:
كُلُّ
مَا في السَّموَاتِ والأرضِ ومَا بَينَهُمَا فَهُوَ مَـخلوقٌ غيرُ اللهِ وَالقُرآن…
“Segala sesuatu yang
berada di langit dan bumi dan diantara keduanya adalah makhluk selain Allah dan
al-Qur'ān”.[18]
5.
Kultus Individu
Sikap fanatik
pada golongan politik atau mazhab dapat menyebabkan pada kultus individu
pemimpin politik atau mazhab yang bersangkutan. Seperti yang dilakukan golongan
Syi’ah yang mengkultuskan ‘Ali, menyebabkan mereka membuat hadis palsu untuk
mengkultuskannya. Contoh hadisnya adalah:
مَن لم يَقُل عَلِي خَيرُ الناس فَقَد كَفَرَ
6.
Pembuatan Cerita
Pada masa-masa
akhir pemerintahan Khulafaurrasyidin muncul kelompok-kelompok pendongeng dan
penasehat yang jumlahnya terus bertambah pada masa-masa selanjutnya di
masjid-masjid kekuasaan Islam. Sebagian dari pendongeng itu mengumpulkan banyak
orang kemudian membuat hadis untuk menggugah perasaan mereka dengan berdusta
mengatasnamakan Rasulullah SAW. Di antara hadis yang dipalsukan oleh para
pendongeng itu adalah:
مَن
قَالَ لاإلهَ إلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِن كُلِّ كلمةٍ طَيْراً مِنْقَارُهُ مِنْ
ذَهبٍ وَرِيْشُهُ مِن مِرْجانٍ
“Barang siapa mengucapkan Lā ilāha illa
Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor
burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya dari marjan”.[20]
7.
Pendekatan pada
Penguasa
Pembuatan hadis
kategori ini baru terjadi pada masa Bani ‘Abbasiyah. Salah satu contohnya
adalah hadis palsu yang dibuat oleh Ghiyats ibn Ibrahim untuk memuji khalifah
al-Mahdi yang senang mengadu merpati:
لا سَبَقَ
إلاَّ فِى نَصَلٍ أو خَفٍ أو حَافِرٍ أو جَنَاحٍ
8.
Keinginan
Berbuat Baik Tanpa Dasar Pengetahuan Agama
Hadis kategori
ini terjadi karena pada masa itu sebagian orang “shalih” yang ilmu
pengetahuannya dangkal, melihat orang-orang sibuk mengurusi urusan duniawi saja
tanpa memperdulikan kehidupan akhirat. Maka untuk menyadarkan manusia mereka
memalsukan hadis-hadis tentang tarhīb (ancaman bagi perbuatan buruk) dan
targhīb (motivasi untuk berbuat baik) dengan semata-mata mengharapkan
ridha Allah SWT.
Walaupun tujuan
mereka baik, yaitu untuk menyadarkan manusia, namun cara yang mereka lakukan
itu sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam, terlebih lagi Nabi Muhammad SAW.
pernah bersabda yang isinya menyatakan larangan mendustakan beliau dengan
ancaman ia akan disiksa dalam neraka. Di antara yang dipalsukan oleh
orang-orang ini adalah hadis tentang keutamaan surat-surat al-Qur'ān.[22]
D.
Purifikasi
Hadis dari Pemalsuan
Usaha-usaha
ulama dalam memelihara dan membersihkan hadis dari pemalsuan, ialah:
1.
Meng-Isnad-kan
hadis
Dalam rangka
memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai dengan
sanad. Jika tidak disertai dengan sanad, maka suatu hadis tidak
dapat diterima. Muhammad bin Sirin mengatakan: para ulama semula tidak bertanya
tentang sanad sunnah. Tetapi ketika banyak terjadi pemalsuan hadis,
mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya: Sebutkan kepada kami para
perawinya. Maka jika mereka memang ahli sunnah diambil hadisnya dan jika
dilihat ahli bid’ah tidak diambil hadisnya. Abdullah bin Al-Mubarok berkata:
مَثلُ
الَّذِي يَطلبُ دِينَهُ بِلا إِسنَادٍ كمثل الذي يَرتَقى السَّطحَ بِلا سُلم
“Perumpamaan orang yang
mencari agamanya tanpa isnād bagaikan orang yang naik loteng tanpa tanggan”.[23]
2.
Peningkatan
kegiatan keilmuan dan penelitian hadis
Sejak masa
sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis
yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang
mereka terima meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat
dalam permasalahan hadis, segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan)
sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat
senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis. Setelah itu, hasil penelitian
mereka dibukukan di berbagai buku hadis atau ilmu hadis.[24]
3.
Tindakan
terhadap para pemalsu hadis
Dalam rangka
berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para
pemalsu hadis, melarang mereka meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada
penguasa. Murrah al-Hamdany pernah mendengar sebuah hadis dari al-Harits
al-A’war, pendukung Syi’ah yang banyak mebuat hadis-hadis mawdhū’, lalu
disuruhnya ia jongkok di muka pintu dan kemudian dibunuhnya.[25]
4.
Studi kritik
rawi
Para sahabat,
tabi‘in dan tabi‘it-tabi‘in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya,
kelahirannya, kematiaannya, keadilannya, daya ingatannya dan kemampuan menghafalnya,
untuk membedakan hadis-hadis yang shahih dan yang mawdhū’.[26]
5.
Penetapan
kriteria hadis palsu
Para ulama hadis
berusaha menyusun kaidah-kaidah umum untuk mengetahui batasan-batasan hadis shahīh,
hasan, dha‘īf, dan mawdhū’ serta ciri-ciri dari
hadis-hadis tersebut.[27]
E.
Kriteria-Kriteria
Hadis Mawdhū’
Para ulama hadis,
disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahīh, hasan,
atau dha‘īf suatu hadis, mereka juga menentukan kriteria-kriteria untuk
mengetahui ke-mawdhū’-an suatu hadis. Ke-mawdhū’-an suatu hadis dapat
dilihat pada kriteria yang terdapat pada sanad dan matan.
1.
Kriteria Sanad:
(a) Pengakuan periwayat (pemalsu) hadis; (b) Bertentangan dengan realita
historis periwayat; (c) Periwayat pendusta; dan (d) Keadaan periwayat dan
dorongan psikologisnya.
2.
Kriteria Matan:
(a) Buruk lafal atau redaksi-nya; (b) Rusak maknanya, karena disebabkan: (1)
bertentangan dengan dalil-dali syar‘ī dan kaidah-kaidah hukum dan
akhlak; (2) bertentangan dengan realita; (3) bertentangan dengan akal pikiran;
dan (4) adanya bukti yang sah tentang kepalsuaannya.[28]
Hadis yang
dinyatakan palsu dari segi sanad misalnya, hadis yang dinyatakan riwayat
Anas bin Malik dari Nabi yang dibuat Masyarah yang terdapat dalam kitab al-Mawdhū‘at
karya Ibn Jawzi sebagaimana yang dikutip Idri dalam bukunya Studi Hadis:
وَأمَّا
حَدِيثُ اَنَسٍ اَنْـبَأَنَا عَبدُ الوَهاَّبِ الحَافِظُ قَالَ اَنـبَأنَا ابنُ الـمُظَفَّرِ
قَالَ اَنـبَأنَا العَتِيقِى قَالَ اَنـبَأنَا بنُ الدَّخِيلِ قَالَ حَدَّثَنَا
العُقَيــلِى قَالَ حَدَّثَنَا اَحمَدُ بنُ مُحَمَّدِ بنِ الحَجاَّجِ قَالَ
حَدَّثَنَا اَحمَدُ بنِ الاَشعَثِ عَن دَاوُدَ بنِ الـمُحبِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مَيسَرَةُ
بنِ عَبدِ رَبِّهِ عَن مُوسَى بنِ عُبَيدَةِ عَنِ الزُّهرِى عَن اَنَسِ بنِ مَالِكٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهَ صلى الله عليه وسلم: مَن كَانَت لهُ سَخِيمَةٌ مِن عَقلٍ
وَغَرِيرَةٍ يَقِينٍ لم تَضُرُّهُ ذُنُوبَهُ شيأٌ، قِيلَ وَكَيفَ ذَاكَ يَارَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ لِأنَّهُ كُلَّمَا اَخطاءَ لم يَلبَث اَن يَتُوبَ تَوبَةً تَمحُو ذُنُوبَهُ
وَيَبقَى لَهُ فَضلٌ يَدخُلُ بِهِ الـجَنَّةَ فَلِلعَقلِ نَجَاةٌ بِطاعَةِ اللهِ وَحُجَّةِ
عَلى اَهلِ مَعصِيَةِ اللهِ
Pada sanad hadis ini terdapat
periwayat yang bernama Maysarah bin ‘Abd Rabbih, seorang yang pernah mengaku
membuat hadis palsu dan dia dinilai sebagai pendusta. Sedangkan hadis yang
nilai palsu dari segi matan misalnya, hadis yang bertentangan dengan
ijma’ yang dinyatakan dari Abu Umamah dari Nabi:
عَن
أبِى اُماَمَةَ قَالَ سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: لاَ يُكتَبُ
عَلىَ ابنِ آدَمَ ذَنبٌ اَربَعِينَ سَنَةً إذَا كَانَ مُسلِمًا، ثـمَّ تَلَا (حَتَّى
اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهُ وَبَلَغَ اَربَعِينَ سَنَةً)
Hadis ini dinyatakan palsu oleh Ibn
al-Jawzi karena bertentangan dengan ijma’ umat Islam.[29]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penulis dapat mengambil kesimpulan
tentang hadis mawdhū’ yaitu:
1.
Secara etimologi
(bahasa), hadis mawdhū’ merupakan bentuk isim maf’ūl dari kata وضع yang memiliki makna menggugurkan
meninggalkan, dan mengada-ada. Sedangkan secara terminologi hadis mawdhū’
adalah Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan
dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.
2.
Ada banyak sebab
munculnya hadits mawdhū’, namun sebab yang paling menonjol dalam sejarah
ilmu hadits adalah sebagai berikut: (a) pertikaian politik (b) siasat musuh-musuh Islam (c) primordialisme
dan chauvinisme (d) kontroversi madzhab fiqh dan kalam (e) kultus
individu (f) pembuatan cerita (g) motivasi kebaikan dan agama.
3.
Sebagian cara
untuk menyelamatkan hadis dari pemalsuan adalah dengan memahami sanad, meningkatkan
kegiatan keilmuan dan penelitian hadis, menindak tegas para pemalsu hadis,
mengenal para periwayat hadis, memahami kriteria-kriteria hadis palsu.
4.
Memahami
kriteria-kriteria hadis adalah dengan memahami kriteria sanad dan
kriteria matan.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima
bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad
& Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Dzahabī,
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman. 1994. Tartīb al-Mawdhū‘āt. Bairūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Khatīb,
Muhammad ‘Ajjāj. 1988. al-Sunnah Qabl al-Tadwīn. al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah.
Al-Khatīb,
Muhammad ‘Ajjāj. 1971. Ushūl al-Hadīts ‘Ulumuh wa Musthalahuh. t.tp.:
Dār al-Fikr.
Al-Maliki,
Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. terj. Adnan Qohar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Al-Sibā‘ī,
Musthafā. t.t.. al-Sunnah wa Makanatuhā fī al-Tasyry‘ī. t.tp.: Dār
al-Warrāq.
Idri. 2013. Studi Hadis. Jakarta:
Prenada Media Grup.
Khon, Abdul Majid.
2011. Ulumul Hadis. Jakarta:
Amzah.
Rahman, Fatchur. 1974.
Ikhtishar Mushthalahu'l Hadits. Bandung: PT.
Alma'arif.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Wijaya, Utang Ranu. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
[3]Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, Ushūl
al-Hadīts ‘Ulumuh wa Musthalahuh (t.tp.: Dār al-Fikr, 1971), 415.
[5]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 141 –
142.
[11]Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman
al-Dzahabī, Tartīb al-Mawdhū‘āt (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1994), 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar