HADîTS DLA’IF DAN PROBLEMATIKANYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi hadîts yang dibina oleh
Bapak Prof. Dr. Idri, M. Ag.
Oleh:
SAFINATUN NAJAH
NIM: 18201521028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN
JUNI 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah berkah ke Maha Rahman dan Rahimnya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi
Hadits yang diberikan oleh Bapak Prof. Dr. Idri, M.Ag. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Semoga berkah shalawatnya dapat menjadi
syafa’at bagi umatnya.
Penulis sampaikan
ucapan terima kasih yang tiada tara kepada Bapak Prof. Dr. Idri, M.Ag. yang
telah memberi arahan dalam penulisan makalah ini semoga arahan yang telah diberikan tercatat sebagai amal ma’ruf yang
senantiasa diterima disisinya.
Al-insānumahallulkhatha’wannisyān inilah hakekat manusia yang
sesungguhnya, oleh karena itu jika dalam penulisan makalah ini terdapat
kekurangan dan kesalahan, penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca
agar makalah ini dapat mencapai kesempurnaan.
Ahirnya penulis
berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan penulis hususnya
dan pembaca umumnya sehingga dapat memperluas hazanah keilmuan yang dimiliki
dan penulis berharap semoga ‘ilmu yang
diperoleh bermanfa’at di dunia dan akhirat.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang
Penulisan .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah
.......................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan Makalah ............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Definisi HadîtsDha’if
Secara Bahasa dan Istilah.......................... 3
B. Kriteria Hadîts
Dha’if ................................................................... 4
C. Macam-macam HadîtsDha’if......................................................... 5
D. Kehujjahan HadîtsDha’ifdari
Segi Wurud dan Dilalahnya.......... 20
E. Kitab-kitab
yang Mengandung HadîtsDha’if dan Hadits-hadits yang Lain 22
BAB III PENUTUP................................................................................... .... 23
A.
Kesimpulan .................................................................................. 23
B.
Saran .......................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadîts merupakan
sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’ᾱn. Antara keduanya
senantiasa beriringan di dalam membahas suatu kejadian hal ini sesuai dengan
fungsinya bahwa hadîts menjelaskan hukum yang masih bersifat global di
dalam al-Qur’ᾱn. umat islam wajib berpedoman terhadap keduanya hal
itu dikarenakan keduanya merupakan landasan setiap muslim dalam menjalani
lika-liku kehidupan di dunia.
Sejatinya apa yang
telah Rasulullah SAW. Perintahkan kepada umatnya merupakan perintah Allah SWT
juga karena Rasulullah merupakan utusan Allah yang menyampaikan risalah agama
kepada umatnya hal ini senada dengan firmannya yaitu:
Artinya:
katakanlah taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang telah
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya niscaya kamu dapat petunjuk
dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan amanat Allah dengan
terang.[1]
Akan tetapi
realitasnya tidak semua hadîts dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum islam hal ini dikarenakan jika ditinjau dari segi kualitas sanad,matan,dan
rawinya terdapat berbagai macam hadîts yang memiliki tingkatan yang
berbeda-beda mulai dari hadîtsshahih, hadîtshasan sampai pada hadîtsdla’if.
Untuk mengetahui hal itu penulis akan membahas seputar tentang hadîts
yang akan dispesifikkan pada hadîtsdla’if
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Definisi HadîtsDha’if?
2.
Apa Saja Kriteria HadîtsDha’if?
3.
Apa Saja Macam-macam HadîtsDla’if?
4.
Bagaimana Kehujjahan HadîtsDla’ifdari segi Wurud dan Dalalahnya?
5.
Kitab Apa Saja yang Memuat HaditsDla’if dan yang Lain?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk
Mengetahui Definisi Hadîts Dla’if
2. Untuk
Mengetahui Kriteria Hadîts Dla’if
3. Untuk Mengetahui
Macam-macam Hadîts Dla’if
4. Untuk
Mengetahui Kehujjahan Hadîts Dla’if dari Segi Wurud dan Dalalahnya
5. Untuk Mengetahui Kitab apa Saja yang
Memuat Hadîts Dla’if
dan yang lain
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hadîts Dla’if Secara
Bahasa dan Istilah
Kata dla’if menurut
bahasa berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari kata al-qawiy
yang berarti kuat.[2]
Sedangkan Menurut istilah hadîts dla’if adalah:
هُوَ مَالَــمْ يَجْـمَعْ صــِفَةُ الحــسَنِ يَفْقُدُ
شَـرْطٌ مِنْ شُرُوْطِهِ[3]
Artinya:
hadîts yang tidak dapat mengumpulkan sifat hadîts hasan sebab
satu dari beberapa syarat tidak terpenuhi.
Atau
definisi lain yang biasa diungkapkan oleh mayoritas ‘ulama’ yaitu:
هُوَ الحَدِيْثُ الذِّى لـمْ تَجْمَعْ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ وَلَا صِفَاتُ
الحَسَنِ[4]
Artinya:
hadîts yang tidak bisa mengumpulkan sifat-sifat hadîts shahih dan hadîts hasan.
Sedangkan menurut Nur al-Din bahwa definisi yang paling baik adalah:
مَا فَقِدَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ
الـمَقْبُوْلِ
Menurut penulis arti dla’if secara bahasa di atas telah
memberikan sebuah indikasi bahwa hadîts dla’if merupakan hadîts
yang lemah dalam artian tidak dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan
hukum hal ini jika ditinjau dari arti hadîts dla’if secara bahasa.
sedangkan arti hadits dla’if secara istilah bahwasannya hadîts
tersebut dikatakan dla’if jika
tidak dapat memenuhi salah satu syarat-syarat yang terdapat pada hadîts
maqbul. Ini berarti kedhaifannya
dikarenakan tidak dapat memenuhi salah satu persyaratan yang telah
dimiliki oleh hadîts maqbul. definisi yang disampaikan Nur al-Dîn
tersebut memang agak tegas salah satu syarat saja yang hilang sudah dianggap dla’if
lebih-lebih jikalau yang hilang lebih dari satu pasti dikatakan sebagai hadîts
yang sangat dan amat dla’if.
B.
Kriteria HaditsDla’if
Predikat dha’if
pada hadîts ini disebabkan karena hadîts tersebut tidak dapat
memenuhi kriteria yang terdapat pada hadîts
shahih ataupun hadîts hasan.
1.
Sanadnya bersambung
2.
Periwayat adil
3.
Periwayat dhᾱbith
4.
Terlepas dari syᾱdz
5.
Terhindar dari ‘illat
Adapun
kriteria hadîts hasan adalah:
1.
Sanadnya bersambung
2.
Perawinya ‘adil
3.
Periwayat kurang dhᾱbith
4.
Terlepas dari syᾱdz
5.
Terhindar dari ‘illat
Jadi karena hadîts dla’if tidak dapat memenuhi kriteria yang
terdapat pada hadîts shahih ataupun hadîts hasan, dapat dikatakan
bahwa lawan kata atau kebalikan dari kriteria hadîts shahih ataupun hadîts hasan merupakan kriteria
yang dimiliki oleh hadîts dla’if
diantaranya adalah sanadnya terputus, periwayat tidak dhᾱbith,
periwayat tidak adil, mengandung syᾱdz dan mengandung ‘illat.
C.
Macam-macam Hadîts Dla’if
1.
Dla’ifkarena
sanad terputus
Berdasarkan
penelitian ‘ulama hadîts bahwa kedla’ifan suatu hadîts
bisa terjadi pada tiga tempat yaitu, pada sanad, pada matan, dan pada
perawinya.
Sehingga predikat
dha’if pada hadîts ini dikarenakan sanadnya terputus, jika
kaitannya dengan keterputusan sanad Ibn Hajar Al-asqalᾱnî menyebutnya dengan hadîts mu’allaq, hadîts mursal,
hadîts munqati’, dan hadîts mu’dhal.
a.
Hadîts Mu’allaq
Secara
bahasa kata mu’allaq berarti tergantung. Sedangkan secara terminologis hadîts mu’allaq
adalah hadîts yang periwayatnya di awal sanad gugur atau terputus
seorang atau lebih. Patokan keterputusannya terletak pada awal sanad baik
seorang periwayat atau lebih jika lebih maka keterputusan itu harus secara
berurutan. Hadîts mu’allaq disebut hadits dla’if karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus. Sehingga tidak
diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya. Karena
rangkaian hadîts mu’allaq hilang atau terputus sehingga tidak diketahui
identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya, maka hadîtsmu’allaq
tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil untuk dipedomani atau diamalkan.
Berbeda dengan itu hadîts mu’allaq dalam Shahîh al-Bukhᾱrî
dan Shahîh Muslim menurut para ‘ulama terbagi menjadi dua yang pertama hadîts
mu’allaq yang diungkapkannya dengan kata-kata yang tegas seperti qᾱla,
fa’ala, amara, dan zdakara fulᾱn. sehingga dalam dua kitab
shahîh ini dapat dijadikan hujjah dengan alasan bahwa al-Bukhᾱri sebagai
‘ulama’ terkenal dan sangat ketat dalam menyeleksi kshahihan hadîts
tidak mungkin memasukkan atau mencantumkan hadîts ke dalam kitabnya bila
ia tidak mengetahui rangkaian sanadnya kemudian alasan yang kedua hadîts-hadîts
yang terdapat dalam kitab shahîh al-Bukhᾱrî bukanlah hadîts pokok
atau hadîts utama yang menyangkut masalah yang dibicarakan melainkan hadîts
pelengkap atau pendukung bagi hadîts pokok atau hadîts utama. [7]
Contoh hadîts mu’allaq adalah riwayat al-Bukhari dengan
perbandingan sanad dari Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah:
بَابُ
مَنِ اغْتَسَلَ عُرْيَانًاوَحْدَهُ فِى الْخَلْوَةِوَمَنْ سَتَرَ فَاالسِّتْر اَفْضَلُ
وَقَالَ بَهْزٌ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَن النَّبِيِّ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَللهُأَ حَقُّ اَنْ يَسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاَرِ
Bab tentang orang yang mandi telanjang sendirian di tempat yang
sepi dan menutupi lebih baik. Bahz mengatakan dari ayahnya dari kakeknya dari
Nabi SAW. Sabdanya Allah lebih berhak untuk disikapi malu dari pada manusia.
Pada sanad di atas ada beberapa periwayat yang digugurkan sebelum
al-Bukhari setelah Bahz dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan
membandingkan sanad-sanad dari Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah.
b.
Hadîts Munqathi’
Kata munqathi’ berasal dari kata inqatha’a, yanqathi’u, inqithᾱ’an yang berarti terputus lawan
dari kata muttashil yang artinya bersambung. Nama inqitha’ atau
terputus karena ada sanad yang tidak bersambung, ibarat tali yang
terputus tidak ada yang menghubungkannya. Sedangkan dalam istilah mayoritas
‘ulama’ hadîts mendefinisikan hadîts munqathi’ adalah hadîts
yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih sebelum sahabat tidak
berturut-turut. Inqitha’ pada sanad dapat diketahui karena tidakاadanya
pertemuan antara perawi dan orang yang menyampaikan periwayatan hal ini terjadi
karena tidak hidup semasa atau tidak pernah bertemu antara keduanya. Untuk
dapat mengetahui hal tersebut adalah dengan tahun kelahiran dan wafatnya.[8]
Menurut kesepakatan para ‘ulama hadîts ini tergolong mardûd
karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang digugurkan padahal dalam menilai
keontetikan suatu hadîts diperlukan informasi tentang sifat-sifat perawi
tersebut.[9]
Contoh hadîts munqathi’ adalah riwayat Ibn Majah dan
al-Turmudzi:
حَدَّ
ثَنَا عَلِيُ بْنُ حَجَرٍ حَدَّ ثَنَا اِسْمَا عِيْلُ بْنُ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ لَيْثٍ
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ أُمِّهِ فَا طِمَةَ بِنْتِالْحُسَيْنِ عَنْ
جَدَّ تِهَا فَاطِمَةَ الْكُبْرَى قَالَتْ كَانَتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلىَ مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ وَقَالَ رَبِّ
ا غْفِرْلِى ذُنُوْبِى وَافْتَحْلِى اَبْوَا بَ رَحْمَتِكَ وَاِذَا خَرَجَ صَلَّى عَلَى
مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ رَبِّاغْفِرْ لِى ذُنُوْبِى وَافْتَحْلِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Ali Ibn Hajar bercerita kepada kami katanya Ismail Ibn Ibrahim
bercerita kepada kami dari Layts dari Abd Allah Ibn al-Hasan dari ibunya
Fatimah binti al-Husayn dari neneknya Fatimal al-Kubra katanya, Apabila
Rasulullah memasuki masjid ia membaca shalawat bagi Nabi Muhammad dan berdo’a
Ya Tuhanku ampunilah dosaku dan bukalah pintu rahmatmu dan jika ia keluar juga
membaca shalawat untuk Muhammad dan berdo’a Ya Tuhanku ampunilah dosaku dan
bukalah pintu keutamaan-Mu."
Hadîts di atas munqathi’
sebab Fatimah binti Husayn tidak bertemu dengan Fatimah binti Rasulullah
yang dikenal dengan Fatimah al-zahra’. Atau fatimah al-Kubra yang meninggal
satu bulan setelah Rasulullah wafat. Sedang Fatimah binti Husayn, cucunya saat
itu belum lahir karena itu mustahil ia meriwayatkan hadîts tersebut dari
neneknya itu. Jelas ada perawi yang digugurkan sebelumnya.[10]
c.
Hadîts Mursal
Secara etimologis mursal diambil dari kata irsal yang
berarti melepaskan. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut hadîts
karena orang yang meriwayatkannya melepaskan hadîts itu langsung kepada
Nabi tanpa menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama
mengeluarkan hadîts itu.
Al-Hakim mendefinisikan hadîts mursal ini dengan hadîts yang
disandarkan langsung oleh tabi’în kepada Rasulullah baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in tersebut baik
termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Hadîts mursalada
tiga macam 1)Mursal jalî yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan
oleh tabi’in dapat diketahui dengan jelas sekali ia tidak hidup sezaman dengan
orang yang digugurkan yang mempunyai berita. 2) Mursal shahabî yaitu
pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi atau menyaksikan apa yang ia
beritakan namun disaat Rasulullah SAW. Hidup ia masih kecil atau terahir
masuknya ke dalam agama islam. 3) mursal khᾱfî yaitu hadîts yang
diriwayatkan oleh tabi’in dan tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan
sahabat tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadîts darinya.[11]
Adapun contoh hadîts mursal shahᾱbî dalam Shahih Ibn Hibbᾱn
أَخْبَرْنَا
الْحُسَيْنِ بْنِإِدْرِيْسِ الأَنْصَارِى قَالَ أَخْبَرْنَا أَحْمَدُبْنُأَبِى بَكْرٍ
عَنْ مَا لِكٍ عَنِ بْنِ شِهَا بٍ الزُّ هْرِي عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَاِلَى
مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيْدَ ثُمَّ اَفْطَرَ
وَاَفْطَرَ النَّا سَ مَعَهُ
“Al-Husayn bin Idris al-Anshari bercerita pada kami, katanya
Ahamad bin Abi Bakr bercerita pada kami dari Malik dari Ibn Syihab al-Zuhri
dari ‘Ubayd Allah bin Abd Allah dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW keluar ke
Mekkah pada tahun pembukaan kota itu bulan Ramadhan, ia berpuasa hingga sampai
ke kadid. Kemudian ia berbuka dan umat Muslim juga berbuka”.
Hadîts di atas disebut
sebagai mursal shahᾱbî karena Ibn Abbas tidak meriwayatkan hadîts tersebut
langsung dari Nabi. Abd Allah Ibn Abbas tidak ikut bepergian bersama Rasulullah
ke Mekkah ketika penaklukan kota itu. Saat itu ia masih kecil dan tinggal
bersama orang tuanya. Ibn Abbas meriwayatkan hadîts itu dari sahabat
lain tapi tidak menyebutkan namanya dalam sanad hadîts.[12]
d.
Hadîts Mu’dlal
Secara etimologi kata mu’dlal
berarti susah atau payah. Keterputusan hadîts mu’dlal memang parah
sampai dua orang perawi digugurkan maka menyulitkan dan memberatkan
penghubungannya. Menurut istilah ‘ulama’ hadîts mu’dlal adalah hadîts
yang gugur dari sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut.[13]
Kriteria hadîts mu’dlal adalah: 1). Sanad yang gugur lebih dari satu orang, 2) keterputusan
secara berturut-turut sebagian ‘ulama’ menambahkan kriteria 3) tempat
keterputusan ditengah sanad, bukan di awal ataupun di akhir.[14]
sehingga hadîts tersebut tergolong ke dalam hadîts dla’if.
Contoh hadîts dmu’dlal adalah sebagai berikut:
حَدَّ ثَنِي مَالِكٌ اَنَّهُ بَلَغَهُ
اَنَ اَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَمْلُوْكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِاالْمَعْروْفِ وَلَا يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَل اِلَّامَا
يَطِيْقُ
“Malik bercerita kepadaku bahwa sebuah berita sampai kepadanya Abu
Hurayrah berkata Rasulullah SAW. Bersabda seorang budak berhak mendapatkan
makanan dan pakaian serta ia tidak dibebani pekerjaan kecuali yang ia mampu.[15]
Jadi yang menjadi problematika hadîts di atas dikarenakan
ada ketidak bersambungan sanad baik di awal ataupun di akhir, baik seorang
periwayat atau lebih
2.
Dla’if karena
periwayat tidak ‘adil
Predikat dla’if hadîts ini disebabkan karena periwayat tidak
‘adil, ada tiga macam kategori yang tergolong ke dalam hadîts ini ada hadîts
maudlu’, matruk, dan munkar.
a.
Hadîts maudlu’
Hadîts maudlu’
yaitu hadîts yang dibuat-buat oleh seseorang dan dinisbatkan kepada
Rasulullah SAW secara paksa dan dusta, baik disengaja atau tidak.[16]
Sehingga setelah dilakukan pengkajian, secara garis besar kriteria hadîts
palsu dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.
Kriteria Sanad
a)
Pengakuan periwayat hadîts b) bertentangan dengan realitas historis
periwayat c) periwayat pendusta d) keadaan periwayat dan dorongan pesikologisnya.
2.
Kriteria Matan
a)
Buruk redaksinya seperti tidak menyerupai perkataan Nabi atau Sahabat
b) Rusak maknanya disebabkan a) bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan
kaidah hukum dan akhlaq, b) bertentangan dengan realitasnya, c) bertentangan
dengan akal pikiran, d) adanya bukti yang sah tentang kepalsuannya.
Contoh hadîts maudlu’ adalah yang riwayat Ibn Anas bin Malik
dari Nabi yang dibuat Maysarah :
وَاَمَّا
حَدِيْثُ اَنَسٍ اَنْبَأَنَا عَبْدُالْوَهَّابِ الْحَافِظُ قَالَ اَنْبَأَنَا بْنُ
الْمُظَفَّرِ قَاَل اَنْبَأَنَا الْعَتِيْقِي قَالَاَنْبَأَنَا بْنُ الدَّخِيْلِ قَالَ
حَدَّ ثَنَا الْعُقَيْلىِ قَالَ حَدَّ ثَنَا اَحْمَدُبْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ اْلحَجَّاجِ
قَالَ حَدَّ ثَنَا اَحْمَدُ بْنُ الاَشْعَثُ عَنْ دَاوُدُ بْنِ اْلمحُبْرِ قَالَ حَدَّ
ثَنَا مَيْسَرَةُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ عَنْ مُوْسَى بْنُ عُبَيْدَةَ عَنِ الزُّهْرِى
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ رَسُولُ للهِ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
كَا نَتْ لَهُ سَخِيْمَةٌ مِنْ عَقْلٍوَغَرِيْرَةِ يَقِيْن لَمْ تَضُرْهُ ذُنُوْ بَهُ
شَيْاءٌقِيْلَ وَكَيْفَ ذَاكَ يَا رَسُوْل اللهِ؟ قَالَ لِاَنَّهُ كُلَّمَا اَخْطَ
ءَلمَ يَلْبَثْ اَنْ يَتُوْبَ تَوْبَةً تَمْحُوْ ذُنُوْ بَهُ وَ يَبْقي لَهُفَضْلٌ
يَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ فَلِلْعَقْلِ نَجَاةٌبِطَاعَةِ اللهِ وَحُجّةُ عَلَى اَهْلِ
مَعْصِيَةِاللهِ
“Tentang hadîts Anas, ‘Abd al-Wahhab al-Hafizh bercerita kepada
kami katanya ibn al-Muzhaffar bercerita kepada kami katanya, al-Atiqi bercerita
kepada kami katanya Ibn al-Dakhil bercerita kepada kami katanya al-‘Uqayli
bercerita kepad kami katanya Ahmad Ibn Muhammad
ibn al-Hajjaj bercerita kepada kami katanya, Ahmad Ibn Asy’as bercerita
kepada kami dari Daud Ibn Muhbir katanya Maysarah ibn Abd Rabbih bercerita
kepada kami dari Musa ibn Ubaydah dari al-Zuhri dari Anas ibn Malik katanya
Rasulullah SAW. Bersabda: “barang siapa yang mempunyai kegelapan akal dan
keyakinan yang menipu, hal itu tidak akan membahayakan dosanya sedikitpun”
Rasulullah ditanyakan, “bagaimana hal itu terjadi wahai Rasulullah?”. Nabi
menjawab, “ sebab ketika melakukan kesalahan tak lama kemudian ia bertobat yang
menghapuskan dosanya sehingga yang tersisa adalah keutamaan yang menyebabkannya
masuk surga. Maka bagi akal terdapat keberuntungan baginya dengan taat kepada
Allah dan hujjah bagi orang yang berbuat maksiat”.[17]
Hadîts
Matruk
Hadîts matruk
adalah hadîts yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tertuduh
sebagai pendusta. Menurut Mahmud al-Thahhan sebab periwayat tertuduh dusta
adalah: 1) hadîts yang diriwayatkannya tidak diriwayatkan kecuali dari
periwayat itu dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah diketahui(al-qawᾱ’id
al-ma’lumah), yaitu kaidah-kaidah umum yang di isthinbᾱthkan oleh
para ‘ulama’ dari sekumpulan nash-nash umum yang shahih 2) Diketahui periwayat
berdusta dalam pembicaraan keseharian, tetapi belum terbukti pernah berdusta
tentang hadîts Nabi.
Contoh
hadîts matrûk dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan sebuah hadîts riwayat
al-Daruqutni dari Umar bin Syamir yang berasal dari
‘Ali dan ‘Imar sebagi berikut:
حَدَّ
ثَنَا عَبْدُاللهِ بْنِ اَحْمَدَ بْنِ ثَا بِتِ اْلبَزَازِ ثَنَا اْلقَاسِمِ بْنِ
اْلحَسَنِ الزُبَيْدِي حَدَّثَنَاأَسَدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شَمْرٍ
عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِعَنْ عَلِي وَ عِمَار اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجهَرُ فِي اْلَمَكْتُوْ بَا تِ بِسْمِ اللهِ الَّرحْمنِ
الرَّ حِيْمِ وَكَا نَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ
صَلَاةَ الْغَدَاةِوَيَقْطَعُهَاصَلاَةَ الْعَصْرِآخِرَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ
“Abd Allah bin Ahmad bin Tsabit al-Bazzas bercerita kepada kami,
katanya al-Qasim bin Hasan al-Zubaydi bercerita kepada kami, katanya Asad bin
zayd bercerita kepada kami, katanya ‘Amr bin Syamir bercerita kepada kami dari
jabir dari Abu al-Thufayl dari ‘Ali dan Imar bahwa Nabi SAW. membaca keras Bismillᾱh
al-Rahmᾱn al-Rahîm dalam shalat fardlu dan membaa kunut pada shalat subuh,
membaca takbir pada hari ‘Arafah pada shalat subuh serta membaca kunut waktu
shalat ‘Asar pada akhir hari tasyrik”.[18]
b.
Hadîts
Munkar
Hadîts munkar
berasal dari kata al-inkᾱr lawan dari kata al-iqrᾱr.
Kata munkar digunakan untuk hadîts yang seakan mengingkari atau
berlawanan dengan hadîts lain yang lebih kuat. Dikalangan ‘ulama’ hadîts,
hadîts munkar didefinisikan dengan yang pertama: hadîts yang dalam sanadnya terdapat
periwayat yang mengalami kekeliruan yang
parah, banyak mengalami kesalahan, dan pernah berbuat fasik yang kedua: hadîts
yang diriwayatkan oleh periwayat yang dla’if bertentangan dengan
periwayat yang tsiqah. Dilihat dari segi terjadinya pertentangan hadîts
munkar sama dengan hadîts
syᾱdz.
Perbedaannya pada hadîts munkar pertentangan terjadi antara periwayat
yang lemah dengan periwayat yang tsiqah dan pada hadîts syᾱd
pertentangan itu antara periwayat yang tsiqah dengan yang lebih tsiqah.
[19]
Adapun contoh hadîts
munkar adalah hadîts yang diriwayatkan oleh
al-Nasa’i dan Ibn Majah dari Aisyah secara marfu’:
اَخْبَرْنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَليِ بْنِ عَطَاءِبْنِ مِقْدَمٍ قَالَ حَدَّ ثَنِي
يَحْيَيَ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ يَذْ كُرُ
عَنْ اَبِيْهِ عَنْ عَاىئِشَةِ قَا لَتْ رَسُوْ لُ للهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَ سَلَّمَ
كُلُواْلبَلْحَ بِا التَّمْرِ فَاِنَّ بْنَ آدَمَ اِذَاأَكَلَهُ غَضَبَ الشَّيْطَانُ
وَقَالَ عَاشَ بْنآدَمُ حَتَّى أَكَلَ اْلخَلْقُ بِااْلجَدِيْدِ
“Muhammad bin
‘Umar bin ‘Ali bin ‘Atha’ bin Miqdam bercerita pada kami katanya, Yahya bin
Muhammad binn Qays bercerita pada kami katanya, aku mendengar Hisyam bin ‘Urwah
menyebutkan hadîts dari ayahnya dari ‘Aisyah katanya, Rasulullah SAW bersabda,
makanlah kurma yang masih muda karena jika seseorang memakannya maka setan akan
marah dan berkata seseorang telah hidup sampai makan ciptaan yang baru”.[20]
3. Dla’I f karena
periwayat tidak dhᾱbith
Predikat dla’if pada hadîts ini dikarenakan periwayatnya tidak dhᾱbith diantara hadît
sdla’if karena periwayat tidak dhᾱbit adalah hadîts mudallas,
hadîts mudraj,hadîts maqlub,hadîts mazid, hadîts mudhtharib,
hadîts mushahaf dan hadîts majhûl.[21]
a.
Hadîts Mudallas
Berasal
dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan
cacat, menurut istilah hadîts mudallas adalah hadîts yang
diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadîts itu tidak bercacat.
Secara umum jenis tadlis ada dua macam; tadlisal-isnᾱd dan
tadlisas-syuyûkh. Tadlis sal-isnad adalah periwayat
hadîts menyatakan telah menerima hadîts dari periwayat tertentu
yang sezaman dengannya padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin saja
mereka pernah bertemu tetapi antara mereka tidak pernah atau diragukan pernah
terjadi kegiatan penyampaian dan penerimaan riwayat hadîts. Dalam hal
ini terjadi penyembunyian periwayat dalam sanad biasanya periwayat yang
digugurkan adalah periwayat yang lemah dengan tujuan agar sanad hadîts
yang bersangkutan dinilai berkualitas. Disamping tadlisal-isnᾱd
dikenal pula tadlisat-taswiyah yaitu periwayat menggugurkan
gurunya atau guru dari gurunya atau orang lain karena lemah atau masih kecil
kemudian dengan lafazh tegas menyatakan mendengar hadîts dari periwayat
tertentu hingga sanad bersambung pada periwayat tsiqah. Dikalangan
‘ulama’ hadîts dikenal pula jenis tadlis yg lain yaitu tadlisas-syuyukhdi
mana periwayat hadîts menyebut secara salah identitas guru yang
menyampaikan hadîts kepadanya. Kesalahan penyebutan identitas mungkin
dilakukan secara sengaja dengan maksud agar riwayatnya tampak berkualitas lebih
kuat sebab guru yang lemah itu tidak diketahui identitas dan kelemahannya.
Contoh hadîts
mudallas kategori
tadlîs al-isnᾱd
riwayat Ibn ‘Umar berikut:
حَدَّ
ثَناَ هَناَدُ بْنُ السَّرَى عَنْ عُبَدَةِ عَنبْنِ اِسْحَاقَ عَنْ ناَ فِعٍ عَنِ
بْنِ عُمَرَ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُو لُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
اِذَا نَعَسَ اَحَدُكُمْ وَهُوَ فِي اْلمسْجِدِ فاَليَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
اِلَى غَيْرِهِ
“Hannad bin
al-Sara bercerita kepada kami dari ‘Ubbadah dari Ibn Ishaq dari Nafi’ dari Ibn
‘Umar katanya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bila salah seoarang
diantara kalian mengantuk dimesjid hendaklah ia bergerak ketemppat lain”.
b.
Hadîts Mudraj
Kata
mudraj berasal dari
kata adraja yang artinya menyisipkan. Sedangkan menurut istilah ‘ilmu
hadîts, mudraj adalah hadîts yang bentuk sanadnya diubah atau
kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan
bagian dari hadîts tersebut tanpa ada tanda pemisah. faktor pendorong
dilakukannya penyisipan dalam hadîts menurut Mahmud al-Thahan cukup
banyak dan yang sering adalah karena
keinginan untuk menjelaskan hukum syara’, karena ingin mengistinbatkan hukum
syara’ dari suatu hadîts sebelum hadîts itu selesai diriwayatkan
secara keseluruhan, dan ingin menjelaskan lafazh yang jarang dalam hadîts.
Para ‘ulama melarang berhujjah dengan hadîts mudraj dan memasukkannya
sebagian dari hadîts dla’if.
Contoh hadîts
mudraj pada matan hadîts terlihat pada hadîts riwayat
al-Khathib melalui jalur Abu Qatn ibn al-Hisam dan Syabbah ibn Suwar dari
Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW.
bersabda:
اَسْبِغُوْا
اْلوُضُوْءَويْلٌ لِلاَعْقَابِ مِنَ النَّار
“Sempurnakanlah wudhu’
kalian, neraka wail bagi mereka yang tidak membasuh mata kakinya”
c.
Hadîts Maqlûb
Hadîts maqlûb
Sebuah hadîts yang diriwayatkan dengan cara mengganti kata dengan kata
lain baik pada sanad maupun matannya disebut hadîts maqlûb. Kata al-maqlûb
sendiri berasal dari kata al-qalb yang berarti mengubah sesuatu
dari keberadaannya. Menurut subhi al-shalih ketertukaran atau keterbalikan pada
hadîts maqlûb terjadi pada nama periwayat atau nasabnya dalam sanad atau
penyebutan lafazh pada matan. Dengan demikian terdapat dua macam jenis hadîts
maqlûb yaitu pertama maqlûbal-sanad dilakukan oleh periwayat
dengan cara mengubah atau mengganti seorang periwayat dengan periwayat yang
lain dengan maksud agar kelihatan sanad itu menyendiri. Yang ke dua maqlûbal-matan
dilakukan dengan membalik matan hadîts baik dengan cara mendahulukan
kata atau kalimat dari kata atau kalimat lain atau mengahirkannya.
Contoh hadîts maqlûb pada sanad adalah:
اِذَا لَقِيْـتُمُ
الْمُشْرِكِيْنَ فِي الطَّرِيْقِ فَلاَ تَبْدُؤُوْهُمْ بِالسَّلاَمِ
“Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan, maka
janganlah memulai mengucapkan salam pada mereka”
d.
Hadîts Mazîd
Jika sebuah hadîts mendapat tambahan kata atau kalimat yang
bukan berasal dari hadîts itu baik pada sanad atau matan maka hadîtsdari
kata al-ziyᾱdah yang artinya tambahan. Tambahan dapat terjadi pada
sanad atau matan. Tambahan sanad dilakukan dengan menambah nama periwayat atau memarfû’kan
hadît smauqûf atau memawshûlkan hadîts mursal. Hadîts mazîd
dari segi sanad berupa penambahan nama periwayat sedangkan hadîts mazîd
dari segi matan terjadi dengan adanya tambahan kata atau kalimat dalam matan
hadîts itu.
Contoh had
mazîd dari
segi sanad yang berupa penambahan periwayat adalah:
وَحَدَّثَنَا
حَسَنُ بْنُ الرَّبِيْعِ البَجْلِى
حَدَّثَنَابْنُ المُبَارَكِ عَنْ عَبْدِالرَّ حْمنِ بْنِ يَزِيْدٍعَنْ
بَسَرِبْنِ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ أبِيْ إِدْرِيْسِ الخَوْلاَنِى عَنْ
وَاثِلَةِبْنِ الأَسْقَعِ عَنْ أَبِي مُرْ ثِدِالْغَنَوِي قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَتَصِلُوْا إِلىَ
الْقُبُوْرِولاَتَجْلِسُوْاعَلَيْهَا
“Hasan
ibn al-Rabi’ al-Bajli bercerita kepada kami, katanya Ibn al-Mubarak bercerita
pada kami dari Abd al-Rahman ibn Yazid dari Bisr ibn Ubayd Allah dari Abu Idris
al-Khawlani dari Wasilah ibn al-Asyqa’ dari Abu Mursid al-Ghanawi, katanya aku
mendengar Rasulullah SAW. bersabda janganlah sembahyang menghadap kuburan dan
jangn duduk di atasnya”.
e.
Hadîts Mudhtharib
Kata al-mudtarib berasal dari kata al-idhthirᾱb
yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut istilah muththarib
adalah hadîts yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi
sama dalam kekuatannya. Sisi kedla’ifan hadîts mudhtharib disebabkan
oleh perbedaan hafalan dan kekuatan ingatan diantara para periwayatnya jika
perbedaan ini tidak ada berarti salah satu riwayat unggul dan itu berarti pula hadîtsnya
bukan lagi mudhtharib dengan kata lain suatu hadîts yang
diriwayatkan secara berbeda dan masing-masing mempunyai kekuatan yang sama
sehingga tidak mungkin dilakukan kompromi maka hadîts itu mudhtharib.
Akan tetapi manakala sesuatu yang bebeda itu berbeda pula kekuatannya maka
tidak terjadi al-idthirᾱb.
Sebuah hadîts dinyatakan mudtharib misalnya, hadîts
yang diriwayatkan oleh al-Hakim al-Naysaburi dalam kitabnya al-Mustadrᾱk
‘alᾱ al-Shahîhayn
sebagai berikut:
حَدَّثَنىِ
أَبُوْعَمْرٍوَمُحَمَّدِبْنِ جَعْفَرِبْنِ مُحَمَّدِبْنِ مَطَرٍوَاَنَاسَأَلْتُهُ
قَالَ حَدَّثَنىِ أَبُو مُحَمَّدٍجَعْفَرِبْنِ أَحْمَدَبْنَ نَصْرِالْحَافِظِ
حَدَّثَنَاأبُوْكُرَيْبٍ حَدَّثَنَامُعَاوِيِةُبْنُ هِشَامٍ عَنْ شَيْبَان عَنْ
أبِيْ إِسْحَاقَ عَنْ عِكْرِمَة عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قاَلَ
أَبُوْبَكْرٍالصِّدِيْقِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ لِرَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَراَكَ قَدْشِبْتَ قَالَ شَيَبَتْنِي
هُوْدٌوَالْوَاقِعَةُوَعَمَّ يَتسَاءَلُوْنَ وَإِذَاالشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Abu ‘Amr Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Mathar bercerita
kepadaku dan aku bertanya kepadanya, katanya Abu Muhammad Ja’far ibn Ahmad ibn
Nashr al-Hafizh bercerita kepada kami, katanya Abu Kurayb bercerita kepada
kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam bercerita kepada kami dari Syayban dari Abu
Ishaq dari Ikrimah dari ibn ‘Abbas katanya, Abu Bakar al-Shiddiq r.a. berkata
‘Aku melihat engkau tampak muda’. Rasulullah SAW. menjawab surat hud,
al-waqi’ah, ‘Amma yatasaalun dan waizda al-Syams kuwwirat telah menyebabkanku
tampak muda”.
f. Hadîts Mushahhaf
Kata mushahaf berasal dari bahasa ‘arab al-tashhîf
yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahafî
berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian
redaksinya karena salah membaca. Al-Farisi mendefinisikan hadîts mushahhaf
dengan hadîts yang mengalami perubahan lafazh ataupun makna baik
perubahan karena faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad
atau matan.
Contoh hadîts mushahhaf adalah:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
وَأَتْبَعَهُ سِتٍّامِنْ شَوَّالٍ فَكَاَنَّمَاصَامَ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa bulan ramadlan dan mengikutinya dengan
sesuatu pada bulan Syawwal maka sama halnya berpuasa satu tahun”
Menurut Mahmud al-Thahhan oleh Abu Bakar al-Shuli hadîts di
atas dibaca secara salah menjadi:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ شَيءامِنْ شَوَّالٍ فَكَاَنَّمَاصَامَ الدَّهْرِ
“Barang
siapa berpuasa bulan ramadlan dan mengikutinya dengan sesuatu pada bulan
Syawwal maka sama halnya berpuasa satu tahun”
g.
Hadîts Majhûl
Kata majhûl yang juga disebut al-jahᾱlah bi al-rᾱwi
berasal dari kata jahila lawan kata ‘alima yang berarti bodoh. Menurut istilah majhûl
adalah hadîts yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya.
Dalam hal ini periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau
kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilan atau kedhᾱbithannya.
Hadîts majhûl dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan
sifat atau identitas yang menyebabkannya majhul yaitu: yang pertama majhûlal-‘Ayn
maksudnya adalah periwayat yang namanya disebut tetapi hadîtsnya
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat
saja. Yang ke dua majhûl al-hᾱl yaitu
periwayat yang hadîtsnya diriwayatkan oleh dua orang periwayat atau
lebih tetapi tidak disertai penilaian positif atau negatif. Yang ke tiga al-mubham
yaitu periwayat yang namanya tidak disebut dalam hadîts. Menurut Ibn
Katsir hadîts mubham adalah hadîts yang periwayatnya tidak disebutkan
namanya atau disebutkan tetapi tidak diketahui jati dirinya.
3.
Dla’if karena
Mengandung Syᾱdz
Dari segi bahasa syᾱdz berasal dari kata syaddza yang
berarti ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Sedangkan menurut istilah
adalah hadîts yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan
menyalahi periwayat yang lebih tsiqah.
Menurut al-syafi’i suatu hadîts dinyatakan mengandung syᾱdz
apabila diriwayatkan oleh seoarang periwayat yang tsiqah dan
bertentangan dengan hadîts yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang
juga tsiqah. Suatu hadîts tidak dinyatakan mengandung syᾱdz bila
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain
yang tsiqah tidak meriwayatkannya.[22]
Kemudian ulama hadîts sesudah zaman syafi’i menyepakati
bahwa yang dimaksud hadîts syᾱdz adalah hadîts yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang diterima periwayatannya tetapi riwayatnya itu menyalahi
riwayat dari perawi yang lebih kuat.[23]
Contoh hadîts yang mengandung
syᾱdz adalah hadîts yang
diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاً تُوْفِيَ عَلَى
عَهْدِرَسُوْلِ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا
اِلاَّمَوْلَى هُوَاَعْتَقَهُ (رواه التر مذى والنسائى وابن ماجه)
“Dari ibn ‘Abbas bahwa seorang laki-laki meniggal dunia di zaman
Rasulullah SAW. dan ia tidak meninggalkan seorang pun ahli waris, kecuali
seseorang yang telah memerdekakannya”.[24]
4.
Dla’if Karena Mengandung ‘Illat
Jika dalam sebuah hadîts terdapat cacat tersembunyi dan
secara lahiriah tampak shahi maka hadîts itu dinamakan hadîts mu’allal
yaitu hadîts yang mengandung ‘illat. Kata al-mu’allal
merupakan isim maf’ul dari kata a‘allah secara bahasa kata ‘illat
berarti cacat. Menurut istilah ahli hadîts ‘illat berarti sebab
yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadîts. Al-Hakim al-Nasyaburi
berpendapat yang menjadi acuan utama penelitian ‘illat hadîts adalah
hafalan, pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadîts.
D. Kehujjahan Hadîts Dla’if Dari Segi Wurud
dan Dalalahnya
Sebab-sebab kedla’ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok
pertama kedla’ifan karena cacatnya kualitas pribadi (‘adalah) perawi,
seperti berdusta atau tertuduh berdusta pada Rasulullah SAW.Berdusta dalam
menceritakan perkataan-perkataan orang lain, kefasikan, tidak diketahuinya
status perawi, berbuat bid’ah yang menjatuhkannya pada kekafiran.
Setiap hadîts yang kedla’ifannya dikarenakan salah
satu sebab di atas maka banyaknya sanad tidak akan mempengaruhinya dan tidak
bisa mengangkatnya dari derajat dla’if, karena sangat buruknya sebab-sebab itu.
Kedua karena cacatnaya kapasitas intelektual yaitu kelupaan, sering salah, buruk hafalan dan kekeliruan.
Semua hadîts yang kedla’ifannyadisebabkan tidak adanya kedhabitan perawinya
yang sifat ‘adalahnya tidak cacat maka banyaknya jalur bisa meningkatkan
kualitasnya. Kedla’ifannya bisa tersulam dengan adanya jalur lain.
Karena jalur lain itu dapat diketahui bahwa hafalan perawi yang pertama tidak
cacat hafalannya dengan demikian derajatnya naik menjadi hasan lighairihi.[25]
Para ‘ulama berbeda pendapat boleh tidaknya berhujjah dengan hadîts dla’if dalam hal ni
ada tiga pendapat yaitu:
1.
Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadîts dla’if baik untuk
menetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amalan utama.
2.
Membolehkan kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa
menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan
keutamaan amal dan cerita-cerita bukan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Sehingga Ibn Hajar al-Asqalany termasuk ‘ulama ahli hadîts
yang membolehkan berhujjah dengan hadîts dla’if untuk fadla’ilul
‘amal memberikan tiga syarat adalah:
1.
Hadîts dla’if itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadîts dla’ifyang
disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat
dibuat hujjah kendatipun untuk fadla’ilul ‘amal.
2.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadîts dla’if tersebut, masih
di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadîts yang dapat diamalkan (shahih
dan hasan).
3.
Dalam mengamalkannya tidak berkeyakinan bahwa hadîts
tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya
semata-mata untuk berhati-hati.[26]
E.
Kitab-kitab yang Mengandung Hadîts Dla’if dan
yang Lain
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara husus tentang hadîts
dla’if adalah:
1.
Al-marᾱsil karya
Abu Daud
2.
Al-‘Ilal karya
Al-Daruquthni
3.
Adh-dhu’afᾱ karya
Ibn Hibban
Sedangkan kitab-kitab yang tersusun tentang hadîts dla’if dan yang
lain adalah:
1. Sunan Abu Daud
2. Sunan al-Nasᾱ’i
3. SunanIbnMajah.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis paparkan dapat disimpulkan beberapa
hal terkait dengan hadîts dla’if bahwasannya hadîts dla’if adalah
hadîts yang hilang salah satu syarat dari syarat-syarat hadîts maqbûl
(hadîts shahih dan hadîts hasan). Adapun kriteria yang dimiliki
oleh hadîts dla’if adalah kebalikan atau
lawan kata dari kriteria yang dimiliki oleh hadîtsmaqbûl yaitu sanadnya
terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhᾱbith, mengandung
syᾱdz, dan mengandung ‘illat. Sehingga jika ditinjau dari
beberapa kriteria tersebut macam-macam hadîts dla’if sangat banyak . jika kaitannya dengan keterputusan sanad hadîts
dla’if terbagi menjadi lima yaitu hadîts mu’allaq, hadîts mursal, hadîts
munqathi’, hadîts mu’dhal, dan hadîts mudallas.
Jika kaitannya dengan
periwayatnya tidak adil hadîts
dla’if terbagi menjadi tiga yaitu hadîts
maudlu’, hadîts matruk, dan hadîts munkar. Jika kaitannya
dengan periwayat tidak dhᾱbith maka
hadîts dla’if terbagi menjadi
tujuh yaitu hadîts mudallas, hadîts mudraj, hadîts hadîts maqlub, hadîts
mazîd, hadîts mudhtharib, hadîts mushahhaf, dan hadîts majhul. Dan
jika hadîts tersebut diriwayatkan
oleh oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah
maka hadîts tersebut terindikasi mengandung syᾱdz. Jika hadîts
tersebut mengandung ‘illat maka
hadîts tersebut dinamakan hadîts
mu’allal.
B.
Saran
Ahirnya penulis menyadari bahwa karya tulis apapun tidak akan
pernah terlepas dari kekurangan oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca
senantiasa penulis harapakan untuk dijadikan pengetahuan dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Nasir, Jamal. 2013. Klasifikasi Hadîts. Surabaya: Pena
Salsabila.
Al-Thahhan, Mahmud 1979. Taisir Mushthalah al-Hadîts .
Bairut: Dar al-Fikr.
‘Alawi, Muhammad Ibn al-Maliki. t.tp .Al-Qawᾱidal-Asᾱsiyah fî‘Ilm
Mushthalah al-Hadîts.
Ajjaj, al-Khatib Muhammad, 1998. Ushul al-Hadîts. Terj.
Qodirun Nur. Jakarta:Gaya Media Pratama.
Ismail, Syuhudi. Pengantar ‘Ilm Hadîts. Bandung: Angkasa.
Idri, 2013. Studi Hadîts. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Ichwan, Muhammad Nor, 2007. Studi ‘Ilm Hadîts. Semarang:
Rasail Media Group.
Khaeruman, Badri 2010. Ulûm al-Hadîts. Bandung: Pustaka
Setia.
Kementrian Agama RI, 2011. al-Qur’ᾱn dan Tarjemahannya. Jakarta: Kalim.
Majid, Khon. 2011. Ulûm al-Hadîts. Jakarta: Bumi Aksara.
Rahman, Fatchur. 1974.Ikhtisar Mushthalahul Hadîts. Bandung:
PT al-Ma’arif.
Suparta, Munzier 2011. ‘Ilm Hadîts. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
SolahuddinAgus, 2009.‘Ulûm al-Hadîts. Bandung:PustakaSetia.
[1] Kementrian
Agama RI, Al-qurᾱn dan Tarjemahannya(Jakarta: Kalim, 2011). 553.
[3]Mahmud al-Thahhᾱn,Taisir
Mushthalahal-Hadîts(Bairut: Dar al-Fikr, 1979), 63.
[4]Muhammad Ibn
‘Alawi al-Maliki ,al-Qawᾱ’id al-Asᾱsiyah fî ‘Ilm Mushthalah al-Hadîts t.tp. 19.
[5] Munzier
Suparta, ‘Ilmu Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 150.
[6] Idri, Studi
Hadîts(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 178.
[7] Ibid.,
179-184.
[8] Abdul Majid
Khon, ‘Ulûmulhadîts (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 174.
[9]Ibid.,
175.
[10] Idri, Studi
Hadîts, 187.
[11] Badri
khaeruman ‘Ulûm Al-hadîts (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 130.
[12] Idri, Studi
Hadîts, 197.
[13] Jamal Abd.
Nasir, Klasifikasi Hadîts (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 47.
[14] Idri, Studi
Hadîts, 190.
[15] Ibid.
[16]Suparta, ‘Ilmu
Hadîts. 159.
[17]Idri, Studi
hadîts, 204.
[18] Ibid.
[19] Idri, Studi
Hadîts, 204-208.
[21]Ibid., 210.
[22] Majid Khon, ‘Ulûm
al-Hadîts., 199.
[23] Syuhudi
Ismail, Pengantar ‘Ilm Hadîts (Bandung: Angkasa, Tt), 186.
[24]Idri, Studi
Hadîts, 241.
[25]Muhammad Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadîts, terj.Qodirun Nur. (Jakarata: Gaya Media
Pratama,1998),314-315.
[26] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadîts (Bandung: PT al-Ma’arif, 1974),
229-230.
[28]M.AgusSolahuddin, dk, ‘Ulûm al-Hadîts (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar