ILMU AL-JARH
WA AL-TA'DIL (Ilmu Kritik Hadist)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadis yang dibina oleh
Studi Hadis yang dibina oleh
Bapak Prof. Dr. H. Idri, M.Ag
Oleh:
RP.
MOHAMMAD IMAM ABROR
NIM.
18201521027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
MEI 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah mencurahkan segala rahmat,
hidayat serta maunah nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas pembuatan makalah
untuk memenuhi matakuliyah Studi Hadis yang di ampu oleh Prof. Dr.Idri.M.Ag. Solawat
beriring salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhammab SAW, karena
nya telah membawa cahaya ilahiyah untuk menerangi jalan manusia yang
fana dengan agama islam.
Sebagai manusia yang tak luput dari kesalah dan lupa,maka tentulah dalam
penulisan makalah ini sangat besar kemungkinan terdapat kekurangan baik dari segi
penulisan ataupun isi dan sebagainya, oleh karena itulah maka penulis sangat mengharapkan
kritik serta saran yang membangun dari para pembaca guna perbaikan untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan sebagai kata pengantar,
penulis sangat berharap semoga isi makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
dan dapat memperkaya keilmuan kita dalam Studi Hadist. Atas semuanya penulis mengucapkan
terimakasih yang tiada terbatas, bagi semua pihak yang telah membantu dalam terselesainya
penulisan ini, Jazakumullah Khaira lJaza'.
Pamekasan, 30Mei 2015
RP. MOHAMMAD IMAM ABROR
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
RumusanMasalah.................................................................................. 1
C.
TujuanPenulisan.................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................ 3
A.
Pengertian ilmu al-Jarh wa
al-Ta'dil.................................................... 3
B.
Objek ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil............................................................ 3
C.
Sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.......................................................... 5
D.
Konseps dan redaksi ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil................................... 7
BAB III PENUTUP......................................................................................... 12
A.
KESIMPULAN................................................................................... 12
B.
SARAN................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadist merupakan sumber hukum dan pedoman
setelah al-Qur'an, tetapi pada kenyataannya terdapat berbagai polemik dalam
penulisan hadist. hal ini terjadi karena tidak ada pencatatan hadist pada zaman
rasulullah. Nabi melarang penulisan hadist karena ditakutkan akan tercampur
dengan al-Qur'an. Sehingga setelah rasulullah meninggal terdapat berbagai
hadist yang diragukan integritasnya. Apalagi pada saat itu juga terdapat
berbagai macam hadist yang ternyata sengaja di buat atau hadist palsu hanya
untuk memperkuat argument semata.
Setelah nabi Muhammad wafat, hadist yang
diyakini kemurniannya telah mendapat banyak keraguan di kalangan umat islam selain
karna temuan adanya beberapa hadist palsu. Hal ini akan berdampak banyaknya
penyelewengan dan menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan umat islam.
Keadaan yang tidak stabil umat islam umat islam terpecah menjadi beberapa
golongan, untuk memenuhi kepentingan golongan maka mereka berupaya mendatangkan
keterangan (hijjah) maka mereka berupaya membuat hadist-hadist palsu.
Para ulama islam mulai tergerak untuk
memulihkan kondisi umat islam yang mulai terpengaruh oleh adanya hadist palsu
yang ingin memecah belah kesatuan umat islam. oleh karena hal tersebut mulailah
para ulama memberikan perhatian lebih dengan mengadakan pengkajian terhadap
hadist yang beredar dimasyarakat luas. Agar masyarakat tidak menjadi korban
akan adanya hadist palsu tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan kegunaan ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil?
2. Apa saja objek penelitian ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil dilihat dari periwayat
hadist, kritikus periwayat dan metodenya?
3. Bagaimana sejarah ilmu al-Jarh wa
al-Ta'dil ?
4. Bagaimana konsepsi dan redaksi kritik ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil?
C. Tujuan peneitian
1.
Untuk mengetahui definisi dan kegunaan ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil.
2.
Untuk mengetahui objek penelitian ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil dilihat dari periwayat
hadist, kritikus periwayat dan metodenya.
3.
Untuk mengetahui
sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.
4.
Untuk mengetahui
konsepsi dan redaksi kritik ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ilmu al-Jarh wa
al-Ta'dil
Kalimat al-Jarh wa al-Ta'dil
berasal dari dua kata yaitu al-Jarh dan al-Ta'dil, kata al-Jarh
berasal dari bentuk mashdar, dari kata jaraha-yajharu yang
berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang diitandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu.[1]
Dalam pengertian lain dikatakan
ilmu al-jarh secara bahasa berarti luka, cela atau cacat adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan
dan kedhabitannya. Sedangkan at-ta'dil secara bahasa berarti at-tasywiyah
(menyamakan), sedangkan menurut istilah
berarti lawan dari al- jarh yaitu pembersihan atau
pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabith.[2]
Ilmu al-jarh wa at-ta'dil
sangatlah penting karena dapat di pergunakan
untuk menetapkan apakah apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang rawi "di-jarh" oleh para ahli
hadist sebagai rawi yang cacat, maka perawinya arus ditolak. Sebaliknya, bila
dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain bisa
dipenuhi. Jika ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil tidak dipelajari maka
tidak akan mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat dan akan menganggap
semua hadist itu sama sehingga akan mencampur adukkan antara hadist yang benar2
dari Rasulullah dengan hadist maudhu' tetapi dengan mengetahui ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil, maka akan dapat menyeleksi mana hadist shahih, hasan,
atau hadist dhaif, terutama dari segi kualitas rawi.
B. Objek ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Untuk mgetahui lebih mendalam kajian ilmu al-Jarh
wa al-Ta'dil maka harus mengetahui terlebih dahulu objeknya dilihat dari
periwayat hadist dan kritikus hadist,
baik dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya, dan metode
periwayatan.
1.
Periwayat hadist
Menurut ulama' seorang rawi dapat diterima
riwayatnya apabila dapat memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Orang islam yang berakal
b). Telah sampai umur (baligh)
c). Bersih dari sebab yang memfasiqkan
d). Bersih dari muru'ah
e). Seorang yang berhati-hati tidak lengah
f). Hafal dan faham apa yang diriwayatkan (dabith).[3]
2.
Kritikus periwayat hadist
Krtikus hadist atau orang yang ingin men-ta'dil-kan
atau men-takhrij-kan haruslah memiliki syarat-syarat tertentu,
agar tidak hanya bisa melihat kecacatan orang lain melainkan juga harus bersih
dari cacat tersebut. Berikut adalah syarat kritikus hadist:
a).
Berilmu pengetahuan (agama isam, hadist, bahasa arab dll)
b). Taqwa (memelihara dari muru'ah)
c). Wara' (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, Syubhat, dosat-dosa
kecil)
d). Jujur
e). Menjauhi fanatik golongan
f). Mengetahui
sebab-sebab untuk men-taˊdhil-kan dan men-tahrij-kan[4]
g). Tsiqah
(terpercaya) mewakili karakter periwayat yang adil (terjaga kapasitas dirinya)
h)
Dabith (terpelihara kualitas intelektualnya).[5]
3. Metode untuk mengetahui keadilan dan
kecacatan rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan
dua ketetapan
Pertama, dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia
dekenal sebagai seorang yang adil atau biasa disebut dengan (bisy-syuhrah)
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu
ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula orang yang
di-ta'dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Kecacatan seorang rawi juga dapat diketahui
dengan dua ketetapan
Pertama, berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam celanya
(aib). Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang yang fasik atau pendusta
dikalangan masyarakat, tidak perlu dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu
sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Kedua, berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah
memenuhi sebab-sebab ia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang Muhadditsin,
sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus di-tarjih oleh
dua orang laki-laki.[6]
C.
Sejarah ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Pada masa nabi hadist tidak terlalu menjadi
problematika karena pada masa itu Rasulullah masih hidup. Akan tetapi
rasulullah menyam paikan hadist kepada siapa saja dan dimana saja dan
keberadaan rasulullah mempermudah para sahabat dalam mengklarifikasi hadist.
Hadist nabi tidak hanya diterima para sahabat
dalam perkumpulan atau pada saat dakwah nabi, akan tetapi siapapun dapat
menerima hadist nabi terlebih jika ada permasalahan dan yang berkepentingan
mendatangi nabi untuk mendapatkan solusi atau ketika penduduk merasa ada hal
yang perlu dipahami baik soal agama atau hukum maka mereka mendatangi nabi.
Pada saat itulah mereka dapat menerima hadist yang disampaikan rasulullah
Penerimaan hadist dapat dilakukan dengan dua
cara pertama, yang bersumber langsung dari rasulullah. Kedua, mendapatkan
hadist yang berasal dari sahabat nabi.
Cara yang kedua ini mendapatkan perhatian (kritik) dari para sahabat nabi
karena berasal dari sahabat kepada sahabat yang lain. Oleh karena itu para
sahabat yang menerima hadist dari tipe yang kedua ini memunculkan sikap yang
berbeda jika hadist yang disampaikan memiliki perbedaan dengan al-Qur'an atau
memiliki pertentangan dari hadist yang lain, sahabat ada yang mendiamkan tanpa
berkomentar dan menerimanya adapula yang mengingkari bahkan mengkritiknya,
karena dinilai sebagai kesalahan sahabat tersebut.[7]
Setelah nabi Muhammad saw wafat, terdapat
banyak perselisihan antara kaum muslimin bahkan polemik terjadi karena mencari
siapa yang paling tepat pengganti nabi. Hadist dalam hal ini juga banyak
terjadi pertentangan. Para sahabat semakin gencar melaksanakan kritik hadist
dan diantara sahabat yang memiliki perhatian khusus pada masalah hadist ini
iala Ibn 'Abbas, Anas ibn Malik, dan
"Ubbadah ibn Shamit yang sangat dikenal sebagai pengkritik hadist.
Perhatian terhadap hadist semakin intensif manakala terjadi permasalahn
dibidang politik antara 'Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah.[8]
Keadaan ini sangat merugikan umat muslim
sehingga umat muslim terpecah menjadi beberapa golongan dan setiap golongan
memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. Golongan-golongan tersebut
memiliki segala cara demi tercapainya tujuan tersebut sehingga mereka juga
melakukan pendustaan dengan hujjah yang berasal dari hadist plasu.
Begitu juga pada masa tabi'in para ulama
lebih intensif lagi dalam melkukan kritik hadis, karena keadaan hadist pada
saat itu lebih parah dari keadaan pada masa sahabat. Hadist yang dipalsukan
meluas pada setiap sendi-sendi kehidupan. Para tabi'in apabila mendengar sebuah
hadist yang terasa baru ia dengar maka ia akan mengecek pada para
perawinya. Kebanyakan dari tabi'in yang
mendengar hadist dari luar sahabat maka ia akan mengeceknya pada sahabatnya
bahkan tabi'in yang umurnya lebih muda apabila mendengar hadist ia akan
langsung mengeceknya pada tabi'in yang lebih tua. Hal ini terus menerus
dilakukan guna meminimalisir dan mengantisipasi adanya hadist palsu.
Keadaan ini terus berlangsung pada
generasi-generasi setelahnya, sehingga para ulama' hadist banyak mengadakan
kritik hadist dan melahirkan literature-literatur yang memuat tentang kritik
hadist atau yang lebih familiar disebut dengan
ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil.
D. Konseps dan redaksi ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Konsep al-jarh wa ta’dil
terdapat pada lafazh-lafazh yang di gunakan untuk men-tarjih dan men-ta’dil-kan
itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam an-Nawawi,
lafazh-lafazh disusun menjadi 4 tingkatan, menurut al-hafidz ad-Dzahaby dan
al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan sedangkan Ibnu hajar menyusun menjadi 6
tingkatan,
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang
mengandung kelebih rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu
al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung arti sejenis. Misalnya:
·
Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat
hafalannya.
·
Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
·
Orang yang paling menonjol keteguhan hati dan akidahnya.
·
Orang tsiqat melebihi orang tsiqat.
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an
dan rawi yang membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabith-tannya, sifat yang di hubungkan itu selafazh (dengan
mengulangkannya) maupun semakna, misalnya:
·
Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam
pendiriannya
·
Orang yang tsiqah
lagi tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya
·
Orang yang ahli
(lagi) petah lidhnya.
·
Orang yang teguh
(lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hafalannya
·
Orang yang hafidz
(lagi) petah lidahnya.
·
Orang yang kuat
ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang
mengandung arti “kuat ingatan” misalnya :
·
Orang yang teguh (hati-hati lidahnya)
·
Orang yang meyakinkan ilmunya
·
Orang yang tsiqah
·
Orang yang hafizh (kuat hafalannya)
·
Orang yang patah lidahnya
Tingkatan ke empat, menjukkan keadilan
dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti “kuat ingatan” dan ‘adil (tsiqah),
misalnya:
·
Orang yang sangat jujur
·
Orang yang dapat memegang amanat
·
Orang yang tidak cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan
kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya:
·
Orang yang sangat jujur
·
Orang yang dapat memegang amanat
·
Orang yang tidak cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan
kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabith-an, misalnya:
·
Oang yang berstatus jujur
·
Orang yang baik hadistnya
·
Orang yang bagus hadisnya
·
Orang yang hadistnya berdekatan dengan hadist lain yang
tsiqah
Ingkatan keenam, menunjukkan arti “mendekati
cacat”. Sepert sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “Insya Allah”,
atau lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu
dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
·
Orang yang jujur,
Insya Allah
·
Orang yang diharapkan
tsiqah
·
Orang yang sedikit
kesalehannya
·
Orang yang diterima
hadist-hadistnya
Para ahli ilmu mempergnkan hadist-hadist yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan ke
empat sebagai hujjah. Adapun hadist-hadist para rawi yang ditulis, baru dapat
dipergunakan bila di kuatkan oleh hadist periwayat lain.
Kemudian tingkatan
lafazh-lafazh untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu:
Tingkatan perama, menunjukkan pada keterlaluan
si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafazh-lafazh ‘af’alu’ al-tafdil
atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya misalnya :
·
Orang yang paling
dusta
·
Orang yang paling
bohong
·
Orang yang paling
menonjol kebohongannya
Tingkatan kedua, menunjukan sangat cacat dengan
menggunakan lafazh-lafazh berbentuk Tsigat Mballaghah.
· Orang yang pembohong
· Orang yang
pendusta
· Orang yan
penipu
Tingkatan ketiga, menunjuka pada tuduhan duta, bohong atau sebagainya,
misalnya :
·
Orang yang dituduh
bohong
·
Orang yang dituduh
dusta
·
Orang yang perlu
diteliti
·
Orang yang gugur
·
Orang yang hadistnya
telah hilang
·
Orang yang
ditinggalkan hadistnya
Tingkatan keempat,
menunjukkansangat lemahnya, misalnya :
·
Orang yang dilempar
hadistnya
·
Orang yang lemah
·
Orang yang ditolak
hadistnya
Tingkatan kelima, menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi
mengenai hafalannya, misalnya :
·
Orang yang tidak
dapat dibuat hujjah hadistnya
·
Orang yang tidak
dapat dikenal identitasnya
·
Orang yang mungkar
hadistnya
·
Orang yang kacau
hadistnya
·
Orang yang banyak duga-duga
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan
sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan
dengan ‘adil misalnya :
·
Orang yang di-dhaif-kan hadistnya
·
Orang yang diperbincangkan
·
Orang yang disingkiri
·
Orang yang lunak
·
Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadistnya
·
Orang yang tidak kuat
Orangg di- tajrih menurut tingkat
pertama sampai dengan tingkat pertama sampai tingkat ke empat, hadistnya tidak
dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang yang di-tajrih-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam, hadistnya masih dapat dipakai sebagai I’tibar
(tempat pembanding).[9]
Adapun mengenai redaksi, ulama memiliki
perbedaan pendapat tentang jumlah redaksi untuk berpegang baik secara syahadah
atau kesaksian, maupun riwayat sebagai berikut:
1. Dalam men-ta'dil-kan dapat diterima
baik dalam syahadah (kesaksian) maupun dalam hal riwayat apabila dari
perkataan dua orang redaksi. Hal ini dikemukakan oleh kebanyakan fuqaha madinah
dan yang lainnya.
2. Sedangakan menurut al-Qadhi Abu bakar
al-Baqillany, cukup dengan satu orang redaksi baik dalam bidang syahadah
ataupun dalam bidang riwayat. Menurutnya tadzkiyah itu sama dengan
membawa khabar.
3. Membedakan antara syahadah dengan riwayat
yakni untuk syahadah maka harus dua orang sedangkan untuk riwayat cukup dengan
satu orang. [10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adanya
al-jarah wa ta’dil sangat bermanfaat sekali bagi ummat muslim, agar
hadist tetap terjaga dengan mengetahui sifat dalam diri rawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan
hafalan dan lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Apabila seorang
rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatanya harus
ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya
periwayatannya diteima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist
terpenuhi.
Jika
kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan memcampur
adukkan antara hadist yang benar-benar dari Rasulullah dan hadist yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksinmana
hadist sahih, hasan, ataupun hadist dhaif, terutama dari segi kualtas rawi,
bukan dari mathannya.
Untuk
bisa men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan maka harus sesuai dengan
kriteria syarat yang ditentukan seperti harus: 1. Berilmu luas, 2. Takwa, 3.
Wara’ (orang yang sellu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa
kecil, dan makruhat-makruhat), 4. Jujur, 5, menjauhi fanatic golongan,
5. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
B. Saran
Penulis
menyaadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis memohon
saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaan makalah penulis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fachrur, Rahman. 1991. Ikhtisar
Mushthahul Hadist, Bandung: PT. Alma'arif.
Hasbi
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad. 2009. Sejarah dan pengantar ilmu hadist, semarang:
PT.Pustaka Rizki.
Idri. 2013. Studi
Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Solahuddin,
Agus dk. 2009. Ulumul Hadist, Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Suparta,
Munzier. 2010. Ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
[1]
Agus Solahuddin dk, Ulumul Hadist,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009 ), 157.
[2] Munzier Suparta, Ilmu hadist, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2010), 31.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah
dan pengantar ilmu hadist, (semarang: PT.Pustaka Rizki, 2009), 283
[4] Fachrur
Rahman, Ikhtisar Mushthahul Hadist, (Bandung: PT. Alma'arif,
1991), 271
[5]
Idri, Studi Hadist, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 297.
[7] Idri, Studi
Hadist, 287.
[8] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar