Kamis, 09 Juli 2015

ILMU AL-JARH WA AL-TA'DIL (Ilmu Kritik Hadist)

ILMU AL-JARH WA AL-TA'DIL (Ilmu Kritik Hadist)


MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadis yang dibina oleh
Bapak Prof. Dr. H. Idri, M.Ag






Oleh:
RP. MOHAMMAD IMAM ABROR
NIM. 18201521027




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN

MEI 2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah mencurahkan segala rahmat, hidayat serta maunah nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas pembuatan makalah untuk memenuhi matakuliyah Studi Hadis yang di ampu oleh Prof. Dr.Idri.M.Ag. Solawat beriring salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhammab SAW, karena nya telah membawa cahaya ilahiyah untuk menerangi jalan manusia yang fana dengan agama islam.
Sebagai manusia yang tak luput dari kesalah dan lupa,maka tentulah dalam penulisan makalah ini sangat besar kemungkinan terdapat kekurangan baik dari segi penulisan ataupun isi dan sebagainya, oleh karena itulah maka penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari para pembaca guna perbaikan untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan sebagai kata pengantar, penulis sangat berharap semoga isi makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan dapat memperkaya keilmuan kita dalam Studi Hadist. Atas semuanya penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terbatas, bagi semua pihak yang telah membantu dalam terselesainya penulisan ini, Jazakumullah Khaira lJaza'.

Pamekasan, 30Mei 2015

RP. MOHAMMAD IMAM ABROR




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I  PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     RumusanMasalah.................................................................................. 1
C.     TujuanPenulisan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A.    Pengertian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.................................................... 3
B.     Objek ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil............................................................ 3
C.     Sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.......................................................... 5
D.    Konseps dan redaksi  ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil................................... 7
BAB III PENUTUP......................................................................................... 12
A.    KESIMPULAN................................................................................... 12
B.     SARAN................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hadist merupakan sumber hukum dan pedoman setelah al-Qur'an, tetapi pada kenyataannya terdapat berbagai polemik dalam penulisan hadist. hal ini terjadi karena tidak ada pencatatan hadist pada zaman rasulullah. Nabi melarang penulisan hadist karena ditakutkan akan tercampur dengan al-Qur'an. Sehingga setelah rasulullah meninggal terdapat berbagai hadist yang diragukan integritasnya. Apalagi pada saat itu juga terdapat berbagai macam hadist yang ternyata sengaja di buat atau hadist palsu hanya untuk memperkuat argument semata.
Setelah nabi Muhammad wafat, hadist yang diyakini kemurniannya telah mendapat banyak keraguan di kalangan umat islam selain karna temuan adanya beberapa hadist palsu. Hal ini akan berdampak banyaknya penyelewengan dan menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan umat islam. Keadaan yang tidak stabil umat islam umat islam terpecah menjadi beberapa golongan, untuk memenuhi kepentingan golongan maka mereka berupaya mendatangkan keterangan (hijjah) maka mereka berupaya membuat hadist-hadist palsu.
Para ulama islam mulai tergerak untuk memulihkan kondisi umat islam yang mulai terpengaruh oleh adanya hadist palsu yang ingin memecah belah kesatuan umat islam. oleh karena hal tersebut mulailah para ulama memberikan perhatian lebih dengan mengadakan pengkajian terhadap hadist yang beredar dimasyarakat luas. Agar masyarakat tidak menjadi korban akan adanya hadist palsu tersebut. 




B.       Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dan kegunaan ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil?
2.      Apa saja objek penelitian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil  dilihat dari periwayat hadist, kritikus periwayat dan metodenya?
3.      Bagaimana sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil ?
4.      Bagaimana konsepsi dan redaksi kritik ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil?
C.       Tujuan peneitian
1.      Untuk mengetahui  definisi dan kegunaan ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.
2.      Untuk mengetahui objek penelitian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil  dilihat dari periwayat hadist, kritikus periwayat dan metodenya.
3.      Untuk mengetahui  sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.
4.      Untuk mengetahui  konsepsi dan redaksi kritik ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Kalimat al-Jarh wa al-Ta'dil berasal dari dua kata yaitu al-Jarh dan al-Ta'dil, kata al-Jarh berasal dari bentuk mashdar, dari kata jaraha-yajharu yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang diitandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[1]  Dalam pengertian lain dikatakan ilmu al-jarh secara bahasa berarti luka, cela atau cacat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Sedangkan at-ta'dil secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), sedangkan menurut istilah  berarti lawan dari al- jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabith.[2]
Ilmu al-jarh wa at-ta'dil sangatlah penting karena dapat di pergunakan  untuk menetapkan apakah apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.  Apabila seorang rawi "di-jarh" oleh para ahli hadist sebagai rawi yang cacat, maka perawinya arus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain bisa dipenuhi. Jika ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil tidak dipelajari maka tidak akan mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat dan akan menganggap semua hadist itu sama sehingga akan mencampur adukkan antara hadist yang benar2 dari Rasulullah dengan hadist maudhu' tetapi dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil, maka akan dapat menyeleksi mana hadist shahih, hasan, atau hadist dhaif, terutama dari segi kualitas rawi.




B.       Objek ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Untuk mgetahui lebih mendalam kajian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil maka harus mengetahui terlebih dahulu objeknya dilihat dari periwayat hadist dan kritikus hadist,   baik dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya, dan metode periwayatan.
1.        Periwayat hadist
Menurut ulama' seorang rawi dapat diterima riwayatnya apabila dapat memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Orang islam yang berakal
b). Telah sampai umur (baligh)
c). Bersih dari sebab yang memfasiqkan
d). Bersih dari muru'ah
e). Seorang yang berhati-hati tidak lengah
f). Hafal dan faham apa yang diriwayatkan (dabith).[3]
2.        Kritikus periwayat hadist
Krtikus hadist atau orang yang ingin men-ta'dil-kan atau men-takhrij-kan haruslah memiliki syarat-syarat tertentu, agar tidak hanya bisa melihat kecacatan orang lain melainkan juga harus bersih dari cacat tersebut. Berikut adalah syarat kritikus hadist:
a).  Berilmu pengetahuan (agama isam, hadist, bahasa arab dll)
b).  Taqwa (memelihara dari muru'ah)
c). Wara' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, Syubhat,  dosat-dosa kecil)
d).   Jujur
e).   Menjauhi fanatik golongan
f).   Mengetahui sebab-sebab untuk men-taˊdhil-kan dan men-tahrij-kan[4]

g). Tsiqah (terpercaya) mewakili karakter periwayat yang adil (terjaga kapasitas dirinya)
h)    Dabith (terpelihara kualitas intelektualnya).[5]
3.    Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan dua ketetapan
Pertama, dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dekenal sebagai seorang yang adil atau biasa disebut dengan (bisy-syuhrah)
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula orang yang di-ta'dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Kecacatan seorang rawi juga dapat diketahui dengan dua ketetapan
Pertama, berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam celanya (aib). Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Kedua, berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah memenuhi sebab-sebab ia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang Muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus di-tarjih oleh dua orang laki-laki.[6]

C.       Sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Pada masa nabi hadist tidak terlalu menjadi problematika karena pada masa itu Rasulullah masih hidup. Akan tetapi rasulullah menyam paikan hadist kepada siapa saja dan dimana saja dan keberadaan rasulullah mempermudah para sahabat dalam mengklarifikasi hadist.
Hadist nabi tidak hanya diterima para sahabat dalam perkumpulan atau pada saat dakwah nabi, akan tetapi siapapun dapat menerima hadist nabi terlebih jika ada permasalahan dan yang berkepentingan mendatangi nabi untuk mendapatkan solusi atau ketika penduduk merasa ada hal yang perlu dipahami baik soal agama atau hukum maka mereka mendatangi nabi. Pada saat itulah mereka dapat menerima hadist yang disampaikan rasulullah
Penerimaan hadist dapat dilakukan dengan dua cara pertama, yang bersumber langsung dari rasulullah. Kedua, mendapatkan hadist yang berasal dari  sahabat nabi. Cara yang kedua ini mendapatkan perhatian (kritik) dari para sahabat nabi karena berasal dari sahabat kepada sahabat yang lain. Oleh karena itu para sahabat yang menerima hadist dari tipe yang kedua ini memunculkan sikap yang berbeda jika hadist yang disampaikan memiliki perbedaan dengan al-Qur'an atau memiliki pertentangan dari hadist yang lain, sahabat ada yang mendiamkan tanpa berkomentar dan menerimanya adapula yang mengingkari bahkan mengkritiknya, karena dinilai sebagai kesalahan sahabat tersebut.[7]
Setelah nabi Muhammad saw wafat, terdapat banyak perselisihan antara kaum muslimin bahkan polemik terjadi karena mencari siapa yang paling tepat pengganti nabi. Hadist dalam hal ini juga banyak terjadi pertentangan. Para sahabat semakin gencar melaksanakan kritik hadist dan diantara sahabat yang memiliki perhatian khusus pada masalah hadist ini iala Ibn 'Abbas, Anas ibn  Malik, dan "Ubbadah ibn Shamit yang sangat dikenal sebagai pengkritik hadist. Perhatian terhadap hadist semakin intensif manakala terjadi permasalahn dibidang politik antara 'Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah.[8]
Keadaan ini sangat merugikan umat muslim sehingga umat muslim terpecah menjadi beberapa golongan dan setiap golongan memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. Golongan-golongan tersebut memiliki segala cara demi tercapainya tujuan tersebut sehingga mereka juga melakukan pendustaan dengan hujjah yang berasal dari hadist plasu.
Begitu juga pada masa tabi'in para ulama lebih intensif lagi dalam melkukan kritik hadis, karena keadaan hadist pada saat itu lebih parah dari keadaan pada masa sahabat. Hadist yang dipalsukan meluas pada setiap sendi-sendi kehidupan. Para tabi'in apabila mendengar sebuah hadist yang terasa baru ia dengar maka ia akan mengecek pada para perawinya.  Kebanyakan dari tabi'in yang mendengar hadist dari luar sahabat maka ia akan mengeceknya pada sahabatnya bahkan tabi'in yang umurnya lebih muda apabila mendengar hadist ia akan langsung mengeceknya pada tabi'in yang lebih tua. Hal ini terus menerus dilakukan guna meminimalisir dan mengantisipasi adanya hadist palsu.
Keadaan ini terus berlangsung pada generasi-generasi setelahnya, sehingga para ulama' hadist banyak mengadakan kritik hadist dan melahirkan literature-literatur yang memuat tentang kritik hadist atau yang lebih familiar disebut dengan  ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.  
  
D.      Konseps dan redaksi  ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Konsep al-jarh wa ta’dil terdapat pada lafazh-lafazh yang di gunakan untuk men-tarjih dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam an-Nawawi, lafazh-lafazh disusun menjadi 4 tingkatan, menurut al-hafidz ad-Dzahaby dan al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan sedangkan Ibnu hajar menyusun menjadi 6 tingkatan,
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebih rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung arti sejenis. Misalnya:
·         Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
·         Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
·         Orang yang paling menonjol keteguhan hati dan akidahnya.
·         Orang tsiqat melebihi orang tsiqat.
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an dan rawi yang membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabith-tannya,  sifat yang di hubungkan itu selafazh (dengan mengulangkannya) maupun semakna, misalnya:
·         Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya
·         Orang yang tsiqah lagi tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya
·         Orang yang ahli (lagi) petah lidhnya.
·         Orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hafalannya
·         Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
·         Orang yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti “kuat ingatan” misalnya :
·         Orang yang teguh (hati-hati lidahnya)
·         Orang yang meyakinkan ilmunya
·         Orang yang tsiqah
·         Orang yang hafizh (kuat hafalannya)
·         Orang yang patah lidahnya
Tingkatan ke empat, menjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti  “kuat ingatan” dan ‘adil (tsiqah), misalnya:
·         Orang yang sangat jujur
·         Orang yang dapat memegang amanat
·         Orang yang tidak cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya:
·         Orang yang sangat jujur
·         Orang yang dapat memegang amanat
·         Orang yang tidak cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabith-an, misalnya:
·         Oang yang berstatus jujur
·         Orang yang baik hadistnya
·         Orang yang bagus hadisnya
·         Orang yang hadistnya berdekatan dengan hadist lain yang tsiqah
Ingkatan keenam, menunjukkan arti “mendekati cacat”. Sepert sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “Insya Allah”, atau lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
·         Orang yang jujur, Insya Allah
·         Orang yang diharapkan tsiqah
·         Orang yang sedikit kesalehannya
·         Orang yang diterima hadist-hadistnya
Para ahli ilmu mempergnkan hadist-hadist yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan ke empat sebagai hujjah. Adapun hadist-hadist para rawi yang ditulis, baru dapat dipergunakan bila di kuatkan oleh hadist periwayat lain.
Kemudian tingkatan lafazh-lafazh untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu:
Tingkatan perama, menunjukkan pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafazh-lafazh ‘af’alu’ al-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya misalnya :
·         Orang yang paling dusta
·         Orang yang paling bohong
·         Orang yang paling menonjol kebohongannya
Tingkatan kedua, menunjukan sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafazh berbentuk Tsigat Mballaghah.
·      Orang yang pembohong
·      Orang  yang pendusta
·       Orang yan penipu
Tingkatan ketiga, menunjuka pada tuduhan duta, bohong atau sebagainya, misalnya :
·         Orang yang dituduh bohong
·         Orang yang dituduh dusta
·         Orang yang perlu diteliti
·         Orang yang gugur
·         Orang yang hadistnya telah hilang
·         Orang yang ditinggalkan hadistnya
Tingkatan keempat, menunjukkansangat lemahnya, misalnya :
·         Orang yang dilempar hadistnya
·         Orang yang lemah
·         Orang yang ditolak hadistnya
Tingkatan kelima, menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya :
·         Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadistnya
·         Orang yang tidak dapat dikenal identitasnya
·         Orang yang mungkar hadistnya
·         Orang yang kacau hadistnya
·         Orang yang banyak duga-duga
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan ‘adil misalnya :
·         Orang yang di-dhaif-kan hadistnya
·         Orang yang diperbincangkan
·         Orang yang disingkiri
·         Orang yang lunak
·         Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadistnya
·         Orang yang tidak kuat
Orangg di- tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat pertama sampai tingkat ke empat, hadistnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam, hadistnya masih dapat dipakai sebagai I’tibar (tempat pembanding).[9]
Adapun mengenai redaksi, ulama memiliki perbedaan pendapat tentang jumlah redaksi untuk berpegang baik secara syahadah atau kesaksian, maupun riwayat sebagai berikut:
1.      Dalam men-ta'dil-kan dapat diterima baik dalam syahadah (kesaksian) maupun dalam hal riwayat apabila dari perkataan dua orang redaksi. Hal ini dikemukakan oleh kebanyakan fuqaha madinah dan yang lainnya.
2.      Sedangakan menurut al-Qadhi Abu bakar al-Baqillany, cukup dengan satu orang redaksi baik dalam bidang syahadah ataupun dalam bidang riwayat. Menurutnya tadzkiyah itu sama dengan membawa khabar.
3.      Membedakan antara syahadah dengan riwayat yakni untuk syahadah maka harus dua orang sedangkan untuk riwayat cukup dengan satu orang. [10]
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adanya al-jarah wa ta’dil sangat bermanfaat sekali bagi ummat muslim, agar hadist tetap terjaga dengan mengetahui sifat dalam diri rawi  yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatanya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diteima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist terpenuhi.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan memcampur adukkan antara hadist yang benar-benar dari Rasulullah dan hadist yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksinmana hadist sahih, hasan, ataupun hadist dhaif, terutama dari segi kualtas rawi, bukan dari mathannya.
Untuk bisa men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan maka harus sesuai dengan kriteria syarat yang ditentukan seperti harus: 1. Berilmu luas, 2. Takwa, 3. Wara’ (orang yang sellu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat), 4. Jujur, 5, menjauhi fanatic golongan, 5. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
B.     Saran
Penulis menyaadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis memohon saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaan makalah penulis berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Fachrur, Rahman. 1991.  Ikhtisar Mushthahul Hadist, Bandung: PT. Alma'arif.
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad. 2009. Sejarah dan pengantar ilmu hadist, semarang: PT.Pustaka Rizki.
Idri. 2013. Studi Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Solahuddin,  Agus dk. 2009. Ulumul Hadist, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo.







[1] Agus  Solahuddin dk, Ulumul Hadist, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009 ), 157.
[2] Munzier Suparta, Ilmu hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), 31.

[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu hadist, (semarang: PT.Pustaka Rizki, 2009), 283
[4] Fachrur Rahman, Ikhtisar Mushthahul Hadist, (Bandung: PT. Alma'arif, 1991), 271
[5] Idri, Studi Hadist, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 297.
[6] Agus  Solahuddin dk, Ulumul Hadist, 150



[7] Idri, Studi Hadist, 287.
[8]  Ibid
[9]   Agus  Solahuddin dk, Ulumul Hadist, 168
[10] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu hadist, 285
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar