PERIODISASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HADITS
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Studi Ulumul Hadits yang dibina oleh
Prof.
Dr. H. Idri, M.Ag.
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang maha pandai lagi
bijaksana, yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami semua. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahlimpahkan kepada Nabi besar Muhmmad SAW, keluarga,
kerabat, serta orang-orang yang mengikuti sunnahnya.
Alhamdulillah dengan usaha yang kami lakukan dan bimbingan dari dosen
pengajar kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul "Periodisasi
pertumbuhan dan perkembangan hadis".
Rasa terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada dosen pengampu Bapak
Dr. Idri, M.ag. dan teman-teman karena atas bimbingan dan dukungannya makalah
ini dapat tersusun dan terselesaikan.
Kami menyadari makalah yang kami susun ini jauh dari lebih sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan pembuatan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan Makalah...................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW 2
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Besar 5
C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Masa Sahabat Kecil 7
D.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Abad II Hijriyah. 9
E. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah................................................................................................................ 11
F. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah................................................................................................... 12
G. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Pertengahan abad VII sampai Sekarang…………………………….................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 15
A. Kesimpulan ............................................................................................. 15
B. Saran-saran.............................................................................................. 16
DAFTAR RUJUKAN...................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh
hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadits sangat penting sebelum mengkaji secara
lebih jauh tentang ilmu hadits. Mempelajari sejarah hadits sangat diperlukan yaitu dengan cara memeriksa
periode-periode yang telah dilalui oleh hadits (sejarah perkembangannya). Akan tetapi dewasa ini banyak
sekali yang tidak mengetahui sejarah pertumbuhan
dan perkembangan hadits.
Tentunya suatu hal yang tidak sewajarnya apabila umat Islam itu sendiri tidak
mengetahuinya.
Oleh sebab itu di
dalam makalah ini akan kita bahas
tentang periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadits.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW?
2.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Masa Sahabat Besar?
3.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Masa Sahabat Kecil?
4.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Abad II Hijriyah?
5.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah?
6.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah?
7.
Bagaimana Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Hadits Pada Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang?
B.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi
Muhammad SAW
2.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa
Sahabat Besar
3.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa
Sahabat Kecil
4.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Abad II
Hijriyah
5.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Awal
Sampai Akhir Abad III Hijriyah
6.
Untuk mengetahui Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits pada abad IV
sampai pertengahan abad VII Hijriyah
7.
Untuk Mengetahui Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada
Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Hadits pada masa Nabi Muhammad ini disebut dengan ‘Ashr al-Wahyi wa al-Taqwīn’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode ini hadits lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al)
dan penetapan (taqrīr) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’ān untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk
masyarakat Islam.[1]
Periode ini berlangsung selama 23 tahun. Pada
masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadits.
Keadaan seperti ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran Islam.[2] Oleh karenanya
segala apa yang dilihat ataupun disaksikan oleh para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir Beliau merupakan landasan bagi amaliyah
sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Mereka merasa yakin
bahwa Beliau merupakan figur pemimpin yang mampu mengayomi semua kalangan
masyarakat, baik dari golongan masyarakat tingkat yang paling bawah sampai
masyarakat tingkat atas.[3]
Pada periode ini, Nabi memerintahkan kepada para sahabat lebih khusus
kepada sekretarisnya untuk menulis al-Qur’ān setiap wahyu turun kepadanya. Pada
kesempatan yang sama ini Beliau juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain al-Qur’ān.
Rasulullah SAW. bersabda:
لاَتَكْتُبُواعَنِّى
شَيْئًاإِلاَّالْقُرْآنَ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًاغَيْرَاْلقُرْآنِ، فَلْيَمْحُهُ
وَحَدِّثُوْاعَنِّى وَلاَحَرَجَ؛ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
"Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku
selain al-Qur’ān. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’ān
hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang
kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka." (riwayat Muslim).[4]
Maka segala hadits yang diterima oleh para sahabat yang datangnya dari
Rasulullah diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat
khawatir dengan ancaman Beliau untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang
diterimanya.
Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindari adanya
kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan al-Hadits ke dalam
lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān, karena dianggapnya segala yang dikatakan
Rasulullah tersebut adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak
menyaksikan zaman tanzīl (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan
bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara
al-Qur’ān dengan al-Hadits.[5]
Ketika Rasulullah wafat, al-Qur’ān telah dihafal dengan sempurna oleh
para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci al-Qur’ān seluruhnya telah lengkap
ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Sedangkan
penulisan hadits ketika itu kurang memperoleh perhatian dari Rasulullah seperti
halnya al-Qur’ān. Namun, penulisan hadits pada saat itu dilakukan oleh beberapa
sahabat secara tidak resmi, karena penulisan hadits tersebut tidak
diperintahkan langsung oleh Rasulullah seperti halnya dalam penulisan al-Qur’ān.[6]
Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para
sahabat untuk menulis hadits secara tidak resmi. Mereka memahami bahwasanya
larangan Rasulullah menulis hadits adalah ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān. Sedangkan izin Beliau
hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadits
dengan al-Qur’ān dan diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk
diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan atau hafalannya.[7]
Diantara para sahabat yang mencatat hadits Rasulullah dalam
shahifah-shahifahnya adalah: Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah
al-Anshari, Abdullah bin Abi Awfa, Samurah bin Jundub, Ali bin Abi Thalib.[8]
1.
Cara Nabi Muhammad Menyampaikan
Hadits
Cara Nabi Muhammad dalam menyampaikan hadisnya kepada para sahabatnya
tidaklah jauh berbeda dengan cara yang digunakan Beliau ketika mengajarkan al-Qur’ān.
Ada beberapa cara Nabi Muhammad menyampaikan
hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama'ah pada pusat
pembinaannya yang disebut majlis al-Ilmi. Melalui majlis ini para
sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka begitu antusias untuk mengikuti
kegiatan tersebut, dengan banyaknya upaya yang mereka tunjukkan. Salah satunya
diantaranya terkadang mereka bergantian untuk menghadirinya, ketika ia
berhalangan.
Kedua, dalam kesempatan yang lain Rasulullah
juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang yang lain. Hal ini dikarenakan terkadang ketika
Rasulullah SAW mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja, baik secara disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja,
seperti hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-’Ash.
Ketiga, cara lain yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW yaitu dengan melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,
seperti ketika haji wada' dan futuh Makkah.[9]
B.
Hadits Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafā' al-Rāsyidūn)
Pada masa sahabat ini disebut dengan periode Ashr-At-Tatsabbūt wa Al-Iqlāl min Al-Riwāyah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW. wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup
mereka yaitu al-Qur’ān dan hadits (As-sunnah) yang harus dipegangi dalam
seluruh aspek kehidupan umat.[10]
Seperti sabdanya yang berbunyi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوْامَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه
مالك)
"saya tinggalkan untuk kalian dua perkara, niscaya kalian
tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Al-Hakim)
Pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya mereka masih berusaha
membatasinya.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal
mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber tasyri' setelah al-Qur’ān, yang
harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’ān. Oleh karenanya para
sahabat khususnya khulafā' al-rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan
sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha
memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.[11]
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan
sangat hati-hati. Beliau merupakan sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan
sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits.
Peristiwa yang terjadi disaat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar
untuk mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya. Menanggapi
hal tersebut Abu Bakar berkomentar bahwa dia tidak pernah menemukan ketentuan
tersebut dalam al-Qur’ān, sementara dia juga tidak pernah mendengar hadits
Rasulullah tentang hal tersebut. Untuk mencari solusi dari masalah tersebut,
kemudian Abu Bakar mempertanyakan kepada para sahabat lainnya. Disaat itulah
tampil mughirah dengan mengatakan bahwa bagian seorang nenek atas warisan
cucunya adalah 1/6. Beliau kemudian mengajukan persyaratan adanya saksi yang
dapat mendukung kebenaran ucapan mughirah tersebut. Disaat itulah Muhammad ibn
Maslamah memberikan kesaksiannya. Berdasarkan ungkapan Mughirah yang dikuatkan
dengan kesaksian Maslamah itulah pada akhirnya Abu Bakar menerima riwayat
tersebut dan berkenan memberikan bagian 1/6 kepada seorang nenek tersebut.[12]
Dapat dipahami bahwa Abu Bakar dalam hal ini tidak semerta-merta dapat
menerima begitu saja riwayat suatu hadits sebelum meneliti terlebih dahulu
periwayatannya. Untuk membuktikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal
dari Rasulullah SAW, beliau meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan
saksi.
Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh
sahabat Umar bin Khathtab. Dalam hal ini beliau juga terkenal sebagai orang
yang sangat berhati-hati didalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau
menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Kasus yang dihadapi Umar ibn Khathab, ketika suatu hari Abu Musa
al-Asy'ari datang ke rumahnya. Namun Abu Musa kemudian kembali karena setelah
mengetuk pintu dan mengucapkan salam tiga kali tidak ada sahutan. Melihat sikap
yang demikian akhirnya Umar memanggil Abu Musa dan menanyakan mengapa bersikap
demikian. Mendengar keterangan tersebut Umar tidak langsung mempercayainya,
namun beliau meminta Abu Musa untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan
ucapannya itu.[13]
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Umar bin Khaththab berusaha
untuk bersikap hati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Riwayat tersebut
memberikan gambaran bahwa Umar bin Khaththab mau menerima riwayat hadits Abu
Musa setelah ada saksi dari sahabat yang lain, yaitu Ubay bin Ka'ab yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang pernah menyatakan atau mengatakan seperti
yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ary.
Pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib periwayatan hadits juga
dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya, yakni mereka
tetap berhati-hati di dalam meriwayatkan hadits. Hanya saja usaha yang
dilakukan oleh Utsman itu tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin
Khaththab. Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, beliau bersedia menerima
suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadits
yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya saja kepada
orang-orang yang benar-benar dipercayainya dia tidak memintanya untuk
bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits Ali tidaklah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits.
Dalam praktiknya, ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits
dari Rasulullah SAW. yaitu: pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasulullah). Kedua dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja).
C.
Hadits Pada Masa Sahabat
Kecil
Periode ini disebut dengan ‘Ashr Intisyār al-Riwāyah ilā al-Amshār
(masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada dasarnya periwayatan
pada periode ini tidak jauh berbeda dengan periwayatan yang dilakukan oleh para
sahabat. Hanya saja pada persoalan yang dihadapi mereka yang agak berbeda
dengan persoalan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada periode ini al-Qur’ān sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi
mengkhawatirkannya.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan
Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan
Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan
pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah
tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya
periwayatan hadits (istisydār al-Riwāyah ilā al-Amsār).[14]
1.
Pusat-pusat pembinaan
hadits
Adapun beberapa kota yang tercatat sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadits ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam,
Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan.[15]
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Disinilah Rasulullah menetap
setelah hijrah dan membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas
Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, di samping dilindunginya
umat-umat non Muslim, seperti Yahudi.
Diantara sahabat yang membina hadits di kota
madinah ini sebagai berikut: Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah binti
Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abu Said Al-Khudri, Zaid bin Tsabit. Sedangkan
para tabi'in yang muncul di kota ini, seperti Said bin al-Musayyab, Urwah bin al-Zibair,
Ibnu Syihab al-Zuhri, Ubaidillah bin Utbah bin Mas'ud, Salim bin Abdullah bin
Umar, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Nafi' maula ibnu Umar dan Muhammad
bin al-Munkadir.
Sahabat yang membina hadits di kota Mekah
seperti Mu'adz bin Jabal, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin as-Saib al-Makhzumi,
Itab bin Asid, Khalid bin Asid, al-Hakam bin al-Ash dan Utsman bin Thalhah.
Dari kalangan tabiin seperti Mujahid bin Jabar, Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan
Atha' bin Abi Rabah serta Thaus bin Kaisan.
Sahabat yang membina hadits di kota Kufah
seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Sa'ad bin Abi Waqqas, Said bin
Zaid, Khabbab bin al-Art, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin al-Yaman, Ammar bin
Yasir, Abu Musa al-Asy'ari, Al-Mughirah bin Syu'bah dan lainnya. Dari kalangan
tabiin seperti Masruq bin al-Ajdza', Ibrahim bin Yazid al-Nakha'ie, Said bin
Jubair dan Amir bin Syarahbil al-Sya'bi.
Sahabat yang membina hadits di kota Basrah
seperti Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Abbas, Uthbah bin
Ghazawan, Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma'qal bin Yasar,
Abdurrahman bin Samrah dan Abdullah bin al-Syuhair. Dari kalangan tabiin
seperti Rafi’ bin Mahran ar-Rayahi, Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin,
Qatadah bin Di’amah al-Dusi dan Abu Burdah bin Abu Musa.
Sahabat yang membina hadits di kota Mesir
seperti Al-Zubair bin Awwam, Ubadah bin al-Shamit, Maslamah bin Mukhallad,
Al-Miqdad bin al-Aswad, Abdullah bin Arm, Ukbah bin Amir al-Juhani dan Abdullah
bin Sa'ad. Dari kalangan tabiin seperti Yazid bin al-Habib, Umar bin al-Harits,
Abdullah bin Sulaiman at-Thawil, Khair bin Nu’aim al-Hadlrami dan Abdurrahman
bin Syuraih al-Ghafiqi.
Sahabat yang membina hadits di kota Yaman
seperti Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Sedangkan dari kalangan
tabiin seperti Hammam bin Munabbah, Wahab bin Munabbah, Ma’mar bin Rasyid dan
Abd. Razaq bin Hammam.[16]
D.
Hadits Pada Masa Abad
II Hijriyah
Pada periode ini disebut Ashr Al-Kitābah wa Al-Tadwīn (masa
penulisan dan kodifikasi). Maksud dari kodifikasi pada periode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli dibidangnya.
Kodifikasi hadits secara resmi ini baru terjadi dipenghujung abad satu
hijrah, dan usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh
khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H), (khalifah kedelapan dari kekhalifahan
Bani Umayah), melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar
memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya, karena
kekhawatiran Beliau akan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah setelah wafatnya
para ulama' baik dikalangan sahabat maupun tabiin. Maka kepada Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi yang
berbunyi:
"Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah SAW. kemudian
tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalkan para ulama
(para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah SAW".[17]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan
hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari (murid
kepercayaan Siti Aisyah) dan Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Instruksi yang
sama ia tujukan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, yang dinilainya
sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadits daripada yang lainnya.[18]
Abu Bakar Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri adalah ulama' yang pertama kali
berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia.
Beliau ini adalah seorang ulama besar di negeri Syam dan Hijaz. Akan tetapi
karya beliau ini tidak sampai kepada generasi kita sekarang.
Diantara kitab hadits pada abad II H yang dapat sampai di tengah-tengah
kita adalah:
1.
Al-Muwaththā’, disusun oleh Imam
Malik bin Anas pada tahun 144 atas anjuran khalifah Abu Ja'far al-Manshur.
Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini kurang lebih 170 buah.
2.
Musnādu'sy-syafī'īy, disusun oleh Imam Asy-Syafi'iy yang mencantumkan seluruh hadits
tersebut dalam kitab beliau yang bernama Al-Umm.
3.
Mukhtalifu'l-Hadīts, disusun oleh Imam
Syafi'iy.di dalam kitabnya beliau menjelaskan tentang cara-cara menerima hadits
sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya
kontradiksi satu sama lain.[19]
Ulama' lain sebagai penghimpun hadits pada masa
ini antara lain: Ibnu Juraij (80-150 H) di Mekah, Ibnu Ishaq (151 H) di
Madinah, Ibn Abi Zi'bin (80-158 H) di Madinah, Al-Rabi' ibn Shabih (160 H) di
Basrah, Hammad ibn Salamah (176 H) di Basrah, Sufyan Al-Tsauri (161 H) di
Kufah, Al Auza'y (156 H) di Syam, Husaim al-Wasithi (104-188 H) di Wasith,
Ma'mar al-Azdy (95-153 H) di Yaman, Jabir al-Dlahabi (110-188 H) di Rei, Ibnu
Mubarak (118-181 H) di Khurasan dan Al-Laits ibn Sa'ad (175 H) di Mesir.[20]
Ciri-ciri pembukuan hadits pada periode ini yaitu hadits yang dibukukan
dalam kitab mencakup hadits Nabi, fatwa sahabat dan tabiin. Dengan demikian
dalam periode ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits
mauquf, dan hadits maqthu'. Dan dalam hadits ini juga belum dipisah antara hadits
shahih, hasan dan dha'if.[21]
E.
Hadits Pada Masa Awal
Sampai Akhir Abad III Hijriyah
Pada periode ini disebut ‘Asr al-tajrīd wa al-tashīh wa al-tanqīh
(masa penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan). Periode ini merupakan puncak
usaha pembukuan hadits. Masa penyeleksian atau penyaringan hadits terjadi
ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, sejak masa Al-Makmun
sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil
memisahkan beberapa hadits mauquf dan mathu' dari hadits marfu', dan belum bisa
meminsahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadits
yang maudhu' tercampur pada yang shahih.
Para ulama pada masa ini bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyaringan
hadits yang diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha'if
(lemah) dari yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti
pada sahabat) dan yang maqthu' (terputus) dari yang marfu' (sanadnya sampai
Nabi SAW), meskipun meskipun sebenarnya penelitian berikutnya masih ditemukan
terselipnya hadits yang dha'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.[22]
Ulama' hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang
shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama'
hadits yang sangat termasyhur. Kemudian pekerjaan ini diselenggarakan dengan
sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Ia
menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-fāmius Shahīh.
Dalam kitabnya ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggapnya shahih. Usaha
Al-Bukhari ini kemudian diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam
Muslim.[23]
Kitab-kitab hadits yang tersusun pada masa ini antara lain:
1.
Shahih Bukhari
2.
Shahih Muslim
3.
Sunan Abu Daud
4.
Sunan Al-Turmudzi
5.
Sunan Al-Nasa'i
6.
Sunan Ibnu Maja
7.
Sunan al-Daramy
8.
Al-Muntaqa
9.
Musnad Ahmad
F.
Hadits Pada Masa Abad
IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah
Periode ini disebut dengan ashr al-tahdzīb wa al-taqrīb wa al-istidrāk
wa al-jam'I (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan). Periode
ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan
kedua.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 disebut Mutaqaddimīn,
yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri. Sedangkan setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga
abad keempat dan seterusnya yang disebut dengan 'Mutaakhirīn'.
Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimīn, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghafalnya.[25]
Diantara kitab-kitab yang tersusun pada periode ini antara lain: Ash-Shahīh
susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsīm wa Anwā' susunan Ibnu Hibban, Al-Mustadrāk
susunan Al-Hakim, Ash-Shalīh susunan Abu Awanah, Al-Muntaqā
susunan Ibnu Jarud, dan Al-Mukhtarāh susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid
Al-Maqdisy.
Usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.
Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam
sebuah kitab.
2.
Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam.
3.
Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam
berbagai kitab.
4.
Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun
kitab-kitab athrāf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhrāj,
yakni umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-Bukhari Muslim, lalu
meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad
Al-Bukhari atau Muslim. Dan pada periode ini pula muncul usaha-usaha istidrak,
yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim
atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh
Bukhari dan Muslim.
G.
Hadits Pada Masa Pertengahan
Abad VII Sampai Sekarang
Periode ini disebut dengan ‘ashr al-syarh wa al-jam'I wa al-takhrīj wa
al-bahts (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan).
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII
Al-Mu'tasim (w. 656 H) sampai sekarang.
Dalam periode ini usaha yang dilakukan oleh ulama adalah menerbitkan isi
kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam,kitab tahrij,
serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.
Pada periode ini juga disusun kitab-kitab Zawa'id, yaitu kitab
hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama
hadits tertentu. Diantaranya kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id
As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab
zawa'id yang lain.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang
sudah ada. Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab shahih Bukhari dan
Muslim, seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdillah Al-Jauzaqi dan ibn
Al-Furat (w. 414 H.). mereka juga mungumpulkan isi kitab hadits yang enam,
seperti yang dilakukan oleh Abd Al-Haq ibn Abd Al-Rahman Al-Asybili (terkenal
denganIbn Al-Kharrat w. 583 H), Al-Fairuz Abadi, dan Ibn Al-Atsir Al-Jazari, dan
ada juga yang mengumpulkan kitab-kitab hadits mengenai hukum, seperti yang
dilakukan oleh Al-Daruqutni, Al-Baihaqi, Ibn
Daqiq Al-Id, Ibn Hajar Al-Asqalani, dan Ibn Qudamah Al-Maqdisi.[26]
Masa perkembangan hadits ini terbentang cukup panjang, mulai dari abad
keempat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer.
Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan
Islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertumbuhan
dan perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW berlangsung selama 23
tahun. Pada masa ini Nabi Muhammad SAW. melarang penulisan hadits dikarenakan untuk
menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan
Al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān.
Hadits pada
masa sahabat mereka masih terfokuskan kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān,
sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan mereka masih berusaha
membatasinya disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.
Hadits pada
masa sahabat kecil periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan pada masa
sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda. Pada masa ini al-Qur’ān
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi menghawatirkannya.
Hadits pada masa periode abad II Hijriyah terjadi penghimpunan hadits
yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Akan tetapi dalam periode ini masih belum ada pemisahan
antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu' dan juga belum dipisah
antara hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits pada
masa periode awal-akhir abad III Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits.
Munculnya periode ini karena pada
tadwin sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu'
dari hadits marfu', dan belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha'if dari
yang shahih.
Hadits pada masa periode abad IV-pertengahan abad VII merupakan masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadits. Dan yang terakhir pada masa
pertengahan abad VII- sekarang merupakan masa pensyarahan, penghimpunan,
pentakhrijan dan pembahasan hadits.
B. Saran
Demikian secara keseluruhan makalah ini dapat
terselesaikan, penulis berharap kepada pembaca, khususnya para dosen, dan
teman-teman mahasiswa, untuk memberikan masukan dan koreksi untuk penyempurnaan
pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin dan
Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Ichwan, Mohammad Nor. Studi
Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media Group, 2007.
Mahmud, Latief. Ulumul Hadits. Pamekasan: Diktat
Kuliah, 2004.
Muhammad Ahmad dan Mudzakir. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000.
Nawawi. Pengantar Studi Hadits.
Surabaya: Kopertais IV Press, 2014.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar
Mushthalahu'l Hadits. Bandung: PT Alma'arif, 1974.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu
Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
[1]
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 34.
[3] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: Rasail Media Group, 2007), 64.
[4] Muhammad
Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 30.
[5] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu'l Hadits (Bandung: PT Alma'arif, 1974),
47.
[6] Ahmad
dan Mudzakir, Ulumul Hadits, 29.
[7] Nawawi, Pengantar
Studi Hadits (Surabaya: Kopertais IV Press, 2014), 78-79.
[8] Ibid., 79.
[9] Suparta,
Ilmu Hadits, 72-73.
[11] Suparta,
Ilmu Hadits, 81.
[12] Umi Sumbulah,
Kajian Kritis Ilmu Hadits (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 44-45.
[13] Ibid., 45.
[14] Ichwan,
Studi Ilmu Hadits, 87.
[15]
Suparta, Ilmu Hadits, 85.
[16] Latief
Mahmud, Ulumul Hadits (Pamekasan: Diktat Kuliah, 2004), 55-58.
[17] Suparta,
Ilmu Hadits, 89-90.
[18] Ichwan,
Studi Ilmu Hadits, 90.
[19] Rahman,
Ikhtishar Mushthalahu'l Hadits 56.
[20] Mahmud, Ulumul Haditst, 33-34.
[21] Nawawi,
Pengantar Studi Hadits, 86-87.
[22]
Suparta, Ilmu Hadits, 92.
[23] Solahudin
dan Suyadi, Ulumul Hadits, 43.
[24] Mahmud,
Ulumul Haditst, 37.
[25]
Solahudin dan Suyadi, Ulumul Hadits, 45.
[26]
Suparta, Ilmu Hadits, 93-94.
Oleh:
FATIMATUS
ZAHRAH
NIM:
18201521010
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER
(S2)
PASCA SARJANA
STAIN PAMEKASAN
JUNI 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar