Kamis, 09 Juli 2015

HADîTS DLA’IF DAN PROBLEMATIKANYA


HADîTS DLA’IF DAN PROBLEMATIKANYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi hadîts yang dibina oleh
Bapak Prof. Dr. Idri, M. Ag.





 
















Oleh:
SAFINATUN NAJAH
NIM: 18201521028




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA STAIN PAMEKASAN

JUNI 2015
KATA PENGANTAR
            Segala  puji bagi Allah  berkah ke Maha Rahman dan Rahimnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadits yang diberikan oleh Bapak Prof. Dr. Idri, M.Ag.  Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Semoga berkah shalawatnya dapat menjadi syafa’at bagi umatnya.
          Penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tiada tara kepada Bapak Prof. Dr. Idri, M.Ag. yang telah memberi arahan dalam penulisan makalah ini semoga arahan yang telah  diberikan tercatat sebagai amal ma’ruf yang senantiasa diterima disisinya.
Al-insānumahallulkhatha’wannisyān inilah hakekat manusia yang sesungguhnya, oleh karena itu jika dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca agar makalah ini dapat mencapai kesempurnaan.
          Ahirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan penulis hususnya dan pembaca umumnya sehingga dapat memperluas hazanah keilmuan yang dimiliki dan penulis  berharap semoga ‘ilmu yang diperoleh bermanfa’at di dunia dan akhirat.


DAFTAR ISI
                                    
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB     I    PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A.  Latar Belakang Penulisan .............................................................. 1
B.   Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C.   Tujuan Penulisan Makalah ............................................................. 2
BAB  II      PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A.    Definisi HadîtsDha’if  Secara Bahasa dan Istilah.......................... 3
B.     Kriteria Hadîts Dha’if ................................................................... 4
C.     Macam-macam HadîtsDha’if......................................................... 5
D.    Kehujjahan HadîtsDha’ifdari Segi Wurud dan Dilalahnya.......... 20
E.     Kitab-kitab yang Mengandung HadîtsDha’if dan Hadits-hadits yang Lain              22
BAB III     PENUTUP................................................................................... .... 23
A.    Kesimpulan .................................................................................. 23
B.     Saran   .......................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................   24



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadîts merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’ᾱn. Antara keduanya senantiasa beriringan di dalam membahas suatu kejadian hal ini sesuai dengan fungsinya bahwa hadîts menjelaskan hukum yang masih bersifat global di dalam al-Qur’ᾱn. umat islam wajib berpedoman terhadap keduanya hal itu dikarenakan keduanya merupakan landasan setiap muslim dalam menjalani lika-liku kehidupan di dunia.
      Sejatinya apa yang telah Rasulullah SAW. Perintahkan kepada umatnya merupakan perintah Allah SWT juga karena Rasulullah merupakan utusan Allah yang menyampaikan risalah agama kepada umatnya hal ini senada dengan firmannya yaitu:
Artinya: katakanlah taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang telah dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya niscaya kamu dapat petunjuk dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan amanat Allah dengan terang.[1]
        Akan tetapi realitasnya tidak semua hadîts dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum islam hal ini dikarenakan jika ditinjau dari segi kualitas sanad,matan,dan rawinya terdapat berbagai macam hadîts yang memiliki tingkatan yang berbeda-beda mulai dari hadîtsshahih, hadîtshasan sampai pada hadîtsdla’if. Untuk mengetahui hal itu penulis akan membahas seputar tentang hadîts yang akan dispesifikkan pada hadîtsdla’if




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Definisi HadîtsDha’if?
2.      Apa Saja Kriteria HadîtsDha’if?
3.      Apa Saja Macam-macam HadîtsDla’if?
4.      Bagaimana Kehujjahan HadîtsDla’ifdari segi Wurud dan Dalalahnya?
5.      Kitab Apa Saja yang Memuat HaditsDla’if dan yang Lain?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk Mengetahui Definisi Hadîts Dla’if
2.      Untuk Mengetahui Kriteria Hadîts Dla’if
3.      Untuk Mengetahui Macam-macam Hadîts Dla’if
4.      Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadîts Dla’if dari Segi Wurud dan Dalalahnya
5.      Untuk Mengetahui Kitab apa Saja yang Memuat Hadîts Dla’if dan yang lain


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Hadîts Dla’if Secara Bahasa dan Istilah
      Kata dla’if menurut bahasa berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari kata al-qawiy yang berarti kuat.[2]
Sedangkan Menurut istilah hadîts dla’if adalah:
هُوَ مَالَــمْ يَجْـمَعْ صــِفَةُ الحــسَنِ يَفْقُدُ شَـرْطٌ مِنْ شُرُوْطِهِ[3]
Artinya: hadîts yang tidak dapat mengumpulkan sifat hadîts hasan sebab satu dari beberapa syarat tidak terpenuhi.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan oleh mayoritas ‘ulama’ yaitu:
هُوَ الحَدِيْثُ الذِّى لـمْ تَجْمَعْ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ وَلَا صِفَاتُ الحَسَنِ[4]
Artinya: hadîts yang tidak bisa mengumpulkan sifat-sifat hadîts shahih dan hadîts hasan.

Sedangkan menurut Nur al-Din bahwa definisi yang paling baik adalah:
مَا فَقِدَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ الـمَقْبُوْلِ
hadîts yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadîts maqbul.[5]

Menurut penulis arti dla’if secara bahasa di atas telah memberikan sebuah indikasi bahwa hadîts dla’if merupakan hadîts yang lemah dalam artian tidak dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum hal ini jika ditinjau dari arti hadîts dla’if secara bahasa. sedangkan arti hadits dla’if secara istilah bahwasannya hadîts tersebut dikatakan dla’if  jika tidak dapat memenuhi salah satu syarat-syarat yang terdapat pada hadîts maqbul. Ini berarti kedhaifannya  dikarenakan tidak dapat memenuhi salah satu persyaratan yang telah dimiliki oleh hadîts maqbul. definisi yang disampaikan Nur al-Dîn tersebut memang agak tegas salah satu syarat saja yang hilang sudah dianggap dla’if lebih-lebih jikalau yang hilang lebih dari satu pasti dikatakan sebagai hadîts yang sangat dan amat dla’if.
                                                                                                      
B.     Kriteria HaditsDla’if
Predikat dha’if pada hadîts ini disebabkan karena hadîts tersebut tidak dapat memenuhi kriteria yang terdapat  pada hadîts shahih ataupun hadîts hasan.
Adapun kriteria hadîts shahih adalah:[6]
1.      Sanadnya bersambung
2.      Periwayat adil
3.      Periwayat dhᾱbith
4.      Terlepas dari syᾱdz
5.      Terhindar dari ‘illat
Adapun kriteria hadîts hasan adalah:
1.      Sanadnya bersambung
2.      Perawinya ‘adil
3.      Periwayat kurang dhᾱbith
4.      Terlepas dari syᾱdz
5.      Terhindar dari ‘illat
Jadi karena hadîts dla’if tidak dapat memenuhi kriteria yang terdapat pada hadîts shahih ataupun hadîts hasan, dapat dikatakan bahwa lawan kata atau kebalikan dari kriteria hadîts shahih  ataupun hadîts hasan merupakan kriteria yang dimiliki oleh hadîts dla’if  diantaranya adalah sanadnya terputus, periwayat tidak dhᾱbith, periwayat tidak adil, mengandung syᾱdz dan mengandung ‘illat.



C.    Macam-macam Hadîts Dla’if     
1.      Dla’ifkarena sanad terputus
Berdasarkan penelitian ‘ulama hadîts bahwa kedla’ifan suatu hadîts bisa terjadi pada tiga tempat yaitu, pada sanad, pada matan, dan pada perawinya.
Sehingga predikat dha’if pada hadîts ini dikarenakan sanadnya terputus, jika kaitannya dengan keterputusan sanad Ibn Hajar Al-asqalᾱnî menyebutnya  dengan hadîts mu’allaq, hadîts mursal, hadîts munqati’, dan hadîts mu’dhal.
a.      Hadîts Mu’allaq
Secara bahasa kata mu’allaq berarti tergantung. Sedangkan secara terminologis hadîts mu’allaq adalah hadîts yang periwayatnya di awal sanad gugur atau terputus seorang atau lebih. Patokan keterputusannya terletak pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih jika lebih maka keterputusan itu harus secara berurutan. Hadîts mu’allaq disebut hadits dla’if karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus. Sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya. Karena rangkaian hadîts mu’allaq hilang atau terputus sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya, maka hadîtsmu’allaq tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil untuk dipedomani atau diamalkan. Berbeda dengan itu hadîts mu’allaq dalam Shahîh al-Bukhᾱrî dan Shahîh Muslim menurut para ‘ulama terbagi menjadi dua yang pertama hadîts mu’allaq yang diungkapkannya dengan kata-kata yang tegas seperti qᾱla, fa’ala, amara, dan zdakara fulᾱn. sehingga dalam dua kitab shahîh ini dapat dijadikan hujjah dengan alasan  bahwa al-Bukhᾱri sebagai ‘ulama’ terkenal dan sangat ketat dalam menyeleksi kshahihan hadîts tidak mungkin memasukkan atau mencantumkan hadîts ke dalam kitabnya bila ia tidak mengetahui rangkaian sanadnya kemudian alasan yang kedua hadîts-hadîts yang terdapat dalam kitab shahîh al-Bukhᾱrî bukanlah hadîts pokok atau hadîts utama yang menyangkut masalah yang dibicarakan melainkan hadîts pelengkap atau pendukung bagi hadîts pokok atau hadîts utama. [7]
Contoh hadîts mu’allaq adalah riwayat al-Bukhari dengan perbandingan sanad dari Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah:
بَابُ مَنِ اغْتَسَلَ عُرْيَانًاوَحْدَهُ فِى الْخَلْوَةِوَمَنْ سَتَرَ فَاالسِّتْر اَفْضَلُ وَقَالَ بَهْزٌ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَن النَّبِيِّ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَللهُأَ حَقُّ اَنْ يَسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاَرِ
Bab tentang orang yang mandi telanjang sendirian di tempat yang sepi dan menutupi lebih baik. Bahz mengatakan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW. Sabdanya Allah lebih berhak untuk disikapi malu dari pada manusia.
Pada sanad di atas ada beberapa periwayat yang digugurkan sebelum al-Bukhari setelah Bahz dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan membandingkan sanad-sanad dari Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah.
b.      Hadîts Munqathi’
Kata munqathi’ berasal dari kata inqatha’a, yanqathi’u, inqithᾱ’an yang berarti terputus lawan dari kata muttashil yang artinya bersambung. Nama inqitha’ atau terputus karena ada sanad yang tidak bersambung, ibarat tali yang terputus tidak ada yang menghubungkannya. Sedangkan dalam istilah mayoritas ‘ulama’ hadîts mendefinisikan hadîts munqathi’ adalah hadîts yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih sebelum sahabat tidak berturut-turut. Inqitha’ pada sanad dapat diketahui karena tidakاadanya pertemuan antara perawi dan orang yang menyampaikan periwayatan hal ini terjadi karena tidak hidup semasa atau tidak pernah bertemu antara keduanya. Untuk dapat mengetahui hal tersebut adalah dengan tahun kelahiran dan wafatnya.[8]
Menurut kesepakatan para ‘ulama hadîts ini tergolong mardûd karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang digugurkan padahal dalam menilai keontetikan suatu hadîts diperlukan informasi tentang sifat-sifat perawi tersebut.[9]
Contoh hadîts munqathi’ adalah riwayat Ibn Majah dan al-Turmudzi:

حَدَّ ثَنَا عَلِيُ بْنُ حَجَرٍ حَدَّ ثَنَا اِسْمَا عِيْلُ بْنُ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ أُمِّهِ فَا طِمَةَ بِنْتِالْحُسَيْنِ عَنْ جَدَّ تِهَا فَاطِمَةَ الْكُبْرَى قَالَتْ كَانَتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلىَ مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ وَقَالَ رَبِّ ا غْفِرْلِى ذُنُوْبِى وَافْتَحْلِى اَبْوَا بَ رَحْمَتِكَ وَاِذَا خَرَجَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ رَبِّاغْفِرْ لِى ذُنُوْبِى وَافْتَحْلِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Ali Ibn Hajar bercerita kepada kami katanya Ismail Ibn Ibrahim bercerita kepada kami dari Layts dari Abd Allah Ibn al-Hasan dari ibunya Fatimah binti al-Husayn dari neneknya Fatimal al-Kubra katanya, Apabila Rasulullah memasuki masjid ia membaca shalawat bagi Nabi Muhammad dan berdo’a Ya Tuhanku ampunilah dosaku dan bukalah pintu rahmatmu dan jika ia keluar juga membaca shalawat untuk Muhammad dan berdo’a Ya Tuhanku ampunilah dosaku dan bukalah pintu keutamaan-Mu."
Hadîts di atas munqathi’ sebab Fatimah binti Husayn tidak bertemu dengan Fatimah binti Rasulullah yang dikenal dengan Fatimah al-zahra’. Atau fatimah al-Kubra yang meninggal satu bulan setelah Rasulullah wafat. Sedang Fatimah binti Husayn, cucunya saat itu belum lahir karena itu mustahil ia meriwayatkan hadîts tersebut dari neneknya itu. Jelas ada perawi yang digugurkan sebelumnya.[10]
c.       Hadîts Mursal
Secara etimologis mursal diambil dari kata irsal yang berarti melepaskan. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut hadîts karena orang yang meriwayatkannya melepaskan hadîts itu langsung kepada Nabi tanpa menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama mengeluarkan hadîts itu.
Al-Hakim mendefinisikan hadîts mursal ini dengan hadîts yang disandarkan langsung oleh tabi’în kepada Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in tersebut baik termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Hadîts mursalada tiga macam 1)Mursal jalî yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh tabi’in dapat diketahui dengan jelas sekali ia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita. 2) Mursal shahabî yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi atau menyaksikan apa yang ia beritakan namun disaat Rasulullah SAW. Hidup ia masih kecil atau terahir masuknya ke dalam agama islam. 3) mursal khᾱfî yaitu hadîts yang diriwayatkan oleh tabi’in dan tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadîts darinya.[11]
Adapun contoh hadîts mursal shahᾱbî dalam Shahih Ibn Hibbᾱn
أَخْبَرْنَا الْحُسَيْنِ بْنِإِدْرِيْسِ الأَنْصَارِى قَالَ أَخْبَرْنَا أَحْمَدُبْنُأَبِى بَكْرٍ عَنْ مَا لِكٍ عَنِ بْنِ شِهَا بٍ الزُّ هْرِي عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَاِلَى مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيْدَ ثُمَّ اَفْطَرَ وَاَفْطَرَ النَّا سَ مَعَهُ
Al-Husayn bin Idris al-Anshari bercerita pada kami, katanya Ahamad bin Abi Bakr bercerita pada kami dari Malik dari Ibn Syihab al-Zuhri dari ‘Ubayd Allah bin Abd Allah dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW keluar ke Mekkah pada tahun pembukaan kota itu bulan Ramadhan, ia berpuasa hingga sampai ke kadid. Kemudian ia berbuka dan umat Muslim juga berbuka”.
Hadîts di atas disebut sebagai mursal shahᾱbî karena Ibn Abbas tidak meriwayatkan hadîts tersebut langsung dari Nabi. Abd Allah Ibn Abbas tidak ikut bepergian bersama Rasulullah ke Mekkah ketika penaklukan kota itu. Saat itu ia masih kecil dan tinggal bersama orang tuanya. Ibn Abbas meriwayatkan hadîts itu dari sahabat lain tapi tidak menyebutkan namanya dalam sanad hadîts.[12]
d.      Hadîts Mu’dlal
Secara etimologi  kata mu’dlal berarti susah atau payah. Keterputusan hadîts mu’dlal memang parah sampai dua orang perawi digugurkan maka menyulitkan dan memberatkan penghubungannya. Menurut istilah ‘ulama’ hadîts mu’dlal adalah hadîts yang gugur dari sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut.[13]
Kriteria hadîts mu’dlal adalah: 1). Sanad yang gugur lebih dari satu orang, 2) keterputusan secara berturut-turut sebagian ‘ulama’ menambahkan kriteria 3) tempat keterputusan ditengah sanad, bukan di awal ataupun di akhir.[14] sehingga hadîts tersebut tergolong ke dalam hadîts dla’if.
Contoh hadîts dmu’dlal adalah sebagai berikut:
حَدَّ ثَنِي مَالِكٌ اَنَّهُ بَلَغَهُ اَنَ اَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِاالْمَعْروْفِ وَلَا يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَل اِلَّامَا يَطِيْقُ
Malik bercerita kepadaku bahwa sebuah berita sampai kepadanya Abu Hurayrah berkata Rasulullah SAW. Bersabda seorang budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian serta ia tidak dibebani pekerjaan kecuali yang ia mampu.[15]
Jadi yang menjadi problematika hadîts di atas dikarenakan ada ketidak bersambungan sanad baik di awal ataupun di akhir, baik seorang periwayat atau lebih



2.      Dla’if karena periwayat tidak ‘adil
Predikat dla’if hadîts ini disebabkan karena periwayat tidak ‘adil, ada tiga macam kategori yang tergolong ke dalam hadîts ini ada hadîts maudlu’, matruk, dan munkar.
a.      Hadîts maudlu’
Hadîts maudlu’ yaitu hadîts yang dibuat-buat oleh seseorang dan dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara paksa dan dusta, baik disengaja atau tidak.[16]
Sehingga setelah dilakukan pengkajian, secara garis besar kriteria hadîts palsu dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.      Kriteria Sanad
a)      Pengakuan periwayat hadîts b) bertentangan dengan realitas historis periwayat c) periwayat pendusta d) keadaan periwayat dan dorongan pesikologisnya.
2.      Kriteria Matan
a)      Buruk redaksinya seperti tidak menyerupai perkataan Nabi atau Sahabat b) Rusak maknanya disebabkan a) bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah hukum dan akhlaq, b) bertentangan dengan realitasnya, c) bertentangan dengan akal pikiran, d) adanya bukti yang sah tentang kepalsuannya.
Contoh hadîts maudlu’ adalah yang riwayat Ibn Anas bin Malik dari Nabi yang dibuat Maysarah :
وَاَمَّا حَدِيْثُ اَنَسٍ اَنْبَأَنَا عَبْدُالْوَهَّابِ الْحَافِظُ قَالَ اَنْبَأَنَا بْنُ الْمُظَفَّرِ قَاَل اَنْبَأَنَا الْعَتِيْقِي قَالَاَنْبَأَنَا بْنُ الدَّخِيْلِ قَالَ حَدَّ ثَنَا الْعُقَيْلىِ قَالَ حَدَّ ثَنَا اَحْمَدُبْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ اْلحَجَّاجِ قَالَ حَدَّ ثَنَا اَحْمَدُ بْنُ الاَشْعَثُ عَنْ دَاوُدُ بْنِ اْلمحُبْرِ قَالَ حَدَّ ثَنَا مَيْسَرَةُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ عَنْ مُوْسَى بْنُ عُبَيْدَةَ عَنِ الزُّهْرِى عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ رَسُولُ للهِ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَا نَتْ لَهُ سَخِيْمَةٌ مِنْ عَقْلٍوَغَرِيْرَةِ يَقِيْن لَمْ تَضُرْهُ ذُنُوْ بَهُ شَيْاءٌقِيْلَ وَكَيْفَ ذَاكَ يَا رَسُوْل اللهِ؟ قَالَ لِاَنَّهُ كُلَّمَا اَخْطَ ءَلمَ يَلْبَثْ اَنْ يَتُوْبَ تَوْبَةً تَمْحُوْ ذُنُوْ بَهُ وَ يَبْقي لَهُفَضْلٌ يَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ فَلِلْعَقْلِ نَجَاةٌبِطَاعَةِ اللهِ وَحُجّةُ عَلَى اَهْلِ مَعْصِيَةِاللهِ
“Tentang hadîts Anas, ‘Abd al-Wahhab al-Hafizh bercerita kepada kami katanya ibn al-Muzhaffar bercerita kepada kami katanya, al-Atiqi bercerita kepada kami katanya Ibn al-Dakhil bercerita kepada kami katanya al-‘Uqayli bercerita kepad kami katanya Ahmad Ibn Muhammad  ibn al-Hajjaj bercerita kepada kami katanya, Ahmad Ibn Asy’as bercerita kepada kami dari Daud Ibn Muhbir katanya Maysarah ibn Abd Rabbih bercerita kepada kami dari Musa ibn Ubaydah dari al-Zuhri dari Anas ibn Malik katanya Rasulullah SAW. Bersabda: “barang siapa yang mempunyai kegelapan akal dan keyakinan yang menipu, hal itu tidak akan membahayakan dosanya sedikitpun” Rasulullah ditanyakan, “bagaimana hal itu terjadi wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “ sebab ketika melakukan kesalahan tak lama kemudian ia bertobat yang menghapuskan dosanya sehingga yang tersisa adalah keutamaan yang menyebabkannya masuk surga. Maka bagi akal terdapat keberuntungan baginya dengan taat kepada Allah dan hujjah bagi orang yang berbuat maksiat”.[17]
Hadîts Matruk
Hadîts matruk adalah hadîts yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. Menurut Mahmud al-Thahhan sebab periwayat tertuduh dusta adalah: 1) hadîts yang diriwayatkannya tidak diriwayatkan kecuali dari periwayat itu dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah diketahui(al-qawᾱ’id al-ma’lumah), yaitu kaidah-kaidah umum yang di isthinbᾱthkan oleh para ‘ulama’ dari sekumpulan nash-nash umum yang shahih 2) Diketahui periwayat berdusta dalam pembicaraan keseharian, tetapi belum terbukti pernah berdusta tentang hadîts Nabi.
Contoh hadîts matrûk dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan sebuah hadîts riwayat al-Daruqutni dari Umar bin Syamir yang berasal dari ‘Ali dan ‘Imar sebagi berikut:
حَدَّ ثَنَا عَبْدُاللهِ بْنِ اَحْمَدَ بْنِ ثَا بِتِ اْلبَزَازِ ثَنَا اْلقَاسِمِ بْنِ اْلحَسَنِ الزُبَيْدِي حَدَّثَنَاأَسَدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شَمْرٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِعَنْ عَلِي وَ عِمَار اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجهَرُ فِي اْلَمَكْتُوْ بَا تِ بِسْمِ اللهِ الَّرحْمنِ الرَّ حِيْمِ وَكَا نَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ صَلَاةَ الْغَدَاةِوَيَقْطَعُهَاصَلاَةَ الْعَصْرِآخِرَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Abd Allah bin Ahmad bin Tsabit al-Bazzas bercerita kepada kami, katanya al-Qasim bin Hasan al-Zubaydi bercerita kepada kami, katanya Asad bin zayd bercerita kepada kami, katanya ‘Amr bin Syamir bercerita kepada kami dari jabir dari Abu al-Thufayl dari ‘Ali dan Imar bahwa Nabi SAW. membaca keras Bismillᾱh al-Rahmᾱn al-Rahîm dalam shalat fardlu dan membaa kunut pada shalat subuh, membaca takbir pada hari ‘Arafah pada shalat subuh serta membaca kunut waktu shalat ‘Asar pada akhir hari tasyrik”.[18]
b.      Hadîts Munkar
Hadîts munkar berasal dari kata al-inkᾱr lawan dari kata al-iqrᾱr. Kata munkar digunakan untuk hadîts yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadîts lain yang lebih kuat. Dikalangan ‘ulama’ hadîts, hadîts munkar didefinisikan dengan yang pertama:  hadîts yang dalam sanadnya terdapat periwayat yang mengalami  kekeliruan yang parah, banyak mengalami kesalahan, dan pernah berbuat fasik yang kedua: hadîts yang diriwayatkan oleh periwayat yang dla’if bertentangan dengan periwayat yang tsiqah. Dilihat dari segi terjadinya pertentangan hadîts munkar sama dengan hadîts syᾱdz. Perbedaannya pada hadîts munkar pertentangan terjadi antara periwayat yang lemah dengan periwayat yang tsiqah dan pada hadîts syᾱd pertentangan itu antara periwayat yang tsiqah dengan yang lebih tsiqah. [19]
Adapun contoh hadîts munkar adalah hadîts yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibn Majah dari Aisyah secara marfu’:
اَخْبَرْنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَليِ بْنِ عَطَاءِبْنِ مِقْدَمٍ قَالَ حَدَّ ثَنِي يَحْيَيَ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ يَذْ كُرُ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ عَاىئِشَةِ قَا لَتْ رَسُوْ لُ للهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَ سَلَّمَ كُلُواْلبَلْحَ بِا التَّمْرِ فَاِنَّ بْنَ آدَمَ اِذَاأَكَلَهُ غَضَبَ الشَّيْطَانُ وَقَالَ عَاشَ بْنآدَمُ حَتَّى أَكَلَ اْلخَلْقُ بِااْلجَدِيْدِ
“Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin ‘Atha’ bin Miqdam bercerita pada kami katanya, Yahya bin Muhammad binn Qays bercerita pada kami katanya, aku mendengar Hisyam bin ‘Urwah menyebutkan hadîts dari ayahnya dari ‘Aisyah katanya, Rasulullah SAW bersabda, makanlah kurma yang masih muda karena jika seseorang memakannya maka setan akan marah dan berkata seseorang telah hidup sampai makan ciptaan yang baru”.[20]
3. Dla’I f karena periwayat tidak dhᾱbith
Predikat dla’if pada hadîts ini dikarenakan  periwayatnya tidak dhᾱbith diantara hadît sdla’if karena periwayat tidak dhᾱbit adalah hadîts mudallas, hadîts mudraj,hadîts maqlub,hadîts mazid, hadîts mudhtharib, hadîts mushahaf dan hadîts majhûl.[21]
a.      Hadîts Mudallas
Berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan cacat, menurut istilah hadîts mudallas adalah hadîts yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadîts itu tidak bercacat. Secara umum jenis tadlis ada dua macam; tadlisal-isnᾱd dan tadlisas-syuyûkh. Tadlis sal-isnad adalah periwayat hadîts menyatakan telah menerima hadîts dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin saja mereka pernah bertemu tetapi antara mereka tidak pernah atau diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian dan penerimaan riwayat hadîts. Dalam hal ini terjadi penyembunyian periwayat dalam sanad biasanya periwayat yang digugurkan adalah periwayat yang lemah dengan tujuan agar sanad hadîts yang bersangkutan dinilai berkualitas. Disamping tadlisal-isnᾱd dikenal pula tadlisat-taswiyah yaitu periwayat menggugurkan gurunya atau guru dari gurunya atau orang lain karena lemah atau masih kecil kemudian dengan lafazh tegas menyatakan mendengar hadîts dari periwayat tertentu hingga sanad bersambung pada periwayat tsiqah. Dikalangan ‘ulama’ hadîts dikenal pula jenis tadlis yg lain yaitu tadlisas-syuyukhdi mana periwayat hadîts menyebut secara salah identitas guru yang menyampaikan hadîts kepadanya. Kesalahan penyebutan identitas mungkin dilakukan secara sengaja dengan maksud agar riwayatnya tampak berkualitas lebih kuat sebab guru yang lemah itu tidak diketahui identitas dan kelemahannya.
Contoh hadîts mudallas kategori tadlîs al-isnd riwayat Ibn ‘Umar berikut:
حَدَّ ثَناَ هَناَدُ بْنُ السَّرَى عَنْ عُبَدَةِ عَنبْنِ اِسْحَاقَ عَنْ ناَ فِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُو لُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِذَا نَعَسَ اَحَدُكُمْ وَهُوَ فِي اْلمسْجِدِ فاَليَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ اِلَى غَيْرِهِ
“Hannad bin al-Sara bercerita kepada kami dari ‘Ubbadah dari Ibn Ishaq dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar katanya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bila salah seoarang diantara kalian mengantuk dimesjid hendaklah ia bergerak ketemppat lain”.
b.      Hadîts Mudraj
Kata mudraj berasal dari kata adraja yang artinya menyisipkan. Sedangkan menurut istilah ‘ilmu hadîts, mudraj adalah hadîts yang bentuk sanadnya diubah atau kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadîts tersebut tanpa ada tanda pemisah. faktor pendorong dilakukannya penyisipan dalam hadîts menurut Mahmud al-Thahan cukup banyak  dan yang sering adalah karena keinginan untuk menjelaskan hukum syara’, karena ingin mengistinbatkan hukum syara’ dari suatu hadîts sebelum hadîts itu selesai diriwayatkan secara keseluruhan, dan ingin menjelaskan lafazh yang jarang dalam hadîts. Para ‘ulama melarang berhujjah dengan hadîts mudraj dan memasukkannya sebagian dari hadîts dla’if.
Contoh hadîts mudraj pada matan hadîts terlihat pada hadîts riwayat al-Khathib melalui jalur Abu Qatn ibn al-Hisam dan Syabbah ibn Suwar dari Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

اَسْبِغُوْا اْلوُضُوْءَويْلٌ لِلاَعْقَابِ مِنَ النَّار
Sempurnakanlah wudhu’ kalian, neraka wail bagi mereka yang tidak membasuh mata kakinya”
c.       Hadîts Maqlûb
Hadîts maqlûb Sebuah hadîts yang diriwayatkan dengan cara mengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun matannya disebut hadîts maqlûb. Kata al-maqlûb sendiri berasal dari kata al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Menurut subhi al-shalih ketertukaran atau keterbalikan pada hadîts maqlûb terjadi pada nama periwayat atau nasabnya dalam sanad atau penyebutan lafazh pada matan. Dengan demikian terdapat dua macam jenis hadîts maqlûb yaitu pertama maqlûbal-sanad dilakukan oleh periwayat dengan cara mengubah atau mengganti seorang periwayat dengan periwayat yang lain dengan maksud agar kelihatan sanad itu menyendiri. Yang ke dua maqlûbal-matan dilakukan dengan membalik matan hadîts baik dengan cara mendahulukan kata atau kalimat dari kata atau kalimat lain atau mengahirkannya. 
Contoh hadîts maqlûb pada sanad adalah:
اِذَا لَقِيْـتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِي الطَّرِيْقِ فَلاَ تَبْدُؤُوْهُمْ بِالسَّلاَمِ
“Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan, maka janganlah memulai mengucapkan salam pada mereka”
d.        Hadîts Mazîd
Jika sebuah hadîts mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadîts itu baik pada sanad atau matan maka hadîtsdari kata al-ziyᾱdah yang artinya tambahan. Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan sanad dilakukan dengan menambah nama periwayat atau memarfû’kan hadît smauqûf atau memawshûlkan hadîts mursal. Hadîts mazîd dari segi sanad berupa penambahan nama periwayat sedangkan hadîts mazîd dari segi matan terjadi dengan adanya tambahan kata atau kalimat dalam matan hadîts itu.
Contoh had  mazîd dari segi sanad yang berupa penambahan periwayat adalah:
وَحَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ الرَّبِيْعِ البَجْلِى  حَدَّثَنَابْنُ المُبَارَكِ عَنْ عَبْدِالرَّ حْمنِ بْنِ يَزِيْدٍعَنْ بَسَرِبْنِ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ أبِيْ إِدْرِيْسِ الخَوْلاَنِى عَنْ وَاثِلَةِبْنِ الأَسْقَعِ عَنْ أَبِي مُرْ ثِدِالْغَنَوِي قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَتَصِلُوْا إِلىَ الْقُبُوْرِولاَتَجْلِسُوْاعَلَيْهَا
Hasan ibn al-Rabi’ al-Bajli bercerita kepada kami, katanya Ibn al-Mubarak bercerita pada kami dari Abd al-Rahman ibn Yazid dari Bisr ibn Ubayd Allah dari Abu Idris al-Khawlani dari Wasilah ibn al-Asyqa’ dari Abu Mursid al-Ghanawi, katanya aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda janganlah sembahyang menghadap kuburan dan jangn duduk di atasnya”.
e.       Hadîts Mudhtharib
Kata al-mudtarib berasal dari kata al-idhthirᾱb yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut istilah muththarib adalah hadîts yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dalam kekuatannya. Sisi kedla’ifan hadîts mudhtharib disebabkan oleh perbedaan hafalan dan kekuatan ingatan diantara para periwayatnya jika perbedaan ini tidak ada berarti salah satu riwayat unggul dan itu berarti pula hadîtsnya bukan lagi mudhtharib dengan kata lain suatu hadîts yang diriwayatkan secara berbeda dan masing-masing mempunyai kekuatan yang sama sehingga tidak mungkin dilakukan kompromi maka hadîts itu mudhtharib. Akan tetapi manakala sesuatu yang bebeda itu berbeda pula kekuatannya maka tidak terjadi al-idthirᾱb.
Sebuah hadîts dinyatakan mudtharib misalnya, hadîts yang diriwayatkan oleh al-Hakim al-Naysaburi dalam kitabnya al-Mustadrᾱk ‘alᾱ al-Shahîhayn sebagai berikut:
حَدَّثَنىِ أَبُوْعَمْرٍوَمُحَمَّدِبْنِ جَعْفَرِبْنِ مُحَمَّدِبْنِ مَطَرٍوَاَنَاسَأَلْتُهُ قَالَ حَدَّثَنىِ أَبُو مُحَمَّدٍجَعْفَرِبْنِ أَحْمَدَبْنَ نَصْرِالْحَافِظِ حَدَّثَنَاأبُوْكُرَيْبٍ حَدَّثَنَامُعَاوِيِةُبْنُ هِشَامٍ عَنْ شَيْبَان عَنْ أبِيْ إِسْحَاقَ عَنْ عِكْرِمَة عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قاَلَ أَبُوْبَكْرٍالصِّدِيْقِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ لِرَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَراَكَ قَدْشِبْتَ قَالَ شَيَبَتْنِي هُوْدٌوَالْوَاقِعَةُوَعَمَّ يَتسَاءَلُوْنَ وَإِذَاالشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Abu ‘Amr Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Mathar bercerita kepadaku dan aku bertanya kepadanya, katanya Abu Muhammad Ja’far ibn Ahmad ibn Nashr al-Hafizh bercerita kepada kami, katanya Abu Kurayb bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam bercerita kepada kami dari Syayban dari Abu Ishaq dari Ikrimah dari ibn ‘Abbas katanya, Abu Bakar al-Shiddiq r.a. berkata ‘Aku melihat engkau tampak muda’. Rasulullah SAW. menjawab surat hud, al-waqi’ah, ‘Amma yatasaalun dan waizda al-Syams kuwwirat telah menyebabkanku tampak muda”.
f.   Hadîts Mushahhaf
Kata mushahaf berasal dari bahasa ‘arab al-tashhîf yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahafî berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah membaca. Al-Farisi mendefinisikan hadîts mushahhaf dengan hadîts yang mengalami perubahan lafazh ataupun makna baik perubahan karena faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.
Contoh hadîts mushahhaf adalah:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتٍّامِنْ شَوَّالٍ فَكَاَنَّمَاصَامَ الدَّهْرِ
Barang siapa berpuasa bulan ramadlan dan mengikutinya dengan sesuatu pada bulan Syawwal maka sama halnya berpuasa satu tahun”
Menurut Mahmud al-Thahhan oleh Abu Bakar al-Shuli hadîts di atas dibaca secara salah menjadi: 
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ شَيءامِنْ شَوَّالٍ فَكَاَنَّمَاصَامَ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa bulan ramadlan dan mengikutinya dengan sesuatu pada bulan Syawwal maka sama halnya berpuasa satu tahun”
g.      Hadîts Majhûl
Kata majhûl yang juga disebut al-jahᾱlah bi al-rᾱwi berasal dari kata jahila lawan kata ‘alima yang  berarti bodoh. Menurut istilah majhûl adalah hadîts yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya. Dalam hal ini periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilan atau kedhᾱbithannya. Hadîts majhûl dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan sifat atau identitas yang menyebabkannya majhul yaitu: yang pertama majhûlal-‘Ayn maksudnya adalah periwayat yang namanya disebut tetapi hadîtsnya hanya  diriwayatkan oleh seorang periwayat  saja.  Yang ke dua majhûl al-hᾱl yaitu periwayat yang hadîtsnya diriwayatkan oleh dua orang periwayat atau lebih tetapi tidak disertai penilaian positif atau negatif. Yang ke tiga al-mubham yaitu periwayat yang namanya tidak disebut dalam hadîts. Menurut Ibn Katsir hadîts mubham adalah hadîts yang periwayatnya tidak disebutkan namanya atau disebutkan tetapi tidak diketahui jati dirinya.
3.      Dla’if karena Mengandung Syᾱdz
Dari segi bahasa syᾱdz berasal dari kata syaddza yang berarti ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Sedangkan menurut istilah adalah hadîts yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan menyalahi periwayat yang lebih tsiqah.
Menurut al-syafi’i suatu hadîts dinyatakan mengandung syᾱdz apabila diriwayatkan oleh seoarang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadîts yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. Suatu hadîts tidak dinyatakan mengandung syᾱdz bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya.[22]
Kemudian ulama hadîts sesudah zaman syafi’i menyepakati bahwa yang dimaksud hadîts syᾱdz  adalah hadîts yang diriwayatkan oleh orang-orang yang diterima periwayatannya tetapi riwayatnya itu menyalahi riwayat dari perawi yang lebih kuat.[23]
Contoh hadîts yang mengandung syᾱdz adalah hadîts yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاً تُوْفِيَ عَلَى عَهْدِرَسُوْلِ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا اِلاَّمَوْلَى هُوَاَعْتَقَهُ (رواه التر مذى والنسائى وابن ماجه)
Dari ibn ‘Abbas bahwa seorang laki-laki meniggal dunia di zaman Rasulullah SAW. dan ia tidak meninggalkan seorang pun ahli waris, kecuali seseorang yang telah memerdekakannya”.[24]

4.      Dla’if Karena Mengandung ‘Illat
Jika dalam sebuah hadîts terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahi maka hadîts itu dinamakan hadîts mu’allal yaitu hadîts yang mengandung ‘illat. Kata al-mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata aallah secara bahasa kata ‘illat berarti cacat. Menurut istilah ahli hadîtsillat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadîts. Al-Hakim al-Nasyaburi berpendapat yang menjadi acuan utama penelitian ‘illat hadîts adalah hafalan, pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadîts.

D.     Kehujjahan Hadîts Dla’if  Dari Segi Wurud dan Dalalahnya
Sebab-sebab kedla’ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok pertama kedla’ifan karena cacatnya kualitas pribadi (‘adalah) perawi, seperti berdusta atau tertuduh berdusta pada Rasulullah SAW.Berdusta dalam menceritakan perkataan-perkataan orang lain, kefasikan, tidak diketahuinya status perawi, berbuat bid’ah yang menjatuhkannya pada kekafiran.
Setiap hadîts yang kedla’ifannya dikarenakan salah satu sebab di atas maka banyaknya sanad tidak akan mempengaruhinya dan tidak bisa mengangkatnya dari derajat dla’if, karena sangat buruknya sebab-sebab itu.
Kedua karena cacatnaya kapasitas intelektual yaitu kelupaan,  sering salah, buruk hafalan dan kekeliruan. Semua hadîts yang kedla’ifannyadisebabkan tidak adanya kedhabitan perawinya yang sifat ‘adalahnya tidak cacat maka banyaknya jalur bisa meningkatkan kualitasnya. Kedla’ifannya bisa tersulam dengan adanya jalur lain. Karena jalur lain itu dapat diketahui bahwa hafalan perawi yang pertama tidak cacat hafalannya dengan demikian derajatnya naik menjadi hasan lighairihi.[25]
Para ‘ulama berbeda pendapat boleh tidaknya berhujjah dengan hadîts dla’if dalam hal ni ada tiga pendapat yaitu:
1.      Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadîts dla’if baik untuk menetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amalan utama.
2.      Membolehkan kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita bukan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Sehingga Ibn Hajar al-Asqalany termasuk ‘ulama ahli hadîts yang membolehkan berhujjah dengan hadîts dla’if untuk fadla’ilulamal memberikan tiga syarat adalah:
1.      Hadîts dla’if itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadîts dla’ifyang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla’ilul ‘amal.
2.      Dasar amal yang ditunjuk oleh hadîts dla’if tersebut, masih di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadîts yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
3.      Dalam mengamalkannya tidak berkeyakinan bahwa hadîts tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk berhati-hati.[26]

E.     Kitab-kitab yang Mengandung Hadîts Dla’if dan yang Lain
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara husus tentang hadîts dla’if adalah:
1.      Al-marᾱsil karya Abu Daud
2.      Al-‘Ilal karya Al-Daruquthni
3.      Adh-dhu’afᾱ karya Ibn Hibban
4.      Mîzᾱn Al-I’tidal karya Al-Dzahabi.[27]
Sedangkan kitab-kitab yang tersusun tentang hadîts dla’if dan yang lain adalah:
1.      Sunan Abu Daud
2.      Sunan al-Nasᾱ’i
3.      SunanIbnMajah.[28]













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis paparkan dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan hadîts dla’if bahwasannya hadîts dla’if adalah hadîts yang hilang salah satu syarat dari syarat-syarat hadîts maqbûl (hadîts shahih dan hadîts hasan). Adapun kriteria yang dimiliki oleh hadîts dla’if adalah kebalikan atau  lawan kata dari kriteria yang dimiliki oleh hadîtsmaqbûl yaitu sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhᾱbith, mengandung syᾱdz, dan mengandung ‘illat. Sehingga jika ditinjau dari beberapa kriteria tersebut macam-macam hadîts dla’if sangat banyak . jika  kaitannya dengan keterputusan sanad hadîts dla’if terbagi menjadi lima yaitu hadîts mu’allaq, hadîts mursal, hadîts munqathi’, hadîts mu’dhal, dan hadîts mudallas.
Jika kaitannya dengan  periwayatnya tidak adil  hadîts dla’if  terbagi menjadi tiga yaitu hadîts maudlu’, hadîts matruk, dan hadîts munkar. Jika kaitannya dengan  periwayat tidak dhᾱbith maka hadîts dla’if  terbagi menjadi tujuh yaitu hadîts mudallas, hadîts mudraj, hadîts hadîts maqlub, hadîts mazîd, hadîts mudhtharib, hadîts mushahhaf, dan hadîts majhul. Dan jika hadîts  tersebut diriwayatkan oleh oleh periwayat tsiqah dan bertentangan  dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah maka hadîts tersebut terindikasi mengandung syᾱdz. Jika hadîts  tersebut mengandung ‘illat maka hadîts  tersebut dinamakan hadîts mu’allal.

B.     Saran
Ahirnya penulis menyadari bahwa karya tulis apapun tidak akan pernah terlepas dari kekurangan oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca senantiasa penulis harapakan untuk dijadikan pengetahuan dalam pembuatan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abd Nasir, Jamal. 2013. Klasifikasi Hadîts. Surabaya: Pena Salsabila.
Al-Thahhan, Mahmud 1979. Taisir Mushthalah al-Hadîts . Bairut: Dar al-Fikr.
‘Alawi, Muhammad Ibn al-Maliki. t.tp .Al-Qawᾱidal-Asᾱsiyah fî‘Ilm Mushthalah al-Hadîts.
Ajjaj, al-Khatib Muhammad, 1998. Ushul al-Hadîts. Terj. Qodirun Nur. Jakarta:Gaya Media Pratama.
Ismail, Syuhudi. Pengantar ‘Ilm Hadîts. Bandung: Angkasa.
Idri, 2013. Studi Hadîts. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ichwan, Muhammad Nor, 2007. Studi ‘Ilm Hadîts. Semarang: Rasail Media Group.
Khaeruman, Badri 2010. Ulûm al-Hadîts. Bandung: Pustaka Setia.
Kementrian Agama RI, 2011. al-Qur’ᾱn  dan Tarjemahannya. Jakarta: Kalim.
Majid, Khon. 2011. Ulûm al-Hadîts. Jakarta: Bumi Aksara.
Rahman, Fatchur. 1974.Ikhtisar Mushthalahul Hadîts. Bandung: PT al-Ma’arif.
Suparta, Munzier 2011. ‘Ilm Hadîts. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
SolahuddinAgus, 2009.‘Ulûm al-Hadîts. Bandung:PustakaSetia.





[1] Kementrian Agama RI, Al-qurᾱn dan Tarjemahannya(Jakarta: Kalim, 2011). 553.
[2] Mohammad Nor Ichwan, StudiIlmuHadîts (Semarang: Rasail Media Grop, 2007), 133.
[3]Mahmud al-Thahhᾱn,Taisir Mushthalahal-Hadîts(Bairut: Dar al-Fikr, 1979), 63.
[4]Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki ,al-Qawᾱ’id al-Asᾱsiyah fî ‘Ilm Mushthalah al-Hadîts  t.tp. 19.
[5] Munzier Suparta, ‘Ilmu Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 150.
[6] Idri, Studi Hadîts(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 178.
[7] Ibid., 179-184.
[8] Abdul Majid Khon, ‘Ulûmulhadîts (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 174.
[9]Ibid., 175. 
[10] Idri, Studi Hadîts, 187.
[11] Badri khaeruman ‘Ulûm Al-hadîts (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 130. 
[12] Idri, Studi Hadîts, 197.
[13] Jamal Abd. Nasir, Klasifikasi Hadîts (Surabaya: Pena Salsabila, 2013),  47.
[14] Idri, Studi Hadîts, 190.
[15] Ibid.
[16]Suparta, ‘Ilmu Hadîts. 159.
[17]Idri, Studi hadîts, 204.
[18] Ibid.
[19] Idri, Studi Hadîts, 204-208.
[20] Ibid.
[21]Ibid., 210.
[22] Majid Khon, ‘Ulûm al-Hadîts., 199.
[23] Syuhudi Ismail, Pengantar ‘Ilm Hadîts (Bandung: Angkasa, Tt), 186.
[24]Idri, Studi Hadîts, 241.
[25]Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadîts, terj.Qodirun Nur. (Jakarata: Gaya Media Pratama,1998),314-315.
[26] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadîts (Bandung: PT al-Ma’arif, 1974), 229-230.
[27] Majid Khon ‘Ulûm Al-Hadîts., 167.
[28]M.AgusSolahuddin, dk, ‘Ulûm al-Hadîts (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar