Kamis, 09 Juli 2015

HADIS MAWDHŪ’


MAKALAH



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadis
Yang Dibina Oleh Prof. Dr. H. Idri, M.Ag.



 














Oleh :
M. UMAR TSABIT
NIM. 18201521015




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
MEI 2015




KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “hadis mawdhū’” pada mata kuliah Studi Hadis yang telah diberikan oleh dosen Pembingbing. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca.
Dalam penyusunan tugas makalah ini, penulis banyak mendapat masukan dan bimbingan dari berbagi pihak untuk memperkenankan penulis mengucapkan terimakasih utamnya kepada Bapak Dosen Pengampu mata kuliah Studi Hadis.
Yang terakhir penulis mengharap, semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan dapat menjadi wahana penambahan ilmu pengetahuan serta pemikiran bagi pembaca semua. Semoga Allah SWT. tetap memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita semua.


Penulis,







DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL____________________________________________ i
KATA PENGANTAR_____________________________________________ ii
DAFTAR ISI____________________________________________________ iii
BAB I PENDAHULUAN__________________________________________ 1
A. Latar Belakang______________________________________________ 1
B. Rumusan Masalah____________________________________________ 1
C. Tujuan Penulisan_____________________________________________ 2
BAB II PEMBAHASAN__________________________________________ 3
A. Definisi dan eksistensi hadis mawdhū’____________________________ 3
B. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mawdhū’_____________ 5
C. Faktor-faktor pendorong pemalsuan hadis_________________________ 6
D. Purifikasi hadis dari pemalsuan__________________________________ 10
E. Kriteria-kriteria hadis mawdhū’__________________________________ 11
BAB III PENUTUP_______________________________________________ 13
A. Kesimpulan_________________________________________________ 13
B. Saran______________________________________________________ 13
DAFTAR PUSTAKA_____________________________________________ 14




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Di samping al-Qur'ān sebagai salah satu kajian rujukan yang amat penting bagi umat Islam, adalah al-Sunnah sebagai sumber kedua sebagai bahan rujuan sekaligus pedoman, petunjuk bagi umat Islam. Namun dalam kenyataannya al-Sunnah tidak semua di pakai. Karena al-Sunnah atau yang sering di sebut dengan al-Hadīts memiliki kiteria-kiteria khusus yang harus ada apabila hadis itu sah di pakai.
Telah kita ketahui bahwa hadis baru dikodifikasi setelah satu abad setelah Rasulullah meninggal dunia, sehingga tidak menutup kemungkinan banyak sekali peluang dan kesempatan bagi orang yang mempunyai kepentingan untuk kelompok, politik, madzhab maupun untuk mendekatkan diri pada pengguasa dalam membuat hadis-hadis mawdhū’ (palsu).
Hadis mawdhū’ ini pada dasarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadis, karena sudah jelas bukan sebuah hadis yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Hadis mawdhū’ sudah ada kejelasan atas kepalsuannya. Serta hadis mawdhū’ ini, sebagai mana hadis sahih telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat muslim, dan diakui sebagai sebuah hadis yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadis mawdhū’ perlu dimasukkan ke dalam kelompok kajian ilmu hadis ini, meskipun sebenarnya dan pada dasarnya hadis mawdhū’ bukanlah sebuah hadis.

B.       Rumusan Masalah
Agar pembahasan tepat dan benar sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu:
1.    Definisi dan eksistensi hadis mawdhū’
2.    Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mawdhū’


3.    Faktor-faktor pendorong pemalsuan hadis
4.    Purifikasi hadis dari pemalsuan
5.    Kriteria-kriteria hadis mawdhū’

C.      Tujuan Penulisan
Dibuatnya makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu:
1.    Untuk mengetahui definisi dan eksistensi hadis mawdhū’
2.    Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mawdhū’
3.    Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong pemalsuan hadis
4.    Untuk mengetahui purifikasi hadis dari pemalsuan
5.    Untuk mengetahui kriteria-kriteria hadis mawdhū’



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi dan Eksistensi Hadis Mawdhū’
Secara etimologi (bahasa), hadis mawdhū’ merupakan bentuk isim maf’ūl dari kata وضع yang memiliki makna menggugurkan meninggalkan, dan mengada-ada.[1] Dalam pendapat lain dikatakan bahwa hadis mawdhū’ berarti hadis palsu atau hadis yang dibuat-buat. Jadi secara bahasa hadis mawdhū’ adalah hadits palsu yang diada-adakan atau dibuat-buat.[2]
Sedangkan pengertian hadis mawdhū’ secara istilah menurut Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb adalah:
ماَ نُسِبَ إلى رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم اِختِلَاقًا وكَذبًا مِمَّا لم يَقُلهُ أو يَفعَلهُ أو يُـــقِرُهُ وَقَالَ بَعضُهُم هُوَ الـمُختَلَقُ الـمَصنُوعُ
“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya”.[3]
Pendapat lain mendefinisikan hadis mawdhū’ sebagai hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.[4]
Hadis mawdhū’ itu ada beberapa macam, yaitu :
1.    Seseorang mengatakan sesuatu, yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri, kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkannya dengan Rasulullah SAW.
2.    Seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian dia menghubungkannya kepada Rasulullah SAW.
3.      Seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadis dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan kepada Rasulullah SAW. sehingga riwayatnya itu menjadi mawdhū’ seperti peristiwa yang terjadi pada Habib bin Musa al-Zahid dalam hadis:
مَنْ كَـثرتْ صَلاتُهُ بِالَّيْلِ حَسُنَ وَجْهُهُ بِالنَّهَارِ
4.      Seseorang melakukan kesalahan dalam memberi hukum mawdhū’ terhadap suatu hadis secara terbatas, tetapi sebenarnya riwayat itu shahīh dari selain Rasulullah SAW. yang adakalanya dari sahabat, tabi‘īn atau dari orang-orang yang datang sesudahnya sehingga orang yang melakukannya memperoleh teguran salah atau keliru dalam menganggap hadis itu marfū’. Akan tetapi jika seseorang itu memasukkan riwayat yang demikian ke dalam klasifikasi hadis mawdhū’, maka dia adalah salah, sebab ada perbedaan antara hadis mawdhū’ dengan hadis mauqūf.[5]
Jadi pada dasarnya hadis mawdhū’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. atau dengan kata lain bukan hadis Rasulullah SAW. akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah.
Dalam hal penyebutan hadis mawdhū’ sebagai hadis atau bukan terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani yang dikutip oleh Idri dalam bukunya Studi Hadis berpendapat bahwa hadis mawdhū’ tidak bisa disebut hadis, namun ulama hadis seperti al-Husayn ibn ‘Abd Allah al-Thibi, Shalah Muhammad Muhammad ‘Uwaydhah, dan Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh Idri berpendapat bahwa hadis mawdhū’ dapat disebut hadis, walaupun statusnya sebagai hadis dha’īf yang terburuk. Ahmad ‘Umar Hasyim memiliki pendapat yang berbeda sebagaiman yang dikutip Idri menyatakan bahwa hadis mawdhū’ tidak disebut hadis secara mutlak tetapi berdasar anggapan dan kecenderungan pembuatnya, sedang hakikat dan asalnya bukan hadis.[6]

B.       Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Mawdhū’
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Pendapat pertama menurut Ahmad Amin sebagaimana yang di kutip oleh Idri dalam bukunya Studi Hadis berpendapat bahwa hadis palsu terjadi sejak zaman Rasulullah dengan beralasan pada sebuah hadis mutawātir yang yang mengancam orang yang berdusta pada Nabi dengan neraka. Hadis dimaksud adalah:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ فَليَتَبَوَّاءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barang siapa yang berdusta atas namaku bersiap-siaplah untuk mengambil tempat di neraka”.
Hadis tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi pemalsuan hadis. Akan tetapi pendapat ini mengandung kelemahan baik dilihat dari bukti historis, sikap sahabat terhadap segala yang berasal dari Nabi, data-data hadis palsu, maupun maksud hadis yang dijadikan dasar argumentasi.[7]
Pendapat kedua menyatakan bahwa awal munculnya hadits mawdhū’ yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang penganut yahudi yang menyatakan telah memeluk Islam. Dengan bertopengkan pembelaan kepada Ali dan ahl al-bait, ia menjelajah kesegenap pelosok untuk menabur fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman, bahkan lebih berhak dari pada Abu Bakar dan Umar.[8]
Pendapat ketiga menurut mayoritas ulama hadis, menyatakan bahwa hadis mawdhū’ pertama kali dibuat pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi fitnah dikalangan umat muslim.[9] Hadis-hadis bermasalah kategori hadis palsu sudah ada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sementara hadis-hadis dha’īf yang statusnya lebih ringan dimungkinkan terjadi sebelum masa itu terutama setelah Nabi wafat.[10]

C.      Faktor-Faktor Pendorong Pemalsuan Hadis
Berdasarkan data sejarah bahwa pemalsuan hadis muncul bukan tanpa sebab akan tetapi banyak sekali faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya pemalsuan hadis antara lain adalah:
1.    Pertikain Politik
Perpecahan politik umat Islam pada masa ‘Ali ibn Abi Thalib berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung masing-masing golongan antara golongan Syi’ah dan golongan Mu’awiyah.
Contoh hadis palsu yang dibuat oleh golongan Syi’ah untuk dukungan penuh terhadap ‘Ali ibn Abi Thalib adalah:
لِكُلِّ نَبِـيٍّ وَصِيٌّ وَإنَّ عَلِيًّا وَصِيِيْ وَوَارِثـي
“Sesungguhnya tiap-tiap nabi mempunyai orang yang mendapat wasiat dan sesungguhnya ‘Ali adalah orang yang mendapat wasiat dan pewarisku”.[11]
Sedangkan contoh hadis palsu yang dibuat golongan jumhur dan Mu’awiyah yang tidak menginsafi akibat pemalsuan hadis juga membuat hadis-hadis palsu antara lain, yaitu:
أنتما وَزِيْرِيْ فى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وأنا وأنتما نَقْعُدُ فى مَجْلِسِ الجنَّةِ
“Kalian berdua adalah wazir (menteri)-ku di dunia dan akhirat. Aku dan kalian duduk di mejelis surga”.[12]
2.    Siasat Musuh-musuh Islam
Para musuh Islam yang terlibat dalam pemalsuan hadis dikenal dengan kaum Zindik. Mereka masuk Islam dalam rangka menghancurkan Islam dari dalam. Setelah Islam berkuasa, mereka tidak mampu melawan kaum Muslimīn dengan pedang, lalu diambillah cara lain yaitu dengan menjauhkan kaum Muslimīn dari akidah Islam dengan cara menciptakan kebatilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW.[13] Di antara hadits palsu yang mereka buat untuk menjauhkan akidah umat Islam dari akidah yang benar adalah :
قيل: يارسولَ الله مِمَّ رَبُّناَ ؟ قال : مِن مَاءٍ مُرُورٍ، لامِن أرضٍ ولا سَمَاءٍ، خَلقَ خَيلا فأجرَاها، فعَــرَقَت، فخَلقَ نَفسَهُ مِن ذلِكَ العَــرَقَ.
“Ditanyakan: Wahai Rasulullah! Terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah SAW menjawab, dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi, dan tidak (pula) dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian Dia menjalankan kuda itu maka berkeringatlah kuda itu. Kemudian Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu”.[14]
 Diantara hadis yang dibuat misalnya:
لاَ نَبِـيَّ بَعْدِيْ إلاَّ أنْ شآءَ اللهُ
“Tidak ada nabi sesudahku, kecuali jika Allah menghendaki)”.[15]
3.    Primordialisme dan Chauvinisme
Diskriminasi antara bangsa Arab (‘Arabī) dan non-Arab (‘Ajamī) yang dilakukan oleh Daulah Bani Umayah telah berakibat pada munculnya hadis-hadis palsu untuk meningkatkan martabat mereka yang non-Arab yang mayoritas dari Persia dengan disamakannya status mereka dengan bangsa Arab. Contoh hadisnya antara lain:
إنَّ كَلامَ الذِينَ حَولَ العَرشِ بالفَارِسِيَّةِ
“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang disekitar ‘Arsy menggunakan bahasa Persia”.[16]
4.    Fanatisme Mazhab Fiqh dan Kalam
Perselisihan mazhab tidak jarang menjerumuskan pengikutnya yang fanatik ke dalam pembuatan hadis palsu. Dalam bidang fiqh muncul hadis palsu yang dibuat oleh pengikut fanatik mazhab Abu Hanifah yang bernama Muhammad ibn ‘Akāsyah, yaitu:
حدثنا المسيب بن واضح . . . عن أنس مرفوعا "مَن رَفَعَ يَدَيهِ في الرّكُوعِ فَلا صَلاةَ لَهُ"
“Barang siapa mengangkat kedua tangannya di waktu ruku’, maka tidak sah shalatnya”.[17]
Di bidang kalam pun akibat perbedaan pendapat mengenai al-Qur'ān bersifat qadīm atau tidak, menyebabkan timbulnya hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat pendirian mereka. Contoh hadisnya adalah:
كُلُّ مَا في السَّموَاتِ والأرضِ ومَا بَينَهُمَا فَهُوَ مَـخلوقٌ غيرُ اللهِ وَالقُرآن
“Segala sesuatu yang berada di langit dan bumi dan diantara keduanya adalah makhluk selain Allah dan al-Qur'ān”.[18]
5.    Kultus Individu
Sikap fanatik pada golongan politik atau mazhab dapat menyebabkan pada kultus individu pemimpin politik atau mazhab yang bersangkutan. Seperti yang dilakukan golongan Syi’ah yang mengkultuskan ‘Ali, menyebabkan mereka membuat hadis palsu untuk mengkultuskannya. Contoh hadisnya adalah:
مَن لم يَقُل عَلِي خَيرُ الناس فَقَد كَفَرَ
“Barangsiapa yang tidak mengatakan ‘Ali adalah sebaik-baik manusia, maka ia kafir”.[19]
6.    Pembuatan Cerita
Pada masa-masa akhir pemerintahan Khulafaurrasyidin muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasehat yang jumlahnya terus bertambah pada masa-masa selanjutnya di masjid-masjid kekuasaan Islam. Sebagian dari pendongeng itu mengumpulkan banyak orang kemudian membuat hadis untuk menggugah perasaan mereka dengan berdusta mengatasnamakan Rasulullah SAW. Di antara hadis yang dipalsukan oleh para pendongeng itu adalah:
مَن قَالَ لاإلهَ إلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِن كُلِّ كلمةٍ طَيْراً مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهبٍ وَرِيْشُهُ مِن مِرْجانٍ
“Barang siapa mengucapkan Lā ilāha illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya dari marjan”.[20]
7.    Pendekatan pada Penguasa
Pembuatan hadis kategori ini baru terjadi pada masa Bani ‘Abbasiyah. Salah satu contohnya adalah hadis palsu yang dibuat oleh Ghiyats ibn Ibrahim untuk memuji khalifah al-Mahdi yang senang mengadu merpati:
لا سَبَقَ  إلاَّ فِى نَصَلٍ أو خَفٍ أو حَافِرٍ أو جَنَاحٍ
“Tidak ada perlombaan kecuali permainan panah, anggar, pacuan kuda, atau menerbangkan burung”.[21]
8.    Keinginan Berbuat Baik Tanpa Dasar Pengetahuan Agama
Hadis kategori ini terjadi karena pada masa itu sebagian orang “shalih” yang ilmu pengetahuannya dangkal, melihat orang-orang sibuk mengurusi urusan duniawi saja tanpa memperdulikan kehidupan akhirat. Maka untuk menyadarkan manusia mereka memalsukan hadis-hadis tentang tarhīb (ancaman bagi perbuatan buruk) dan targhīb (motivasi untuk berbuat baik) dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.
Walaupun tujuan mereka baik, yaitu untuk menyadarkan manusia, namun cara yang mereka lakukan itu sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam, terlebih lagi Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda yang isinya menyatakan larangan mendustakan beliau dengan ancaman ia akan disiksa dalam neraka. Di antara yang dipalsukan oleh orang-orang ini adalah hadis tentang keutamaan surat-surat al-Qur'ān.[22]



D.      Purifikasi Hadis dari Pemalsuan
Usaha-usaha ulama dalam memelihara dan membersihkan hadis dari pemalsuan, ialah:
1.                             Meng-Isnad-kan hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai dengan sanad. Jika tidak disertai dengan sanad, maka suatu hadis tidak dapat diterima. Muhammad bin Sirin mengatakan: para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah. Tetapi ketika banyak terjadi pemalsuan hadis, mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya: Sebutkan kepada kami para perawinya. Maka jika mereka memang ahli sunnah diambil hadisnya dan jika dilihat ahli bid’ah tidak diambil hadisnya. Abdullah bin Al-Mubarok berkata:
مَثلُ الَّذِي يَطلبُ دِينَهُ بِلا إِسنَادٍ كمثل الذي يَرتَقى السَّطحَ بِلا سُلم
“Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnād bagaikan orang yang naik loteng tanpa tanggan”.[23]
2.                             Peningkatan kegiatan keilmuan dan penelitian hadis
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis. Setelah itu, hasil penelitian mereka dibukukan di berbagai buku hadis atau ilmu hadis.[24]
3.                             Tindakan terhadap para pemalsu hadis
Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para pemalsu hadis, melarang mereka meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada penguasa. Murrah al-Hamdany pernah mendengar sebuah hadis dari al-Harits al-A’war, pendukung Syi’ah yang banyak mebuat hadis-hadis mawdhū’, lalu disuruhnya ia jongkok di muka pintu dan kemudian dibunuhnya.[25]
4.                             Studi kritik rawi
Para sahabat, tabi‘in dan tabi‘it-tabi‘in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya, kelahirannya, kematiaannya, keadilannya, daya ingatannya dan kemampuan menghafalnya, untuk membedakan hadis-hadis yang shahih dan yang mawdhū’.[26]
5.                             Penetapan kriteria hadis palsu
Para ulama hadis berusaha menyusun kaidah-kaidah umum untuk mengetahui batasan-batasan hadis shahīh, hasan, dha‘īf, dan mawdhū’ serta ciri-ciri dari hadis-hadis tersebut.[27]

E.       Kriteria-Kriteria Hadis Mawdhū’
Para ulama hadis, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahīh, hasan, atau dha‘īf suatu hadis, mereka juga menentukan kriteria-kriteria untuk mengetahui ke-mawdhū’-an suatu hadis. Ke-mawdhū’-an suatu hadis dapat dilihat pada kriteria yang terdapat pada sanad dan matan.
1.    Kriteria Sanad: (a) Pengakuan periwayat (pemalsu) hadis; (b) Bertentangan dengan realita historis periwayat; (c) Periwayat pendusta; dan (d) Keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
2.    Kriteria Matan: (a) Buruk lafal atau redaksi-nya; (b) Rusak maknanya, karena disebabkan: (1) bertentangan dengan dalil-dali syar‘ī dan kaidah-kaidah hukum dan akhlak; (2) bertentangan dengan realita; (3) bertentangan dengan akal pikiran; dan (4) adanya bukti yang sah tentang kepalsuaannya.[28]
Hadis yang dinyatakan palsu dari segi sanad misalnya, hadis yang dinyatakan riwayat Anas bin Malik dari Nabi yang dibuat Masyarah yang terdapat dalam kitab al-Mawdhū‘at karya Ibn Jawzi sebagaimana yang dikutip Idri dalam bukunya Studi Hadis:
وَأمَّا حَدِيثُ اَنَسٍ اَنْـبَأَنَا عَبدُ الوَهاَّبِ الحَافِظُ قَالَ اَنـبَأنَا ابنُ الـمُظَفَّرِ قَالَ اَنـبَأنَا العَتِيقِى قَالَ اَنـبَأنَا بنُ الدَّخِيلِ قَالَ حَدَّثَنَا العُقَيــلِى قَالَ حَدَّثَنَا اَحمَدُ بنُ مُحَمَّدِ بنِ الحَجاَّجِ قَالَ حَدَّثَنَا اَحمَدُ بنِ الاَشعَثِ عَن دَاوُدَ بنِ الـمُحبِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مَيسَرَةُ بنِ عَبدِ رَبِّهِ عَن مُوسَى بنِ عُبَيدَةِ عَنِ الزُّهرِى عَن اَنَسِ بنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهَ صلى الله عليه وسلم: مَن كَانَت لهُ سَخِيمَةٌ مِن عَقلٍ وَغَرِيرَةٍ يَقِينٍ لم تَضُرُّهُ ذُنُوبَهُ شيأٌ، قِيلَ وَكَيفَ ذَاكَ يَارَسُولَ اللهِ؟ قَالَ لِأنَّهُ كُلَّمَا اَخطاءَ لم يَلبَث اَن يَتُوبَ تَوبَةً تَمحُو ذُنُوبَهُ وَيَبقَى لَهُ فَضلٌ يَدخُلُ بِهِ الـجَنَّةَ فَلِلعَقلِ نَجَاةٌ بِطاعَةِ اللهِ وَحُجَّةِ عَلى اَهلِ مَعصِيَةِ اللهِ
Pada sanad hadis ini terdapat periwayat yang bernama Maysarah bin ‘Abd Rabbih, seorang yang pernah mengaku membuat hadis palsu dan dia dinilai sebagai pendusta. Sedangkan hadis yang nilai palsu dari segi matan misalnya, hadis yang bertentangan dengan ijma’ yang dinyatakan dari Abu Umamah dari Nabi:
عَن أبِى اُماَمَةَ قَالَ سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: لاَ يُكتَبُ عَلىَ ابنِ آدَمَ ذَنبٌ اَربَعِينَ سَنَةً إذَا كَانَ مُسلِمًا، ثـمَّ تَلَا (حَتَّى اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهُ وَبَلَغَ اَربَعِينَ سَنَةً)
Hadis ini dinyatakan palsu oleh Ibn al-Jawzi karena bertentangan dengan ijma’ umat Islam.[29]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Penulis dapat mengambil kesimpulan tentang hadis mawdhū’ yaitu:
1.    Secara etimologi (bahasa), hadis mawdhū’ merupakan bentuk isim maf’ūl dari kata وضع yang memiliki makna menggugurkan meninggalkan, dan mengada-ada. Sedangkan secara terminologi hadis mawdhū’ adalah Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.
2.    Ada banyak sebab munculnya hadits mawdhū’, namun sebab yang paling menonjol dalam sejarah ilmu hadits adalah sebagai berikut: (a) pertikaian politik (b)  siasat musuh-musuh Islam (c) primordialisme dan chauvinisme (d) kontroversi madzhab fiqh dan kalam (e) kultus individu (f) pembuatan cerita (g) motivasi kebaikan dan agama.
3.    Sebagian cara untuk menyelamatkan hadis dari pemalsuan adalah dengan memahami sanad, meningkatkan kegiatan keilmuan dan penelitian hadis, menindak tegas para pemalsu hadis, mengenal para periwayat hadis, memahami kriteria-kriteria hadis palsu.
4.    Memahami kriteria-kriteria hadis adalah dengan memahami kriteria sanad dan kriteria matan.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad & Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Dzahabī, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman. 1994. Tartīb al-Mawdhū‘āt. Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Khatīb, Muhammad ‘Ajjāj. 1988. al-Sunnah Qabl al-Tadwīn. al-Qāhirah: Maktabah Wahbah.

Al-Khatīb, Muhammad ‘Ajjāj. 1971. Ushūl al-Hadīts ‘Ulumuh wa Musthalahuh. t.tp.: Dār al-Fikr.

Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Sibā‘ī, Musthafā. t.t.. al-Sunnah wa Makanatuhā fī al-Tasyry‘ī. t.tp.: Dār al-Warrāq.

Idri. 2013. Studi Hadis. Jakarta: Prenada Media Grup.

Khon, Abdul Majid. 2011. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahu'l Hadits. Bandung: PT. Alma'arif.

Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Wijaya, Utang Ranu. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.




[1]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 167.
[2]Muhammad Ahmad & Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 152.
[3]Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, Ushūl al-Hadīts ‘Ulumuh wa Musthalahuh (t.tp.: Dār al-Fikr, 1971), 415.
[4]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu'l Hadits (Bandung: PT. Alma'arif, 1974), 168.
[5]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 141 – 142.
[6]Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), 248.
[7]Ibid., 249.
[8]Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 189.
[9]Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, al-Sunnah Qabl al-Tadwīn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1988), 188.
[10]Idri, Studi Hadis, 255.
[11]Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabī, Tartīb al-Mawdhū‘āt (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 112.
[12]Ibid., 91.
[13]al-Khatīb, al-Sunnah, 206-207.
[14]Ibid., 207.
[15]al-Dzahabī, Tartīb al-Mawdhū‘āt, 76.
[16]al-Khatīb, al-Sunnah, 208-209.
[17]Ibid., 215-216.
[18]Ibid., 216.
[19]al-Khatīb, al-Sunnah, 198-199.
[20]Musthafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makanatuhā fī al-Tasyry‘ī (t.tp.: Dār al-Warrāq, t.t.), 103.
[21]al-Khatīb, al-Sunnah, 216-217.
[22]Ibid., 213-214.
[23]Khon, Ulumul Hadis, 213.
[24]Ibid., 214.
[25]Rahman, Ikhtishar, 182.
[26]Ibid., 183.
[27]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), 192.
[28]Idri, Studi Hadis, 270.
[29]Ibid., 271-273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar